(Arrahmah.com) – Dalam artikel sebelumnya, Dr. Abdul Aziz bin Muhammad Al-Abdul Lathif telah menguraikan kondisi kedua dan ketiga dari penerapan selain hukum Allah yang menyebabkan pelakunya murtad dari Islam. Dalam artikel kali ini, beliau menguraikan kondisi keempat dan kelima. Uraian beliau diterjemahkan dari disertasi beliau, Nawaqidh al-Iman al-Qauliyah wa al-‘Amaliyah, cetakan Darul Wathan, Riyadh, 1414 H.
***
Keempat: Menyamakan hukum Allah dengan hukum thaghut dan meyakini kedudukan keduanya setara
Ini merupakan kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, karena berarti menyamakan antara Khaliq dengan makhluk-Nya. Juga karena menentang dan menyelisihi firman Allah:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (QS. Asy-Syura [42]: 11) (Lihat Fatawa syaikh Muhammad bin Ibrahim (Takimu Qawanin) 12/289 dan artikel Tahkim asy-Syari’ah karya syaikh Manna’ al-Qathan dalam Majalah al-Buhuts al-Ilmiyyah, 1/68)
Dan firman-Nya:
فَلاَ تَجْعَلُواْ لِلّهِ أَندَاداً وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 22)
Sesungguhnya klaim kesetaraan antara hukum Allah dan hukum positif buatan manusia adalah sebuah pelecehan terhadap Allah SWT, sikap ekstrim dan melampaui batas dalam mengagung-agungkan hukum manusia dan menyekutukan Allah SWT, karena penyetaraan ini berarti menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah SWT. Allah SWT berfirman:
فَلاَ تَضْرِبُواْ لِلّهِ الأَمْثَالَ إِنَّ اللّهَ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl [16]: 74)
Imam Ibnu Katsir saat menafsirkan ayat ini mengatakan: “Maka janganlah kalian menjadikan tandingan-tandingan, saingan-saingan, dan serupa-serupa bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui dan bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak diibadahi selain Dia, adapun kalian dengan kebodohan kalian justru menyekutukan-Nya dengan selain-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/559)
Allah SWT berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللّهِ أَندَاداً يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللّهِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.” (QS. Al-Baqarah [2]: 165)
Barangsiapa mencintai sesuatu selain Allah sebagaimana ia mencintai Allah, maka ia telah menjadikan sesuatu tersebut sebagai tandingan-tandingan selain Allah. Inilah tandingan dalam hal kecintaan, bukan tandingan dalam hal menciptakan dan ketuhanan. Karena tiada seorang pun di dunia ini yang menetapkan tandingan selain Allah dalam hal penciptaan dan ketuhanan. (Lihat Madarij as-Salikin 3/20 dan Thariq al-Hijratain, hlm. 239-240)
Jika demikian keadaannya, maka tidak ada orang yang lebih tersesat dan lebih buruk kondisinya daripada orang yang menyetarakan antara hukum Allah Tuhan Yang tidak dimintai pertangggung jawaban atas segala perbuatan-Nya dengan hukum manusia si makhluk yang lemah dan memiliki banyak keterbatasan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Barang siapa meminta untuk ditaati bersama Allah maka berarti ia telah menginginkan manusia menjadikan dirinya sebagai tandingan selain Allah, yang mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Padahal Allah telah mmeriantahkan untuk tidak beribadah kecuali kepada-Nya saja dan ketundukan seluruh makhluk hanya menjadi hak-Nya saja.” (Majmu’ Fatawa, 14/329)
Allah memberitahukan perkataan penduduk neraka kepada tuhan-tuhan mereka saat mereka disiksa dalam neraka:
تَاللَّهِ إِن كُنَّا لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ {97} إِذْ نُسَوِّيكُم بِرَبِّ الْعَالَمِينَ
“Demi Allah, sungguh kita dahulu dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kalian dengan Rabb semesta alam.” (QS.Asy-Syu’ara’ [26]: 97-98)
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata saat menerangkan makna ayat ini: “Sudah sama-sama diketahui bahwa mereka tidaklah menyamakan Allah SWT dengan tuhan-tuhan mereka tersebut dalam hal menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, menguasai, dan memerintah (seluruh makhluk). Mereka hanya menyamakan tuhan-tuhan mereka dengan Allah dalam masalah mencintai, menaati, merendahkan diri, dan menundukkan diri. Ini merupakan puncak kebodohan dan kezaliman. Bagaimana mungkin bisa disamakan antara makhluk yang diciptakan dari tanah dengan Tuhan seluruh makhluk? Bagaimana mungkin bisa disamakan antara budak dengan Pemilik seluruh makhluk? Bagaimana mungkin bisa disamakan antara makhluk yang miskin, lemah, dan membutuhkan yang tidak memiliki apa-apa dengan Tuhan Yang Maha Kaya lagi Maha Kuasa, di mana kekayaan, kekuasaan, kerajaan, kedermawanan, ilmu, kasih sayang, dan kesempurnaan mutlak sebagai bagian tak terpisahkan dari Dzat-Nya? Kezaliman manalagi yang lebih parah dari hal ini? Hukum apa yang lebih rusak dari hukum macam ini?” (Al-Jawab al-Kafi hlm. 177, lihat juga Miftah Dar as-Sa’adah, 2/20 dan Thariq al-Hijratain, hlm. 296)
Jika menyamakan antara Allah dengan makhluk-Nya dalam salah satu macam ibadah dari sekian banyak ibadah sudah terhitung syirik dan mengambil tandingan selain yang membatalkan tauhid ibadah, maka bagaimana halnya dengan yang menyamakan hukum Allah dengan hukum manusia?
Bagaimanapun, rela Allah sebagai Rabb mewajibkan pengesaan Allah dalam hal menetapkan hukum dan mengkhususkan hak memerintah untuk Allah semata, baik perintah yang berupa takdir maupun perintah yang berupa syariat. Allah SWT berfirman,
أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ
“Kepunyaan Allah semata penciptaan dan perintah.” (QS. Al-A’raf [7]: 54)
Memutuskan perkara dengan (hukum) thaghut sekalipun dalam perkara yang paling kecil adalah membatalkan tauhid. Maka bagaimana pendapat anda tentang orang yang menyamakan hukum manusia dengan hukum yang diturunkan Allah?
Kelima: Memperbolehkan pemutusan perkara dengan hukum yang menyelisihi hukum Allah dan Rasul-Nya, atau meyakini bahwa memutuskan perkara dengan hukum Allah tidaklah wajib dan ia memiliki hak untuk memilih.
Hal ini merupakan kekafiran yang membatalkan keimanan, karena memperbolehkan perkara yang keharamannya telah ditegaskan oleh dalil-dalil yang shahih, tegas, dan qath’i; di mana ia meyakini tidak wajibnya mengesakan Allah dalam menetapkan hukum. Sekalipun ia tidak mengingkari hukum Allah, namun selama ia meyakini tidak wajibnya memutuskan perkara dengan hukum Allah semata, dengan memperbolehkan pemutusan perkara dengan selain hukum yang Allah turunkan, maka ia telah kafir dan keluar dari agama Islam. (Lihat: Fatawa Muhammad bin Ibrahim, 12/280 dan 288, Adhwa’ ‘ala Rukn min at-Tauhid karya Abdul Aziz bin Hamid hlm. 43, Umdat at-Tafsir, 4/158 dan Fatawa Abdul Aziz bin Bazz, 1/137 dan 275)
Imam Al-Qurthubi berkata: “Jika ia memutuskan perkara dengan hukum yang berasal dari dirinya sendiri (dengan meyakini) hukum tersebut berasal dari Allah, maka hal itu merupakan penggantian terhadap hukum Allah yang menyebabkan kekafiran.” (Tafsir Al-Qurthubi, 6/,191; lihat juga Tafsir ath-Thabari, 6/146)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan masalah ini dengan mengatakan: “Tidak diragukan lagi bahwa barang siapa meyakini tidak wajibnya memutuskan perkara dengan hukum Allah maka ia telah kafir. Maka barang siapa menghalalkan pemutusan perkara di antara manusia dengan apa (hukum) yang ia pandang adil tanpa mengikuti hukum yang diturunkan Allah SWT maka ia telah kafir. Karena tidak ada satu umat pun kecuali ia memerintahkan pemutusan perkara dengan adil. Padahal bisa jadi keadilan menurut mereka adalah apa yang dipandang adil oleh para pemimpin mereka.
Bahkan banyak orang yang mengaku beragama Islam memutuskan perkara dengan adat istiadat yang tidak diturunkan oleh Allah SWT. Seperti adat istiadat penduduk pedalaman dan perintah orang-orang yang ditaati di antara mereka. Mereka memandang pemutusan perkara haruslah dengan adat istiadat tersebut, bukan dengan Al-Qur’an dan sunah Nabi SAW. Hal ini merupakan sebuah kekafiran.
Banyak orang yang telah masuk Islam, namun begitu mereka tidak memutuskan perkara kecuali dengan adat-istiadat yang berjalan di antara mereka yang diperintahkan oleh orang-orang yang ditaati di antara mereka. Jika mereka telah mengetahui bahwasanya tidak boleh memutuskan perkara kecuali hukum yang diturunkan Allah, kemudian mereka tidak menetapinya, bahkan mereka menghalalkan pemutusan perkara dengan aturan (hukum) yang menyelisihi hukum yang diturunkan Allah maka mereka itu telah kafir. Adapun jika mereka belum mengetahui (keharaman memutuskan perkara dengan selain hukum Allah, pent) maka mereka adalah orang-orang yang bodoh.” (Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah, 5/130)
Dari penjelasan yang penting ini, menjadi jelas bagi kita bahwa orang-orang yang memperbolehkan pemutusan perkara dengan selain Allah, sedangkan mereka telah mengetahui (kewajiban memutuskan perkara dengan hukum Allah) namun tetap tidak mau komitmen dengan hukum Allah, maka perbuatan mereka tersebut dianggap menghalalkan pemutusan perkara dengan selain hukum Allah dan perbuatan murtad dari Islam. Meskipun perbuatan mereka tersebut tidak mengandung unsur mendustakan hukum Allah. (Dhawabit at-Takfir, hlm 228)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga mengatakan: “Barangsiapa memutuskan perkara dengan aturan (hukum) yang menyelisiahi syariat Allah dan syariat Rasul-Nya, sedangkan ia mengetahuinya, maka ia termasuk bangsa Tartar (Mongol) yang mendahulukan hukum Yasiq atas hukum Allah dan Rasul-Nya.” (Majmu’ Fatawa, 35/407, lihat juga Majmu’ Fatawa, 27/58-59 dan Majmu’ Fatawa, 28/524)
Jika ia termasuk golongan orang Tartar, maka ia juga termasuk golongan orang Yahudi yang memutuskan perkara dengan hukum yang menyelisihi hukum Allah sedangkan mereka mengetahuinya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Bara’ bin Azib RA berkata: “Seorang Yahudi dengan wajah dicoreng arang diarak melewati Nabi Muhammad SAW. Beliau SAW memanggil orang-orang Yahudi tersebut dan menanyai mereka, “Beginikah kalian mendapati hukuman atas pezina dalam kitab suci kalian?” Mereka menjawab, “Ya.”
Maka beliau memanggil seorang ulama Yahudi dan menanyainya, “Aku bertanya kepada kalian dengan nama Allah yang telah menurunkan Taurat kepada nabi Musa. Beginikah kalian mendapati hukuman atas pezina dalam kitab suci kalian?” Ulama Yahudi itu menjawab, “Tidak. Jika bukan karena engkau bertanya dengan nama Allah seperti itu, tentulah aku tidak akan memberitahukannya kepadamu. Kami mendapati hukuman atas pezina dalam kitab suci kami adalah rajam. Namun zina banyak dilakukan oleh orang-orang mulia di antara kami. Maka jika kami menghukum orang yang mulia, kami membiarkan dirinya (tidak dirajam, pent). Namun jika kami menghukum orang rendahan di antara kami, kami melaksanakan rajam atas dirinya. Kami berkata: Mari kita berkumpul dan menetapkan bersama satu hukum yang akan kita laksanakan terhadap orang yang mulia dan orang rendahan di antara kita. Maka kami menetapkan pencorengan dengan arang dan cambukan sebagai ganti dari hukuman rajam.”
Rasulullah SAW berkata: “Ya Allah, sesungguhnya aku adalah orang pertama yang menghidupkan kembali hukum-Mu yang telah mereka matikan.” Atas perintah beliau, maka orang Yahudi tersebut akhirnya dihukum rajam. Maka Allah menurunkan ayat:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ لَا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ مِنَ الَّذِينَ قَالُوا آَمَنَّا بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ قُلُوبُهُمْ وَمِنَ الَّذِينَ هَادُوا سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ سَمَّاعُونَ لِقَوْمٍ آَخَرِينَ لَمْ يَأْتُوكَ يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ مِنْ بَعْدِ مَوَاضِعِهِ يَقُولُونَ إِنْ أُوتِيتُمْ هَذَا فَخُذُوهُ وَإِنْ لَمْ تُؤْتَوْهُ فَاحْذَرُوا
“Hai Rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera kekafirannya, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka:”Kami telah beriman”, padahal hati mereka belum beriman; dan di antara orang-orang Yahudi. Mereka amat suka mendengar kebohongan dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka merobah perkataan-perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka mengatakan: “Jika diberikan ini (yang menguntungkan) kepada kamu, maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini maka hati-hatilah.” (QS. Al-Maidah [5]: 41)
Mereka mengatakan: “Datanglah kepada Muhammad! Jika ia memutuskan hukuman dicoreng dengan arang dan cambukan, maka terimalah keputusannya. Adapun jika ia memutuskan hukuman rajam, maka janganlah kalian terima!”
Maka Allah menurunkan firman-Nya:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah [5]: 44)
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah [5]: 45)
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah [5]: 47)
Semua ayat ini diturunkan tentang orang-orang kafir. (HR. Muslim: kitab al-hudud no. 1700 dan Ahmad, 4/286)
Jadi sebab kekafiran orang-orang Yahudi dalam hadits ini adalah mereka memperbolehkan pemutusan perkada dengan selain hukum Allah dan mereka mengganti hukum Allah. Orang-orang Yahudi kafir karena mereka mengganti hukum Allah, di mana mereka merubah hukum rajam dengan ‘sekedar’ dicoreng arang dan cambuk, padahal mereka tahu hal itu salah. (Dhawabit at-Takfir, hlm. 219 dan Hadd al-Islam, 1/331-382)
Tentang kondisi ini, imam Ibnu Qayim al-Jauziyah mengatakan: “Jika ia meyakini bahwa memutuskan perkara dengan hukum yang diturunkan Allah itu tidak wajib dan ia boleh memilih meskipun ia meyakini bahwa hal itu adalah hukum Allah, maka ia telah kafir akbar.” (Madarij as-Salikin, 1/337, lihat juga Syarh al-Aqidah at-Thahawiyah, 2/446)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata: “Barang siapa meyakini bahwa sebagian manusia boleh keluar dari syariat nabi Muhammad SAW sebagaimana Khidir boleh keluar dari syariat nabi Musa AS, maka ia telah kafir.” (Majmu’at Muallafat syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, 1/387)
Lebih dari itu, memperbolehkan pemutusan perkara dengan hukum yang menyelisihi hukum Allah berarti menerima hukum-hukum dan perintah-perintah dari selain Allah, meskipun dalam sebagian masalah atau dalam masalah yang remeh. Hal ini bertentangan dengan hakekat berserah diri kepada Allah semata. Barangsiapa berserah diri kepada Allah dan juga berserah diri kepada selain-Nya maka ia adalah orang musyrik. Berserah diri kepada Allah semata mencakup unsur beribadah kepada Allah semata dan taat kepada-Nya semata. (Lihat: Majmu’ Fatawa, 3/9 dan Majmu’at Muallafat syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, 4/344)
Untuk memperjelas masalah ini, kita sampaikan tulisan ustadz Muhammad Qutub tentang contoh memperbolehkan pemutusan perkara dengan selain hukum Allah. Beliau mengatakan: “Bagaimana mungkin kita mengaku beriman Laa Ilaha Illa Allah —bahwasanya tiada Ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan tidak ada penetap hukum selain Allah— sedangkan kita —dengan ucapan maupun tindakan kita— kita mengatakan, “Engkau, wahai Allah telah mengharamkan riba. Adapun kami berpendapat riba itu nyawa perekonomian kontemporer. Tanpa riba, ekonomi tidak akan tegak. Oleh karena itu kami menerimanya, menerapkannya, dan menjadikannya tulang punggung sistem moneter kami.
Ya Allah, Engkau menetapkan zina itu haram. Engkau telah menetapkan hukuman tertentu atas perbuatan zina dalam kitab suci-Mu dan sunah nabi-Mu. Adapun kami berpendapat zina bukan kejahatan yang harus dihukum selama dilakukan atas kerelaan dari kedua belah pihak dan wanita tersebut bukanlah orang yang telah bersuami. Kalaupun terjadi kejahatan zina (perselingkuhan atau pemerkosaan, pent) dalam pandangan kami, maka sanksi hukumnya bukanlah hukum yang telah Engkau tetapkan (rajam bagi yang telah menikah dan cambuk bagi yang belum menikah, pent).
Engkau, wahai Allah, telah menyatakan hukuman bagi pencuri adalah potong tangan. Adapun kami berpendapat hukuman ini kejam dan tidak manusiawi. Hukuman bagi pencuri menurut kami adalah hukuman penjara, itulah hukuman yang sesuai dengan manusia abad dua puluh.” (Haula Tathbiq asy-Syari’ah, hal. 20-21)
Bersambung, insya Allah….
(muhib al-majdi/arrahmah.com)