(Arrahmah.com) – Allah SWT dan Rasulullah SAW memerintahkan umat Islam untuk hidup di bawah naungan syariat Islam. Sebagai pengamalan dari masuk Islam secara kaafah (sempurna dan totalitas), umat Islam wajib mengatur seluruh aspek kehidupannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Baik dalam lingkup kehidupan pribadi, keluarga, tetangga, masyarakat, bangsa, maupun negara. Baik di bidang akidah, ibadah, akhlak, mu’amalah sosial, ekonomi, politik, budaya, maupun keamanan.
Adapun orang-orang kafir, musyrik, murtad, dan munafik sangat membenci, memusuhi, menghalang-halangi, dan memerangi syariat Islam, dengan segala cara yang halus maupun kasar. Untuk menyesatkan dan menjauhkan umat Islam dari syariat Islam, mereka melakukan sekulerisasi di segala bidang kehidupan. Mereka melemparkan tuduhan-tuduhan palsu terhadap keinginan umat Islam untuk menerapkan syariat Islam secara kaafah. Di antaranya, mereka menuding keinginan tersebut adalah sikap fundamentalisme, radikalisme, terorisme, kejahatan luar biasa terhadap HAM, keterbelakangan, kemunduran, dan lain sebagainya.
Banyak kaum awam umat Islam yang terpedaya oleh kampanye massif sekulerisme yang memerangi penerapan syariat Islam. Banyak juga kaum terpelajar, cendekiawan, dan tokoh umat Islam yang bergabung dalam barisan musuh-musuh Islam dalam memerangi penerapan syariat Islam; karena telah terasuki oleh paham kufur sekulerisme, nasionalisme, humanisme, demokrasi, dan isme-isme kufur lainnya.
Sebagai bentuk dakwah kepada umat Islam pada umumnya dan sebagai peringatan bagi para cendekiawan pro-sekulerisme pada khususnya, situs Arrahmah.com insya Allah akan menurunkan serial artikel tentang ‘Urgensi Penerapan Syariat Islam Secara Kaafah’. Serial artikel ini diterjemahkan oleh redaksi Arrahmah.com dari salah satu sub bahasan (berjudul: al-hukmu bi-ghairi maa anzalallahu) dalam disertasi DR. Abdul Aziz bin Muhammad Al-Abdul Lathif yang berjudul Nawaqidh al-Iman al-Qauliyah wa al-‘Amaliyyah, terbitan Darul Wathan, Riyadh.
Semoga bermanfaat dan selamat mengikuti.
***
Tidak diragukan lagi bahwa peminggiran syariat Allah dan tidak diberlakukannya hukum syariat dalam seluruh aspek kehidupan merupakan penyelewengan paling parah dan berbahaya dalam masyarakat umat Islam. Akibat dari sikap tidak berhukum dengan hukum Allah di negeri-negeri kaum muslimin adalah berbagai kerusakan dan kezaliman serta kehinaan yang menimpa mereka.
Mengingat pentingnya permasalahan ini di satu sisi, dan juga karena banyaknya kesamaran masalah ini di sisi lain, maka kami akan membahas secara rinci masalah ini sebagai berikut.
Pembahasan Pertama:
Kedudukan berhukum dengan hukum Allah dalam pandangan dien Islam
Allah telah mewajibkan berhukum dengan syariat-Nya dan mewajibkan hal ini kepada hamba-hamba-Nya serta menjadikannya sebagai tujuan diturunkannya Al Qur’an. Allah berfirman:
وَأَنزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُواْ فِيهِ
“Dan Allah menurunkan kitab suci bersama para rasul dengan haq agar mereka memutuskan perkara yang diperselisihkan di antara manusia.” [QS. Al-Baqarah (2): 213].
Allah berfirman:
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللّهُ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) dengan haq supaya kamu memutuskan perkara di antara manusia sesuai apa yang Allah tunjukkan kepadamu.” [QS. An-Nisa’ (4): 105].
Allah menerangkan bahwa hak khusus Allah semata untuk membuat hukum, dengan firman-Nya:
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
“Sesungguhnya (hak menetapkan) hukum itu hanya hak Allah. Allah menetapkan kebenaran dan Dialah sebaik-baik pemberi keputusan.” [QS. Al-An’am (6): 57].
Allah juga berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ
“Sesungguhnya (hak menetapkan) hukum itu hanya hak Allah semata. Dia memerintahkan kalian untuk tidak beribadah kecuali kepada-Nya semata.” [QS. Yusuf (12): 40].
Allah juga berfirman:
لَهُ اْلحَمْدُ فِي اْلأُولَى وَاْلآخِرَةِ وَلَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيهِ تُرْجَعُونَ
“Bagi-Nya pujian di dunia dan di akhirat dan hak-Nya semata untuk menetapkan hukum, dan hanya kepada-Nya kalian akan dikembalikan.” [QS. Al Qashash (28): 70].
Allah juga berfirman,
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
” Dan apa yang kalian perselisihkan maka keputusannya di tangan Allah.” [QS. Asy-Syura (42): 42].
Ayat-ayat Al-Qur’an menegaskan bahwa berhukum dengan hukum Allah adalah sifat orang-orang beriman, sedangkan berhukum dengan selain hukum Allah (yaitu hukum thaghut dan jahiliyah) adalah sifat orang-orang munafik. Allah berfirman:
وَيَقُولُونَ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالرَّسُولِ وَأَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلَّى فَرِيقٌ مِّنْهُم مِّن بَعْدِ ذَلِكَ وَمَا أُوْلَئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ {47}وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِّنْهُم مُّعْرِضُونَ {48} وَإِن يَكُن لَّهُمُ الْحَقُّ يَأْتُوا إِلَيْهِ مُذْعِنِينَ {49}أَفِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ أَمِ ارْتَابُوا أَمْ يَخَافُونَ أَن يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَرَسُولُهُ بَلْ أُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ {50} إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan mereka berkata, “Kami beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan kami taat kepada Allah dan rasul-Nya.” Kemudian setelah itu sekelompok dari mereka berpaling. Sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.
Dan apabila mereka dipanggil untuk bertahkim kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukumi di antara mereka, tiba-tiba sebagian mereka menolak untuk datang.
Tetapi jika keputusan itu untuk kepentingan mereka, mereka datang dengan patuh. Apakah (ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit (kekafiran dan kemunafikan, pent) atau karena mereka ragu-ragu ataukah karena takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya mereka itulah orang-orang yang zalim.
Perkataan orang-orang yang beriman jika diajak untuk bertahkim kepada Allah dan rasul-Nya hanyalah mereka mengatakan, “Kami mendengar dan kami mentaati.” Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” [QS. An Nuur (24): 47-51].
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً {59} أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُواْ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا {60}وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْاْ إِلَى مَا أَنزَلَ اللّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنكَ صُدُودًا {61}فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَآؤُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلاَّ إِحْسَانًا وَتَوْفِيقًا
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya dan para pemimpin kalian. Jika kalian berselisih dalam satu masalah maka kembalikanlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.
Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku beriman kepada apa (wahyu Allah) yang telah diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelummu? Mereka ingin berhukum kepada thaghut padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka sejauh-jauhnya.
Dan apabila dikatakan kapada mereka, “Marilah kalian tunduk kepada hukum yang telah diturunkan Allah dan kepada hukum rasul,” niscaya kalian melihat orang-orang munafik menghalangi manusia sekuat-kuatnya darimu.
Maka bagaimana halnya jika mereka ditimpa musibah disebabkan perbuatan tangan mereka itu, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah, “Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian secara baik-baik dan perdamaian yang sempurna.” [QS. An-Nisa’ (4): 59-62].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan makna ayat-ayat ini dengan mengatakan:
“Allah mencela orang-orang yang mengklaim beriman kepada seluruh kitab suci, sedangkan mereka tidak meminta putusan perkara (berhukum) kepada Al-Qur’an dan As-Sunah dan berhukum kepada sebagian thaghut (hukum dan perundang-undangan ciptaan manusia, pent) yang diagungkan selain Allah. Sebagaimana banyak dilakukan oleh orang-orang yang mengaku beragama Islam tetapi dalam masalah hukum mereka kembali kepada para shobiah filosof atau selain mereka atau kepada sistem hukum sebagian raja yang keluar dari syariah Islam seperti raja-raja Turki dan lain-lain.
Jika dikatakan kepada mereka: “Marilah berhukum kepada Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah!” maka mereka sangat berpaling. Namun ketika akal, dien, atau dunia mereka ditimpa musibah dengan syubhat dan syahwat atau jiwa dan harta mereka ditimpa musibah sebagai hukuman atas kemunafikan mereka, maka mereka berkata, “Kami hanya ingin berbuat baik dengan merealisasikan ilmu tentang perasaan dan mengkompromikan antara dalil-dalil syar’i dengan penalaran yang pasti.” Padahal apa yang mereka ikuti sebenarnya hanyalah dugaan-dugaan semata dan syubhat-syubhat belaka.” (Majmu’ Fatawa, 12/339-340, dengan sedikit perubahan lafal)
Beliau juga berkata:
و معلوم باتفاق المسلمين أنه يجب تحكيم الرسول في كل ما شجر بين الناس في أمر دينهم و دنياهم في أصول دينهم وفروعه وعليهم كلهم إذا حكم بشيء أن لا يجدوا في أنفسهم حرجا مما حكم و يسلموا تسليما.
“Sudah diketahui berdasar kesepakatan kaum muslimin bahwasanya wajib menjadikan Rasulullah SAW sebagai hakim (pemberi keputusan) dalam setiap hal yang diperselisihkan manusia, baik urusan (dien) agama maupun dunia mereka, baik masalah pokok dien mereka maupun masalah cabang dien mereka. Jika Rasulullah SAW telah memutuskan sebuah perkara, maka hati mereka tidak boleh merasa keberatan dan mereka wajib menerimanya dengan sepenuh hati.” (Majmu’ Fatawa, 7/37-38)
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha berkata:
و الآية ناطقة بأن من صد أوأعرض من حكم الله ورسوله عمدا لا سيما بعد دعوته إليه و تذكيره به يكون منافقا لا يعتد بما يزعمه من الإيمان وما يدعيه من الإسلام.
“Ayat ini berbicara bahwasanya orang yang menentang atau berpaling dari hukum Allah dan Rasul-Nya secara sengaja, apalagi setelah ia diajak untuk berhukum dengan keduanya dan diingatkan akan wajibnya hal itu, niscaya ia telah menjadi orang munafik, klaim keimanan dan keislamannya tidak diterima lagi.” (Tafsir Al-Manar, 5/227).
Dari sini kita bisa menerangkankan urgensi mengesakan Allah dalam masalah hukum dan menjelaskan kedudukan berhukum dnegan hukum Allah dalam poin-poin berikut.
1. Kedudukannya ditinjau dari Tauhid Ibadah.
Sesungguhnya berhukum dengan hukum Allah saja berarti memurnikan ketaatan kepada Allah semata, sedangkan ketaatan merupakan salah satu bentuk ibadah, maka tidak boleh dilakukan (ditujukan) kecuali kepada Allah semata. Allah berfirman,
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
“Sesungguhnya hak menetapkan hukum itu hanya milik Allah. Dia memerintahkan kalian untuk tidak beribadah kecuali kepada-Nya saja. Itulah dien yang lurus.” [QS. Yusuf (12): 40].
Allah berfirman,
وَهُوَ اللَّهُ لا إِلَهَ إِلاَّ هُوَ لَهُ الْحَمْدُ فِي الأُولَى وَالآخِرَةِ وَلَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Dialah Allah yang tdak ada Ilah yang berhak diibadahi selain-Nya. Bagi-Nya pujian di dunia dan di akhirat dan milik-Nya semata hak menetapkan hukum dan kepada-Nya semata kalian akan dikembalikan.” (QS. Al-Qashash (28): 70).
Ibadah kepada Allah menuntut sikap memurnikan hak menetapkan hukum, menghalalkan, dan mengharamkan untuk Allah semata, karena Allah telah berfirman,
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهًا وَاحِدًا لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan para pendeta dan ahli ibadah mereka sebagai rabb-rabb (tuhan-tuhan) selain Allah dan mereka juga mengambil Al-Masih Ibnu Maryam (sebagai rabb selain Allah). Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Ilah Yang Maha Esa. Tak ada Ilah yang berhak diibadahi selain-Nya. Maha Suci Allah dari kesyirikan mereka.” [QS. At-Taubah (9): 31].
Merealisasikan ketaatan ini, memurnikan hak menetapkan hukum, menghalalkan, dan mengharamkan untuk Allah semata, serta tunduk kepada syariat adalah hakikat Islam itu sendiri. Sebagaimana dikatakan oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
فالإسلام يتضمن الاستسلام لله وحده فمن استسلم له و لغيره كان مشركا و من لم يستسلم له كان مستكبراعن عبادته والمشرك به والمستكبر عن عبادته كافر و الاستسلام له وحده يتضمن عبادته وحده و طاعته وحده.
“Islam mencakup sikap menyerahkan diri kepada Allah semata. Maka barang siapa menyerahkan dirinya kepada Allah dan juga kepada selain-Nya maka ia telah musyrik. Dan barang siapa tidak menyerahkan dirinya kepada Allah berarti telah menyombongkan dirinya (menolak) untuk beribadah kepada Allah. Orang yang musyrik dan orang menyombongkan dirinya dari beribadah kepada Allah adalah orang yang kafir. Adapun sikap menyerahkan diri kepada Allah semata mencakup sikap beribadah kepada Allah semata dan mentaati Allah semata.” (Majmu’ Fatawa, 3/91)
Beliau juga berkata:
“Barang siapa menjadikan seseorang selain Rasul wajib ditaati dalam setiap perintah dan larangannya sekalipun menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya, maka berarti ia telah menjadikan orang tersebut sebagai tandingan bagi Allah..Ini termasuk syirik yang menyebabkan pelakunya masuk dalam firman Allah,
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللّهِ أَندَاداً يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللّهِ وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَشَدُّ حُبًّا لِّلّهِ
“Dan di antara manusia ada yang mengambil selain Allah sebagai tandingan-tandingan bagi Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka lebih mencintai Allah.” QS. Al-Baqarah (2): 165.” [Majmu’ Fatawa, 10/267].
Imam Ibnu Qayim Al-Jauziyah berkata:
و أما الرضا بدينه فإذا قال أو حكم أو أمر أو نهى رضي كل الرضا و لم يبق في قلبه حرج من حكمه و سلم تسليما و لو كان مخالفا لمراد نفسه أو هواها أو قول مقلده و شيخه و طائفته.
“Adapun makna ridha kepada dien-Nya adalah jika Rasululah SAW bersabda, menghukumi (memutuskan perkara), memerintah atau melarang, maka ia ridha (menerima) dengan penuh keridhaan (penerimaan), di hatinya tak tersisa sedikit pun rasa berat terhadap keputusan beliau dan ia menerimanya dengan sepenuh hati sekalipun bertentangan dengan keinginan pribadinya atau hawa nafsunya atau pendapat orang yang ia taklidi (ikuti) atau pendapat syaikhnya atau kelompoknya.” [Madariju as-Salikin, 2/118].
Sebaliknya, orang yang berbuat syirik kepada Allah dalam masalah hukum maka ia seperti orang yang berbuat syirik kepada Allah dalam hal ibadah, antara keduanya tak ada bedanya, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad Amin bin Muhammad Mukhtar Al-Syinqithi,
الإشراك بالله في حكمه و الإشراك به في عبادته كلها بمعنى واحد لا فرق بينهما البتة فالذي يتبع نظاما غير نظام الله و تشريعا غير تشريع الله كالذي يعبد الصنم و يسجد للوثن ولا فرق بينهما البتة بوجه من الوجوه فهما واحد و كلاهما مشرك بالله.
“Berbuat syirik kepada Allah dalam masalah hukum dan berbuat syirik dalam masalah beribadah itu maknanya sama, sama sekali tak ada perbedaan antara keduanya. Orang yang mengikuti hukum (positif buatan manusia, pent) selain hukum Allah dan undang-undang (positif buatan manusia, pent) selain undang-undang Allah adalah seperti halnya orang yang menyembah berhala dan sujud kepada berhala, antara keduanya sama sekali tidak ada perbedaan dari satu sisi sekalipun. Keduanya satu (sama saja) dan keduanya musyrik kepada Allah.” [Adhwa’ul Bayan, 7/162].
Beliau juga berkata: “Dipahami dari ayat ini,
وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَداً
“Dan tidak menyekutukan Allah dalam masalah hukum dengan siapa pun” (QS. Al-Kahfi (18): 26) bahwa orang-orang yang mengikuti hukum-hukum para pembuat UU selain apa yang disyariatkan Alah, bahwa mereka itu orag-orang yang musyrik kepada Allah. Pemahaman ini diterangkan oleh ayat-ayat yang lain seperti firman Allah tentang orang yang mengikuti tasyri’ (aturan-aturan) setan yang menghalalkan bangkai dengan alasan sebagai sembelihan Allah,
وَلاَ تَأْكُلُواْ مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Dan janganlah kalian memakan hewan-hewan yang tidak disebutkan nama Allah saat menyembelihnya karena hal itu termasuk kefasikan. Dan sesungguhnya setan-setan itu benar-benar membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Jika kamu mentaati mereka tentulah kamu termasuk orang-orang musyrik.” [QS. Al-An’am (6): 121].
Allah menegaskan mereka itu musyrik karena mereka mentaati para pembuat hukum yang menyelisihi hukum Allah. Kesyirikan dalam masalah ketaatan dan mengikuti tasyri’ (peraturan-peraturan) yang menyelisihi syariat Allah inilah yang dimaksud (disebut) dengan beribadah kepada setan dalam ayat,
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَن لَّا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ ()وَأَنِ اعْبُدُونِي هَذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِيمٌ
“Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kalian wahai Bani Addam supaya kalian tidak menyembah (beribadah kepada) setan? Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian. Dan beribadahlah kepada-Ku. Inilah jalan yang lurus.” [QS. Yasin (36): 60-61].
Dan firman Allah tentang nabi Ibrahim ‘Alaihi Salam,
يَا أَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيّاً
“Wahai bapakku, janganlah kau beribadah kepada setan karena sesungguhnya setan itu durhaka kepada Ar-Rahman (Allah Yang Maha Pemurah}.” [QS. Maryam (19): 44]. (Adhwa’ul Bayan, 7/87)
Maka demi merealisasikan tauhid ibadah yang berdiri di atas landasan nafyu (peniadaan) ilahiyah (hak diibadahi) dari selain Allah dan menetapkannya untuk Allah saja inilah, wajib hukumnya mengkufuri thaghut, sebagaimana firman Allah Taala,
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا
“Maka siapa mengkufuri thaghut dan beriman kepada Allah, niscaya ia telah berpegang teguh dengan tali ikatan yang kokoh (kalimat syahadat, pent) yang tidak akan pernah terlepas lagi.” [QS. Al-Baqarah (2): 256].
Allah telah menyebut memutuskan perkara dengan selain syariat-Nya sebagai thaghut, dengan firman-Nya,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُواْ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا
“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku beriman kepada apa (wahyu Allah) yang telah diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelummu? Mereka ingin berhukum kepada thaghut padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa’ (4): 61).
Thaghut adalah istilah yang umum. Setiap hal yang diibadahi selain Allah dan ia ridha, maka ia adalah taghut. Baik ia berupa sesuatu yang disembah, atau sesuatu yang diikuti, atau sesuatu yang ditaati dalam ketaatan yang tidak berdasar kepada ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya. [Lihat A’lamu Al-Muwaqi’in 1/49-50, Risalah Makna Taghut dalam buku Majmu’atu Al-Tauhid hal. 260, dan Fatawa al-Lajnah ad- Daimah, 1/542].
Bersambung, insya Allah SWT…
(muhib al-majdi/arrahmah.com)