(Arrahmah.com) – Dalam artikel sebelumnya, Dr. Abdul Aziz bin Muhammad Al-Abdul Lathif telah menguraikan kondisi pertama dari penerapan selain hukum Allah yang menyebabkan pelakunya murtad dari Islam. Dalam artikel kali ini, beliau menguraikan kondisi kedua dan ketiga. Uraian beliau diterjemahkan dari disertasi beliau, Nawaqidh al-Iman al-Qauliyah wa al-‘Amaliyah, cetakan Darul Wathan, Riyadh, 1414 H.
Kedua: Orang yang memutuskan perkara dengan selain hukum Allah mengingkari kebenaran hukum Allah SWT dan rasul-Nya SAW
Hal ini sebagai riwayat dari sahabat Ibnu Abbas saat menafsirkan firman Allah SWT:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah [5]: 44)
Ibnu Abbas berkata: “Barangsiapa mengingkari apa yang Allah turunkan niscaya ia telah kafir.” Pendapat ini juga dipilih oleh imam Ibnu Jarir dalam tafsirnya. (Tafsir ath-Thabari, 6/149 dan Tafsir Ibnu Katsir, 2/58)
Sesungguhnya mengingkari hukum Allah berarti menentang penjelasan Allah SWt dan mendustakan nash-nash dua wahyu (Al-Qur’an dan as-sunnah). Para ulama telah bersepakat atas kekafiran orang yang mengingkari sebuah hukum yang diketahui secara pasti merupakan bagian dari agama Islam (al-ma’lum min ad-dien bi-dharurah). Kesepakatan ulama tersebut telah disebutkan oleh banyak ulama terdahulu, sebagaimana yang telah kita uraikan secara rinci dalam pembahasan yang telah lewat.
Di antaranya, imam Abu Ya’la Al-Hambali berkata: “Barangsiapa meyakini kehalalan perkara yang telah diharamkan oleh Allah dengan nash (dalil) yang tegas, atau diharamkan oleh rasul-Nya, atau telah disepakati keharamannya oleh kaum muslimin, niscaya ia telah kafir. Seperti orang yang memperbolehkan minum khamr, mencegah shalat, mencegah shiyam, dan mencegah zakat. Demikian pula orang yang meyakini keharaman perkara yang telah dihalalkan oleh Allah dengan nash yang tegas, atau dihalalkan oleh rasul-Nya, atau disepakati kehalalannya oleh kaum muslimin, padahal ia mengetahui kehalalannya niscaya ia telah kafir. Seperti orang yang mengharamkan pernikahan dan jual beli menurut cara yang dihalalkan oleh Allah. Alasan kekafirannya adalah sikapnya tersebut berarti mendustakan berita Allah dan rasul-Nya dan juga mendustakan berita kaum muslimin. Dan barangsiapa melakukan hal itu maka ia telah kafir menurut kesepakatan kaum muslimin.” (Al-Mu’tamad fi Ushul ad-Dien, hlm. 271-272)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Manusia kapan saja ia menghalalkan perkara yang telah disepakati keharamannya, atau mengharamkan perkara yang telah disepakati kehalalannya, atau mengganti syariat yang telah disepakati, niscaya ia telah kafir murtad menurut kesepakatan ulama.” (Majmu’ Fatawa, 3/267, lihat juga Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim (Risalah Tahkim al-Qawanin), 12/288, Hadul Islam karya Asy-Syadzili hlm. 437, artikel ‘Tahkim asy-Syari’ah’ karya syaikh Manna’ al-Qathan dalam Majalah al-Buhuts, edisi 1 hlm. 67, dan Dhawabit at-Takfir, karya al-Qarni hlm. 19-20)
Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi berkata: “Barangsiapa tidak memutuskan perkara dengan hukum yang Allah turunkan karena ia menentang para rasul dan membatalkan hukum-hukum Allah, maka kezaliman, kefasikan, dan kekafirannya mengeluarkan dirinya dari agama Islam.” (Adhwa al-Bayan, 2/104)
Tidak boleh kita lupakan bahwa sekedar pengingkaran terhadap hukum Allah adalah sebuah kekafiran, sekalipun tidak disertai dengan penerapan selain syariat lslam. Orang yang mengingkari hukum Allah adalah orang kafir, baik ia memutuskan perkara dengan selain hukum Allah maupun ia tidak memutuskan perkara.
Ketika menyebutkan beberapa pendapat para ulama tentang makna ayat ini:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah [5]: 44)
Imam Ibnu Qayyim antara lain mengatakan: “Di antara mereka ada yang menafsirkan bahwa ayat ini berkenaan dengan orang yang tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah karena mengingkari hukum Allah. Ini adalah pendapat Ikrimah, dan ini adalah pendapat yang lemah, karena tindakan pengingkaran itu sendiri sudah merupakan sebuah kekafiran, baik ia memutuskan perkara dengan hukum Allah maupun tidak memutuskan perkara.” (Madarij as-Salikin, 1/336)
Ketiga: Mengutamakan hukum taghut atas hukum Allah, baik dalam semua perkara maupun dalam sebagian perkara saja
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah menyebutkan hal ini dalam perkara-perkara yang membatalkan keislaman. Beliau berkata: “Barangsiapa meyakini bahwa petunjuk selain Rasulullah SAW lebih utama dari petunjuk Rasulullah SAW, atau meyakini bahwa hukum selain Rasulullah SAW lebih baik dari hukum Rasulullah SAW, seperti orang yang lebih mengutamakan hukum para taghut atas hukum Rasulullah SAW, maka ia telah kafir.” (Majmu’ Muallafat syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, 1/386)
Syaikh Muhammad bin Ibrahim berkata: “Barangsiapa meyakini bahwa hukum selain Rasulullah SAW lebih baik dari hukum Rasulullah SAW, lebih sempurna dan lebih mencakup seluruh kebutuhan manusia dalam menyelesaikan perselisihan perkara di antara mereka, baik secara mutlak (keseluruhan) maupun terbatas dalam perkara-perkara kontemporer yang timbul karena perkembangan zaman dan perubuhan situasi, tidak diragukan lagi bahwa ia telah kafir karena ia mengutamakan hukum-hukum makhluk yang merupakan sampah pemikiran dan kreasi akal rendah manusia belaka atas hukum Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (Fatawa syaikh Muhammad bin Ibrahim, 12/288. Lihat juga Tafsir Al-Manar, 6/404-407, Fatawa syaikh Ibnu Bazz, 1/273 dan Al-Majmu’ ats-Tsamin karya syaikh Ibnu Utsaimin, 1/36)
Setelah meruntuhkan daulah Abbasiyah, bangsa mongol telah menegakkan kekafiran ini, dengan cara mendahulukan Undang-undang Dasar Yasiq, mewajibkannya atas kaum muslimin, dan mencampakkan hukum Allah SWT. Imam Ibnu Katsir menyebutkan realita ini saat menafsirkan firman Allah,
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan siapakah yang hukumnya lebih baik daripada Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS. Al-Maidah [5]: 50)
Beliau berkata: “Allah SWT mengingkari orang yang keluar dari hukum Allah yang memuat semua bentuk kebaikan lagi mencegah semua bentuk keburukan, lalu ia berpaling kepada selain hukum Allah yang berupa pendapat-pendapat, keinginan-keinginan, dan istilah-istilah yang dibuat oleh para tokoh tanpa bersumber kepada syariat Allah. Seperti kaum jahiliyah dan bangsa Mongol (Tartar) yang memutuskan perkara dengan peraturan-peraturan kerajaan yang diambil dari raja mereka, Jengish Khan. Jengish Khan membuat untuk mereka Yasiq, yaitu sebuah kitab kumpulan hukum (undang-undang) yang ia ambil dari berbagai macam sumber; sumber Yahudi, Nasrani, agama Islam, dan agama lainnya. Di dalam kitab hukum tersebut juga terdapat banyak hukum yang diambil dari pemikiran dan hawa nafsu Jengish Khan sendiri. Kitab hukum tersebut menjadi undang-undang yang diikuti oleh anak keturunan Jengish Khan. Mereka mengedepankannya atas hukum dari kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya SAW. Barangsiapa melakukan hal itu maka ia telah kafir dan wajib diperangi sampai ia kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, sehingga ia tidak menerapkan hukum selainnya baik dalam perkara yang sedikit (kecil) maupun banyak (besar)…” (Umdatu at-Tafsir, 4/171-173 dan lihat juga Al-Bidayah wa an-Nihayah, 13/119 dengan ringkas)
Imam Mahmud al-Alusi dalam kitab tafsirnya mengatakan: “Tidak diragukan lagi kekafiran orang yang menganggap baik undang-undang buatan manusia dan mengutamakannya atas syariat Allah, dan ia menyatakan: Undang-undang buatan manusia lebih selaras dengan kebijaksanaan dan lebih sesuai dengan (kebutuhan) manusia; ia justru dendam dan marah ketika dikatakan kepadanya dalam sebuah perkara: ‘Tuntunan syariat dalam perkara ini begini’. Seperti yang telah kita saksikan pada diri orang yang ditelantarkan oleh Allah maka Allah menjadikan hati mereka tuli dan buta.
Maka tidak sewajarnya ragu-ragu atas kekafiran orang yang menganggap baik apa yang jelas-jelas menyelisihi syariat Allah dalam undang-undang buatan manusia, dan ia mengedepankannya atas hukum-hukum syariat dengan menganggap tidak sempurnanya hukum-hukum syariat.” (Ruhul Ma’ani, 8/20-21)
Imam Ismail al-Azhari berbicara tenang orang yang tidak memiliki iman yang menuduh syariat Islam yang sempurna ini sebagai hukum yang tidak sempurna. Di antaranya beliau berkata:
“Barangsiapa menyangka bahwa syariat yang sempurna ini, yang belum pernah hadir ke dunia ini undang-undang yang lebih sempurna darinya, adalah syariat yang kurang sempurna, memerlukan sistem lain dari luar yang menyempurnakannya, maka ia seperti orang yang menyangka bahwa manusia memerlukan rasul lain selain Rasul (Muhammad SAW) mereka yang menghalalkan untuk mereka perkara-perkara yang baik dan mengharamkan untuk mereka perkara-perkara yang keji.
Demikian pula barangsiapa menyangka bahwa sebagian hukum dalam Al-Qur’an dan sunnah nabawiyah yang teguh dan shahih bertentangan dengan sistem pengaturan dan maslahat yang dituntut oleh sistem dunia, maka ia telah kafir secara pasti.” (Tahdzir Ahl al-Iman, hal. 80-81)
Syaikh Mahmud Syakir mengulas hal ini dengan mengatakan: “Kondisi yang kita hadapi pada hari ini adalah pencampakan hukum-hukum Allah secara total tanpa pengecualian, mengutamakan hukum-hukum selain hukum dalam kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya SAW, dan penegasian seluruh hukum yang terdapat dalam syariat Allah. Bahkan sampai taraf mengutamakan hukum undang-undang buatan manusia atas hukum-hukum yang diturunkan oleh Allah. Mereka mengklaim bahwa hukum-hukum syariat Islam turun untuk zaman yang bukan zaman kita, oleh sebab-sebab yang telah berlalu, sehingga seluruh hukum tersebut juga gugur dengan berlalunya sebab-sebab yang melatar belakanginya.” (Umdat at-Tafsir, 4/157)
Musuh-musuh Islam telah menempuh berbagai macam cara untuk mendiskreditkan syariat Islam dan mengunggulkan hukum taghut atas hukum Allah. Maka engkau melihat mereka menjuluki Islam adalah agama rohani belaka, tidak memiliki kaitan apapun dengan seluruh aspek kehidupan lainnya seperti ekonomi, peradilan, politik, hukum pidana, dan lain-lain. (Bahasan tuntas tentang masalah ini, silahkan lihat Al-Islam wa al-Ilmaniyyah karya Yusuf Qaradhawi, Al-Ilmaniyyah karya Safar al-Hawali, Tahafut al-Ilmaniyyah fi ash-Shahafah al-Arabiyyah karya Salim al-Bahansawi, dan Tahkim asy-Syari’ah karya Shalah ash-Shawi)
Syaikh Ahmad Syakir berkata tentang orang-orang tersebut dan hukum Allah atas mereka: “Al-Qur’an penuh dengan hukum-hukum dan kaedah-kaedah yang agung, dalam masalah-masalah sipil, perdagangan, hukum-hukum perang dan perdamaian, hukum harta rampasan perang dan tawanan perang, dan dengan nash-nash yang tegas dalam perkara hudud dan qishas. Maka barangsiapa menyangka Islam adalah agama ritual belaka maka ia telah mengingkari semua hukum Islam (dalam berbagai bidang kehidupan) ini, mengadakan kebohongan yang besar atas nama Allah, dan menyangka ada orang tertentu atau lembaga tertentu yang berhak menghapuskan perintah Allah untuk menaati-Nya dan mengamalkan hukum-hukum-Nya. Seorang muslim baik di zaman dahulu maupun sekarang tidak akan mengatakan pendapat seperti ini. Barangsiapa mengatakan pendapat seperti ini niscaya ia telah keluar dari agama Islam secara total dan menolak seluruh ajaran Islam, sekalipun ia masih melakukan shalat dan shaum dan ia mengklaim dirinya seorang muslim.” (Al-Kitab wa as-Sunnah Yajibu an Takuna Mashdar al-Qawanin fi Mishr, hlm. 98. Lihat juga Umdat at-Tafsir, 2/171-172 dan Mauqif al-Aql wa al-Ilm wa al-Alim min Rabb al-Alamin, 4/292 karya Musthafa Shabri)
Musuh-musuh Islam juga menuduh penerapan syariat Islam berarti menyetujui diktatorisme politik dan teror pemikiran. Mereka lalu menunjuk kepada kondisi Eropa selama masa dominasi tokoh-tokoh gereja. Terkadang musuh-musuh Islam menuduh syariat Islam itu statis dan tidak selaras dengan perkembangan zaman. Mereka juga menuduh hukum-hukum hudud dan qishas itu biadab dan tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan zaman modern.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim menjelaskan masalah ini dengan mengatakan: “Hukum Allah dan rasul-Nya tidaklah berubah dengan adanya perubahan zaman, perkembangan situasi, dan terjadinya pergantian peristiwa baru. Karena tidaklah ada suatu perkara pun kecuali telah terdapat hukumnya dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW baik secara nash, dhahir, istinbath, maupun cara lainnya. Orang yang berilmu akan mengetahuinya dan orang bodoh tidak akan mengetahuinya. (Fatawa syaikh Muhammad bin Ibrahim (Tahkim al-Qawanin), 12/288)
Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi berkata: “Adapun menerapkan undang-undang yang menyelisihi undang-undang Pencipta langit dan bumi berarti kafir kepada Pencipta langit dan bumi. Seperti tuduhan bahwa aturan syariat Islam yang melebihkan bagian anak laki-laki atas anak perempuan dalam pembagian warisan adalah tidak adil, sehingga keduanya harus mendapat jatah warisan yang sama banyak. Demikian juga tuduhan bahwa poligami adalah kezaliman, perceraian adalah kezaliman atas kaum wanita, hukum rajam dan potong tangan serta sejenisnya adalah perbuatan biadab yang tidak layak diterapkan atas manusia, dan seterusnya.
Menerapkan undang-undang seperti ini (padahal menyelisihi syariat Allah, pent) dalam masalah nyawa, harta, kehormatan, keturunan, akal, dan agama masyarakat adalah kekafiran terhadap Pencipta langit dan bumi, dan pembangkangan terhadap sistem (pedoman hidup) langit yang dibuat oleh Pencipta seluruh makhluk, Yang lebih mengetahui maslahat makhluk-Nya. Maha Suci dan Maha Tinggi Allah dari memiliki tandingan pembuat hukum yang lain.” (Adhwa’ al-Bayan, 4/84-85)
Termasuk dalam sikap mengutamakan hukum jahiliyah atas hukum Allah adalah tidak menerapkan hukum Allah karena meremehkan, melecehkan, dan menganggap hina hukum Allah. Barangsiapa melakukan hal itu niscaya ia telah keluar dari agama Islam, karena ia telah mengolok-olok agama Allah, karenanya merupakan perbuatan murtad. Sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah SWT,
قُلْ أَبِاللّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِؤُونَ {65} لاَ تَعْتَذِرُواْ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?” Tidak usah kalian minta maaf, karena kalian kafir sesudah beriman. (QS. At-Taubah [9]: 65-66)
Imam Fakhruddin ar-Razi berkata: “Sesungguhnya mengolok-olok agama bagaimanapun caranya adalah kekafiran terhadap Allah, karena mengolok-olok menunjukkan sikap menganggap remeh, adapaun tiang pokok keimanan adalah mengagungkan Allah sampai taraf pengagungan yang tertinggi. Sementara sikap meremehkan dan sikap mengagungkan tidak mungkin bisa disatukan.” (At-Tafsir al-Kabir, 16/124)
Juga firman Allah:
وَإِن نَّكَثُواْ أَيْمَانَهُم مِّن بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُواْ فِي دِينِكُمْ فَقَاتِلُواْ أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لاَ أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنتَهُونَ
Jika mereka merusak sumpah mereka sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agama kalian, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang cedera janjinya, agar supaya mereka berhenti. (QS. At-Taubah [9]: 12)
Imam Al-Qurthubi saat menafsirkan ayat ini mengatakan: “Sebagian ulama menjadikan ayat ini sebagai dalil atas wajibnya menghukum mati setiap orang yang mencerca agama Islam, karena ia telah kafir. Mencerca adalah menisbahkan kepada agama Islam apa yang tidak layak bagi Islam, atau menentang dengan cara meremehkan perkara yang termasuk bagian dari agama Islam. Sebab dalil yang qath’i telah menunjukkan kebenaran pokok-pkok ajaran Islam dan kelurusan cabang-cabang ajaran Islam.” (Tafsir Al-Qurthubi, 8/82)
Imam Ibnu Abi al-Izz al-Hanafi berkata: “Barangsiapa meyakini bahwa memutuskan perkara dengan hukum Allah tidaklah wajib, atau ia boleh memilih (antara menerapkan atau tidak menerapkan hukum Allah), atau ia menganggapnya remeh sekalipun ia meyakini itu adalah hukum Allah, maka ini merupakan kekafiran besar (yang mengeluarkannya dari agama Islam).” (Syarh al-Aqidah at-Thahawiyah, 2/446)
Imam Abu Su’ud Muhammad bin Muhammad al-Imadi al-Hanafi saat menafsirkan firman Allah:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah [5]: 44)
Beliau mengatakan: “Barangsiapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah, siapa pun dirinya, bukan terbatas orang-orang yang diajak bicara saat ayat ini turun karena mereka sudah tentu termasuk dalam ayat ini. Maksudnya, barangsiapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah karena mengangkap rendah hukum Allah dan mengingkarinya, maka mereka adalah orang-orang kafir disebabkan mereka menganggap hina hukum Allah.” (Tafsir Irsyad al-Aql as-Salim, 2/64. Lihat juga Tafsir al-Baidhawi, 1/276 dan Mahasin at-Ta’wil, 6/215 karya Jamaluddin al-Qasimi)
Insya Allah bersambung…
(muhib al-majdi/arrahmah.com)