(Arrahmah.com) – Dalam lima artikel sebelumnya, Dr. Abdul Aziz bin Muhammad Al-Abdul Lathif telah menguraikan dengan jelas urgensi penerapan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Mulai artikel ini, beliau menjelaskan kapan menerapkan selain hukum Allah menyebabkan pelakunya murtad dan keluar dari Islam. Uraian beliau diterjemahkan dari disertasi beliau, Nawaqidh al-Iman al-Qauliyah wa al-‘Amaliyah, cetakan Darul Wathan, Riyadh, 1414 H.
***
Pembahasan Kedua:
Kapan memutuskan perkara dengan selain hukum Allah membatalkan keimanan?
Jika telah tetap bahwa menetapkan hukum merupakan salah satu karakteristik rububiyah (ketuhanan) Allah SWT, sehingga halal adalah perkara yang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya semata, haram adalah perkara yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya semata, dan dien (pedoman hidup, agama) adalah perkara yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya semata; maka tidak ada seorang pun yang memiliki kewenangan untuk keluar dari suatu perkara pun yang telah ditetapkan dalam dien Allah, justru kewajibannya adalah mengikuti syariat Allah SWT. Allah berfirman:
اتَّبِعُواْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء قَلِيلاً مَّا تَذَكَّرُونَ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan janganlah kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kalian mengambil pelajaran.” (QS. Al-A’raf [7]: 3)
Demikian juga wajib mengkufuri taghut, dengan tidak meminta putusan perkara kepada taghut (hukum taghut), meyakini kebatilan taghut, dan berlepas diri darinya. Sebagaimana firman Allah:
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا
“Maka siapa mengkufuri thaghut dan beriman kepada Allah, niscaya ia telah berpegang teguh dengan tali ikatan yang kokoh (kalimat syahadat, pent) yang tidak akan pernah terlepas lagi.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)
Sesungguhnya iman yang sejati menuntut ketaatan kepada hukum Allah, yang merupakan hukum terbaik secara mutlak. Demikianlah sikap orang-orang beriman yang jujur dan yakin. Allah berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Dan siapakah yang hukumnya lebih baik daripada Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS. Al-Maidah [5]: 50)
Allah berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. (QS. Al-Ahzab [33]: 36)
Adapun orang yang meminta putusan perkara kepada taghut atau hukum jahiliyah, lalu ia mengklaim sebagai orang yang beriman, maka klaimnya tersebut dusta seperti kondisi kaum munafik yang disebutkan dalam firman Allah:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُواْ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا
Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku beriman kepada apa (wahyu Allah) yang telah diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelummu? Mereka ingin berhukum kepada thaghut padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisa’ [4]: 60)
Allah telah menamakan orang-orang yang memutuskan perkara dengan selain syariat-Nya sebagai orang-orang kafir, zalim, dan fasik. Allah berfirman:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah [5]: 44)
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah [5]: 45)
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah [5]: 47)
Memutuskan perkara dengan selain hukum yang Allah turunkan merupakan kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan membatalkan keimanan, dalam beberapa bentuk dan keadaan. Kami akan membicarakan sebagiannya sebagai berikut.
Pertama: Membuat undang-undang selain hukum yang Allah turunkan
Telah tetap, sejak pembahasan awal, wajibnya mengesakan Allah dalam perkara menetapkan hukum dan undang-undang. Allah berfirman:
أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ تَبَارَكَ اللّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. (QS. Al-A’raf [7]: 54)
Jika Allah SWt adalah satu-satunya Dzat Yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, dan mematikan, tiada sekutu bagi-Nya dalam perkara-perkara ini; maka Allah SWt pula satu-satunya Dzat Yang (memiliki hak untuk) menetapkan undang-undang, menghalalkan, dan mengharamkan. Dien (pedoman hidup, agama) hanyalah apa yang Allah tetapkan, tiada seorang pun yang berhak menetapkan suatu perkara yang tidak bersumber dari Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Menetapkan hukum hanyalah hak Allah SWT semata tiada sekutu bagi-Nya. Barangsiapa menyaingi Allah dalam sebagian penetapan hukum, maka ia adalah seorang musyrik. Berdasar firman Allah:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka dien (pedoman hidup, hukuk, agama) yang tidak diizinkan Allah? (QS. Asy-Syura [42]: 21)
Imam Ibnu Katsir saat menafsirkan ayat ini menulis:
“Mereka tidak mengikuti dien (pedoman hidup, hukum, agama) yang lurus yang Allah tetapkan untukmu. Mereka justru mengikuti apa yang ditetapkan oleh setan-setan (pemimpin kekafiran) mereka dari gologan jin dan manusia, berupa pengharamkan apa yang Allah halalkan untuk mereka — yaitu Bahirah, Saibah, Washilah, dan Ham— dan penghalalan (apa yang Allah haramkan atas diri mereka) makan bangkai, darah, perjudian, dan kesesatan-kesesatan serta kebodohan-kebodohan batil lainnya yang mereka ada-adakan pada zaman jahiliyah mereka berupa penghalalan (hal yang haram), pengharaman (hal yang halal), ibadah-ibadah yang rusak dan harta-harta yang rusak.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/113)
Allah menamakan orang-orang yang ditaati dalam kemaksiatan yang mereka hiasi hingga nampak indah, sebagai syuraka‘ (sesembahan-sesembahan dan sekutu-sekutu selain Allah) (Lihat Adhwaul Bayan, 4/83 dan 7/173). Allah berfirman:
Allah berfirman:
وَكَذَلِكَ زَيَّنَ لِكَثِيرٍ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ قَتْلَ أَوْلاَدِهِمْ شُرَكَآؤُهُمْ
“Dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka…” (QS. Al-An’am [6]: 137)
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهًا وَاحِدًا لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan para pendeta dan ahli ibadah mereka sebagai rabb-rabb (tuhan-tuhan) selain Allah dan mereka juga mengambil Al-Masih Ibnu Maryam (sebagai rabb selain Allah). Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Ilah Yang Maha Esa. Tak ada Ilah yang berhak diibadahi selain-Nya. Maha Suci Allah dari kesyirikan mereka.” (QS. At-Taubah [9]: 31)
Para pendeta dan ahli ibadah yang menetapkan hukum selain yang Allah tetapkan tersebut adalah orang-orang kafir, dan kekafiran mereka tidak diragukan lagi, karena mereka menyaingi Allah dalam hak rububiyah-Nya dan mereka mengganti dien dan syariat Allah. (Lihat Asy-Syariah Al-Ilahiyah, hlm. 179-182)
Jika mengikuti hukum orang-orang yang menetapkan hukum selain hukum yang Allah syariatkan adalah sebuah kesyirikan, dan Allah telah memvonis musyrik para pengikut tersebut. Sebagaimana firman-Nya:
وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.(QS. Al-An’am [6]: 121)
Maka bagaimana lagi dengan orang-orang yang menetapkan hukum tersebut? (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 2/163, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 7/70, dan Adhwaul Bayan, 3/440)
Allah juga berfirman:
إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ كَفَرُواْ يُحِلِّونَهُ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُ عَامًا لِّيُوَاطِؤُواْ عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللّهُ فَيُحِلُّواْ مَا حَرَّمَ اللّهُ
Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran. Disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (QS. At-Taubah [9]: 37)
Imam Ibnu Hazm berkata tentang makna ayat ini: “Dengan bahasa Arab yang Al-Qur’an turun dengannya, tambahan pada sesuatu tidak mungkin berasal kecuali dari sesuatu tersebut, bukan dari hal selainnya. Maka benarlah bahwa mengundur-undurkan (bulan haram) adalah kekufuran. Ia merupakan sebuah perbuatan, yaitu menghalalkan apa yang Allah haramkan.” (Al-Fashl fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal, 3/245)
Orang-orang yang menetapkan hukum yang tidak diizinkan oleh Allah tersebut, hanya membuat hukum-hukum taghut tersebut karena mereka meyakini bahwa hukum buatan mereka lebih baik (lebih sesuai) dan lebih bermanfaat bagi manusia. Hal ini adalah perbuatan murtad dari agama Islam. Bahkan menerima hukum tersebut, walau hanya hukum yang sedikit sekalipun, berartii tidak ridha dengan hukum Allah dan Rasul-Nya. Hal ini merupakan kekafiran yang mengeluarkan dari agama Islam. (Lihat Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 12/500 dan Al-Majmu’ ats-Tsamin karya syaikh Utsaimin, 1/36)
Lebih dari itu, menetapkan hukum selain hukum Allah merupakan tindakan memperbolehkan keluar dari ketaatan kepada syariat yang diturunkan oleh Allah. Dan barangsiapa memperbolehkan manusia untuk keluar dari syariat Allah, maka ia telah kafir menurut ijma’ ulama. (Lihat Majmu’ Fatawa, 27/58-59 dan 28/524 serta Al-Bidayah wan Nihayah, 13/119)
“Sesungguhnya para taghut manusia, baik zaman dahulu maupun sekarang, telah menyaingi Allah dalam hak memerintah, melarang, dan menentukan hukum tanpa izin Allah SWT. Para pendeta dan ahli ibadah (Yahudi dan Nasrani) telah mengklaim hak tersebut untuk diri mereka maka mereka menghalalkan hal yang haram dan mengharamkan hal yang halal. Mereka membelenggu manusia dengan hak itu, maka mereka menjadi Arbab (tuhan-tuhan) selain Allah.
Para raja kemudian ikut memperebutkan hak ini, maka mereka membagi-bagi hak ini di antara mereka dengan para pendeta dan ahli ibadah (Yahudi dan Nasrani). Setelah itu kaum sekuler datang dan merebut hak ini dari para raja maupun para pendeta dan ahli ibadah. Mereka lantas menyerahkan hak ini kepada lembaga yang mewakili rakyat atau bangsa, yang mereka namakan parlemen atau majelis (dewan) perwakilan rakyat…” (Nazhariyatus Siyadah wa Atsaruha ‘ala Syar’iyyat al-Anzhimah al-Wadh’iyyah, hlm. 19-20)
Mayoritas pemerintahan yang berkuasa atas negeri-negeri kaum muslimin —setelah dikaji Undang-undang Dasarnya— telah melepaskan diri dari akidah mengesakan Allah SWt dalam hak menetapkan hukum. Mayoritas pemerintahan tersebut menjadikan hak menetapkan hukum dan kedaulatan berada di tangan bangsa atau rakyat. Terkadang pemerintahan tersebut juga memberi hak kepada penguasa (presiden, eksekutif, pent) untuk membuat hukum, bahkan terkadang hanya penguasa tersebut yang memiliki hak untuk menetapkan hukum. Semua gaya pemerintahan tersebut menentang hakekat agama Islam yang mewajibkan ketundukan dan penerimaan terhadap dien (pedoman hidup, hukum, dan agama) Allah SWT. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan. (Nazhariyatus Siyadah wa Atsaruha ‘ala Syar’iyyat al-Anzhimah al-Wadh’iyyah, hlm. 12-16)
Dr. Shalah Shawi mengatakan tentang kondisi tersebut:
“Sesungguhnya kondisi yang dihadapi oleh masyarakat-masyarakat kita pada zaman sekarang adalah kondisi mengingkari bahwa Islam memiliki hubungan dengan persoalan-persoalan negara dan sejak awal menghalangi ajaran-ajaran dalam syariat Islam dari mengurus persoalan-persoalan negara, serta menetapkan hak membuat hukum secara mutlak dalam seluruh aspek kehidupan bernegara kepada parlemen dan dewan legislative (majelis/dewan perwakilan rakyat).
Kita tengah berhadapan dengan sebuah kaum yang meyakini dengan pasti bahwa kedaulatan penuh dan kewenangan membuat hukum secara mutlak berada di tangan dewan legislative. Bagi mereka, halal adalah apa yang dihalalkan oleh dewan legislative, haram adalah apa yang diharamkan oleh dewan legislative, wajib adalah apa yang diperintahkan oleh dewan legislative, peraturan adalah apa yang ditetapkan oleh dewan legislative. Sebuah perbuatan tidak disebut kejahatan kecuali apabila melanggar hukum yang ditetapkan oleh dewan legislative, sebuah kejahatan tidak akan dihukum kecuali berdasar hukum yang ditetapkan oleh dewan legislative, dan tidak dianggap hukum kecuali teks-teks hukum yang ditetapkan oleh dewan legislative…
Inilah ujian yang hari ini kita hadapi. Kondisi ini tidak mungkin diperbaiki hanya dengan melakukan tambal-sulam secara parsial dengan membuang sebagian pasal-pasal hukumnya atau membuang sebagian teks hukumnya. Ia hanya bisa diperbaiki dengan cara sejak awal kita menetapkan bahwa kedaulatan mutlak dan kekuasaan tertinggi adalah milik syariat Islam, dan kita menetapkan bahwa semua undang-undang dan peraturan yang bertentangan dengan syariat Islam dinyatakan batal.” (Tahkimusy Syari’ahwa Da’awil Ilmaniyyah, hlm. 81, karya Dr. Shalah Shawi)
Pelecehan dan pencampakan syariat Allah dalam Undang-undang Dasar sebagian Negara tersebut telah sampai pada kondisi mereka menjadikan syariat Allah ini sebagai sumber sampingan dari sumber undang-undang, sehingga syariat Islam berada pada posisi setelah hukum positif dan hukum adat. Mereka juga secara terang-terangan menegaskan bahwa hak menetapkan undang-undang berada di tangan selain Allah, di mana menurut mereka dalil-dalil syariat Islam tidak bisa menjadi undang-undang jika mereka hendak mengamalkannya, kecuali apabila telah ditetapkan oleh pihak yang memiliki hak menetapkan undang-undang, yaitu kekuasaan legislative yang telah diberi hak oleh Undang-undang Dasar untuk menetapkan undang-undang.
Adapun kenyataan bahwa syariat Islam ini diturunkan oleh Allah SWT, menurut mereka, tidaklah menjadikan syariat Islam menjadi undang-undang; apalagi menjadikan syariat Islam sebagai Undang-undang dasar yang menguasai dan memerintah (bangsa dan negara). Justru, kebiasaan yang terjadi adalah penyingkiran prinsip-prinsip dalam syariat Islam! (Lihat penjelasan rinci atas masalah ini dalam kitab Haddul Islam wa Haqiqat al-Iman, hlm. 365-377, karya Abdul Majid Syadzili)
Undang-undang dasar dan undang-undang turunannya ini oleh para penganutnya bahkan telah memiliki hak kehormatan dan pengagungan, seperti halnya syariat Allah. Syaikh Ahmad Syakir menjelaskan masalah ini dengan mengatakan:
“Undang-undang yang diwajibkan oleh musuh-musuh Islam atas kaum muslimin ini…pada hakekatnya adalah agama lain yang mereka jadikan sebagai agama bagi kaum muslimin, sebagai pengganti atas agama mereka yang suci dan luhur. (Hal itu) karena mereka mewajibkan kepada kaum muslimin untuk menaati undang-undang tersebut dan mereka menanamkan dalam hati kaum muslimin rasa cinta, pensucian, dan fanatisme terhadap undang-undang tersebut. Sampai-sampai lewat lisan dan tulisan seringkali muncul istilah-istilah ‘pensucian (kultus) undang-undang’, ‘kesucian vonis hukum’, ‘kehormatan pengadilan’, dan istilah-istilah sejenis. Kemudian mereka menyebut undang-undang tersebut dan kajian terhadapnya dengan istilah ‘fiqih’, ‘faqih’, ‘tasyri’ (menetapkan undang-undang), ‘musyarri’ (orang yang menetapkan undang-undang), dan istilah-istilah sejenis yang biasa dipakai oleh ulama Islam untuk menyebut syariat Islam dan ulama syariat.” (Umdatut Tafsir, 3/124 secara ringkas)
Sesungguhnya syariat Allah wajib menjadi satu-satunya pemegang supremasi dan pemegang kedaulatan atas seluruh undang-undang lain. Syariat Islam wajib menjadi satu-satunya sumber perundang-undangan. Maka kita tidak boleh tertipu oleh perkataan sebagian mereka bahwa syariat Islam adalah sumber pokok pembuatan undang-undang, karena ungkapan syirik ini mengandung sikap menerima dan ridha kepada sumber-sumber lain dalam pembuatan undang-undang, sekalipun hanya sumber-sumber cabang. (Dhawabit Takfir, hlm. 115-116 karya Abdullah Al-Qarni dan Adhwa’ ‘ala Rukn min at-Tauhid, hlm. 20 karya Abdul Aziz bin Hamid)
Allah SWT berfirman:
وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَآ أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللّهُ إِلَيْكَ
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. (QS. Al-Maidah [5]: 49)
Insya Allah bersambung…
(muhib al-majdi/arrahmah.com)