(Arrahmah.com) – Eksistensi pasukan AS di Jazirah Arab (istilah mereka, kawasan Timur Tengah) saat ini bukan-lah sebuah reaksi atas sebuah permasalahan tertentu, misalnya invasi Irak ke Kuwait 1991 M, tragedi WTC 11 September 2001 M, atau menjatuhkan rezim diktator Saddam Husain 2003 M semata.
Eksistensi pasukan AS di Jazirah Arab adalah sebuah strategi matang yang tidak bisa digugat lagi, sudah dirancang sejak beberapa dekade sebelumnya. Untuk mempertahankan eksistensinya di Jazirah Arab, AS siap memerangi seluruh negara kawasan tersebut. Bahkan, AS siap memerangi negara-negara Eropa sekutunya, jika mereka menghalangi kepentingan AS di kawasan ini.
Jazirah Arab adalah kunci untuk menguasai dunia. Siapa mengendalikan kawasan ini, ia akan menjadi pemimpin dunia. Negara-negara salib telah mengetahui urgensi jantung dunia Islam ini sejak sebelum ditemukannya minyak bumi di kawasan ini.
Sejak lama, kawasan ini telah menjadi jantung rute transportasi dinamis dunia, dan titik pertemuan dari berbagai benua. Sejak empat abad terdahulu, mereka telah berusaha menguasainya, mengingat urgensinya dari aspek keagamaan dan geografis. Portugal, kemudian Perancis dan terakhir Inggris telah berusaha menaklukkannya. Inggrislah yang beruntung dan berhasil menjadi penguasa penuh kawasan ini. Dengan ditemukannya minyak bumi di kawasan ini, Inggris menjadi negara penjajah terbesar dan terkuat di dunia pada masa itu.
Pasca perang dunia kedua, 1366 H / 1947 M, Inggris mulai melemah, merugi dan satu-persatu wilayah jajahannya memerdekakan diri. Meski demikian, Inggris tetap mempertahankan eksistensinya di kawasan ini. Bersamaan dengan melemahnya Inggris, AS sebagai sekutu Inggris mulai muncul sebagai pesaing yang bernafsu memainkan perannya di kawasan ini. AS benar-benar menggantikan posisi Inggris di Jazirah Arab, setelah Inggris pada tahun 1969 M (1389 H) mengumumkan penarikan mundur militernya sebagai akibat dari perang Arab-Israel tahun 1967 M (1387 H) dan penutupan terusan Suez pasca perang tersebut.
Mantan presiden AS, Richard M. Nixon dalam memoarnya menulis: “Untuk pertama kalinya, eksistensi militer AS secara besar-besaran di kawasan ini terjadi pada pertengahan 1367 H / 1948 M, melalui Truman Doctrine[2], yang memberi mandat pembentukan divisi pasukan khusus keenam, yang semula mengendalikan armada AL AS Keenam.
Segera setelah keluarnya mandat itu, pesawat-pesawat tempur AS mulai mempergunakan pangkalan-pangkalan Libya, Turki dan Arab Saudi melalui perjanjian peminjaman dan penyewaan. Presiden Rosevelt telah memasukkan kerajaan Arab Saudi ke dalam undang-undang ini, sebagai bukti itikad baik AS kepada kerajaan Arab Saudi.
Urgensi Kawasan Jazirah Arab Bagi AS Pada Masa Tersebut
Urgensi kawasan Jazirah Arab bagi AS pada masa tersebut, bisa dirunut dari statemen para pengambil kebijakan di kalangan pemerintahan AS saat itu. James Rosetal, Mentri Pertahanan AS pada tahun 1945 M (1364 H) mengatakan, “Selama 25 tahun mendatang, AS akan menghadapi penurunan drastis cadangan minyak bumi. Karena minyak bumi dan hasil olahannya merupakan inti kemampuan menerjuni peperangan modern, saya melihat persoalan ini merupakan salah satu problem terbesar pemerintah AS. Bagi saya, tidak penting perusahaan AS mana yang akan menanam investasi bagi proyek eksplorasi minyak Arab. Namun, saya sangat yakin bahwa perusahaan tersebut haruslah perusahaan AS.”
Pada saat AS menerjuni perang Dunia Kedua 1941 M / 1360 H di pihak pasukan sekutu, urgensi kawasan Jazirah Arab semakin besar bagi AS. Saat itu, Mentri Luar Negeri AS, Hal, menyatakan, “Kebutuhan Departemen Maritim dan Departemen Perang AS terhadap minyak bumi Arab Saudi semakin meningkat. Belum lagi ditambah dengan kebutuhan kepentingan udara AS terhadap bumi Saudi.”
Dewan perwira AS pada tahun 1943 M / 1362 H memandang, pasokan minyak bumi AS untuk pasukan AS di medan pertempuran tidak mencukupi. Krisis ini menuntut pengadaan sumber-sumber baru, dengan syarat letaknya dekat dengan posisi armada AL AS. Untuk tujuan ini, dibangunlah kilang pengolahan minyak di Ras Tanurah (Arab Saudi) tahun 1945 M / 1364 H.
Inilah faktor yang mendorong pembangunan pangkalan militer pertama AS di Dhahran, Arab Saudi pada tahun 1943 M / 1362 H. Pembangunannya baru selesai pada tahun 1946 M /1365 H. Kerajaan Saudi memperbaharui perjanjian kesepakatan pembangunan pangkalan ini untuk masa lima tahun selanjutnya, tahun 1951 M /1370 H.
Departemen Luar Negeri AS pada tahun 1945 M /1364 H menyatakan, “Kerajaan Arab Saudi adalah sumber yang memadai bagi kekuatan strategis dan merupakan salah satu hadiah material terbesar dalam sejarah dunia.”
Pujian Deplu AS ini bukan karena Kerajaan Arab Saudi merupakan negara berperadaban maju, atau kuat militernya, melainkan karena letak geografisnya di perairan Teluk dan Laut Merah. Juga, ini yang terpenting, memiliki cadangan minyak bumi terbesar di dunia. Diperkirakan, kandungan minyak bumi di Arab Saudi sebesar 165 milyar barel.
Urgensi inilah yang mendorong presiden AS, Franklin D. Rosevelt pada tahun 1943 M / 1362 H melangsungkan kesepakatan peminjaman pangkalan militer tersebut secara langsung dengan Kerajaan Saudi, tanpa melalui perantaraan Inggris. Saat itu, Rosevelt mengumumkan, “Penjagaan terhadap pemerintahan Saudi menjadi tanggung jawab AS.”
Pengakuan ini tentu saja didorong oleh kebutuhan AS terhadap Kerajaan Saudi, dan negara-negara di kawasan ini yang mempunyai kekayaan minyak luar biasa besar. AS sendiri mengakui kemerdekaan Arab Saudi pada bulan Muharam 1350 H / 1931 M. Arab Saudi bukan satu-satunya negara di kawasan ini. Namun, jelas sekali bahwa Arab Saudi adalah negara yang mempunyai kandungan minyak bumi terbesar di kawasan ini, bahkan di dunia. Negara-negara Teluk memproduksi 62 % produksi minyak bumi dunia, dan di kawasan Teluk terdapat minimal 370 milyar barel cadangan minyak bumi dunia, atau setara dengan 2/3 cadangan minyak bumi dunia.
Hal ini pula yang mendorong mantan presiden AS, Richard Nixon untuk menulis dalam memoarnya, “Sekarang, siapa yang menguasai apa yang ada di Teluk Arab dan Timur Tengah, berarti telah memegang kunci untuk menguasai dunia.”
Mantan presiden Jimmy Carter menulis, “Seandainya Tuhan menjauhkan sedikit saja minyak bumi Arab ke arah Barat, tentulah persoalan kita lebih mudah.” Maksudnya, ke arah Israel, sekutu utama AS di kawasan Teluk.
Dari pernyataan para presiden AS ini, jelaslah bahwa persoalan hidup dan mati AS serta bangsa-bangsa Barat amat tergantung kepada kekayaan alam dan keamanan kawasan ini. Problem mereka tidak akan selesai, hanya dengan tergulingnya rezim Saddam Husain. Dan ini membuktikan, tujuan invasi militer pasokan koalisi pimpinan AS ke Irak tahun 2003 M yang lalu, bukan semata untuk menggulingkan rezim Saddam Husain.
Urgensi Kawasan Jazirah Arab bagi Eropa
Kawasan Jazirah Arab bukan hanya menjadi kunci hidup matinya AS. Namun juga menjadi kunci penting bagi sekutu-sekutu AS, negara-negara NATO dan Eropa pada umumnya. Pada awal tahun 60-an, presiden Perancis Jendral Charles de Gaulle mengajukan proposal pembentukan “dewan administrasi” untuk menyelesaikan konflik pemerintahan di luar Eropa.
Namun presiden AS kala itu, Dwight Eisenhower menolak mentah-mentah usulan tersebut. Eishenhower berpendapat, yang dibutuhkan untuk menghadapi kondisi baru di kawasan minyak (Jazirah Arab) bukanlah lobi-lobi politik yang memakan waktu lama, melainkan langkah-langkah antisipasi untuk mengambil keputusan secara cepat.
Meski mendapat penentangan dari kepala negara anggota NATO terkuat, desakan anggota-anggota NATO untuk membentuk “dewan administrasi” ini semakin besar seiring semakin pentingnya peran minyak bumi bagi kehidupan ekonomi Eropa.
Desakan ini mencapai puncaknya pasca perang Arab-Israel Oktober 1973 M. Dalam pertemuan mentri-mentri luar negeri negara-negara anggota NATO di Kanada di awal tahun 1974 M / 1394 H dicapai kesepakatan, bahwa perhatian NATO akan diperluas mencakup kawasan di luar negara-negara angota NATO.
Pasca invasi Soviet ke Afghanistan tahun 1979 M /1399 H, NATO menegaskan bahwa ancaman utama terhadap Barat bukan lagi berada di Eropa, melainkan di kawasan-kawasan penting minyak bumi dan jalur transportasinya. Setelah adanya penegasan ini, terjadi diskusi seru di kalangan anggota NATO perihal pembentukan pasukan invasi kilat. Untuk mengamankan kepentingan minyak negara-negara NATO saat terjadi krisis di Jazirah Arab, negara-negara NATO harus membentuk pasukan gabungan yang bisa digerakkan untuk melakukan invasi militer secara kilat.
Tiada pilihan lain bagi NATO, selain komando pasukan gabungan NATO di Eropa, yang merupakan komando bersama di bawah kendali tujuh negara besar anggota NATO; Belgia, Kanada, Jerman Barat, Italia, Luxemburng, Inggris dan AS. Kekuatan pasukan ini sebesar satu divisi. Pasukan ini telah dibentuk sejak 1961 M / 1380 H untuk memperkuat pasukan NATO di sebelah utara dan selatan kawasan anggota NATO.
Pelopor seruan pengefektifan pasukan ini adalah Jendral Belgia, Robert Clour. Ia mengusulkan, pasukan ini direorganisasi, diperkuat dan diberi wewenang dengan skala internasional, termasuk menaungi wewenang di kawasan penghasil minyak bumi.
Perang Arab-Israel bulan Oktober 1973 M meninggalkan krisis minyak yang mencekik industri dan perekonomian AS serta Eropa. Dalam perang tersebut, AS dan Eropa begitu jelas berada di belakang Israel. Sebagai balasan atas kejahatan AS tersebut, negara-negara Arab memboikot penjualan minyak bumi kepada AS dan Eropa.
Dihadapkan kepada krisis minyak yang bisa meruntuhkan ekonominya, negara-negara NATO hanya mempunyai dua opsi :
(a)- Usulan untuk memperluas wilayah kerja NATO, sehingga meliputi seluruh kawasan Arab.
Usulan ini akhirnya ditolak, karena beberapa pertimbangan. Pertimbangan yang terpenting adalah alasan bahwa NATO adalah sebuah pakta pertahanan, sama sekali tidak mengizinkan operasi ofensif di luar kawasan NATO, yaitu Eropa dan Amerika Utara. Mungkin saat ini (2005 M), kesepakatan ini telah berubah, mengingat pertemuan Puncak NATO pasca kemenangan atas Serbia di awal tahun 1999 M / 1420 H, telah merubah kesepakatan. Mereka menyetujui campur tangan NATO di kawasan manapun, tanpa perlu meminta persetujuan Dewan Keamanan PBB. Hanya saja, campur tangan NATO di kawasan penghasil minyak mendapat penentangan serius dari AS, si penguasa kawasan minyak Arab.
(b)- Membentuk pasukan invasi koalisi Barat untuk mendapat legitimasi internasional.
Untuk melewati hambatan-hambatan politis, pasukan ini tidak berada dibawah nama NATO, dan untuk itu bisa diikut sertakan negara-negara lain seperti Australia, Jepang, Korea Selatan, Filiphina dan negara-negara lain.
Usulan ini mendapat sambutan hangat. NATO pun segera bekerja melaksanakan program ini demi mengamankan kepentingan Barat di kawasan Jazirah. Atau dengan kata lain, Penjajahan Baru Terhadap Kawasan Jazirah Arab. Dan inilah yang terjadi. Dengan mengatas namakan perang melawan terorisme, menegakkan demokrasi dan kebebasan, pasukan koalisi salibis-zionis-paganis internasional pimpinan AS ini melancarkan invasi militer ke Iraq, tahun 2003 M lalu.
AS Menjegal Eropa, Mengumumkan Penjajahan Teluk Dengan Mengumumkan Prinsip AS
Saat NATO sedang menyusun pasukan invasi koalisi, AS membuat langkah baru untuk menghalangi sekutu-sekutunya dari kalangan negara NATO untuk ikut menikmati kepentingan minyak di kawasan Jazirah.
Joseph Sisco, asisten mentri luar negeri AS pada tahun 1974 M / 1393 H, mengumumkan penjegalan langkah NATO dengan mengatakan, “Kawasan Teluk adalah kawasan milik AS. Di kawasan itu terdapat kepentingan politik, ekonomi dan strategis yang sangat amat penting.”
Pada saat yang sama, wakil mentri pertahanan AS, James Nouis, menegaskan kepentingan dan tujuan AS. Ia mengatakan: “Sesungguhnya AS perlu:
1- Mengurung kekuatan militer Soviet untuk tidak keluar dari batas-batas teritorialnya saat ini.
2- Meneruskan langkah penguasaan minyak bumi Teluk.
3- Meneruskan kebebasan kapal dan pesawat AS ke dan dari kawasan Teluk.”
Joseph Sisco menegaskan, pengamanan kepentingan minyak bumi AS di kawasan Teluk diraih dengan tiga unsur:
1- Meneruskan kemampuan impor minyak bumi.
2- Dengan harga miring alias murah.
3- Dengan jumlah cukup, untuk memenuhi kebutuhan AS yang terus bertambah, dan kebutuhan negara-negara Eropa dan Asia yang menjadi sekutu AS.
Program pengamanan minyak bumi AS ini merupakan tugas terbesar militer AS di kawasan Teluk. AS sedang mencurahkan usaha besar untuk hal ini, dan AS siap menghadapi dan melakukan tindakan apapun demi mengamankan kepentingan minyak bumi di kawasan teluk.
AS Siap Memerangi Negara-Negara Pengekspor Minyak, Jika Mereka Tidak Tunduk Kepada Aturan AS
Jika negara-negara Arab hanya mengekspor minyak buminya kepada AS semata, apakah AS akan ridha kepada mereka ? Tentu tidak. Masih ada syarat lain: dengan harga murah dan jumlah yang cukup. Jika negara-negara Arab menurunkan produksi minyak buminya, otomatis harga akan naik dan itu akan memukul perekonomian AS. Jika hal ini terjadi, AS siap melakukan tindakan apapun, termasuk invasi militer.
Jelaslah bahwa syarat-syarat pengamanan minyak bumi ala AS ini tak lain adalah PENJAJAHAN dari kekuatan asing terhadap kedaulatan negara-negara penghasil minyak bumi di kawasan Jazirah Arab.
Henry Kissinger, mentri luar negeri AS saat itu, di awal tahun 1975 M / 1395 H mengatakan, “Sekalipun langkah militer AS apapun di Teluk membawa dampak yang berbahaya, namun saya tidak bisa menjamin tidak akan terjadi kondisi-kondisi yang menyebabkan kami mempergunakan kekuatan militer kami. Sesungguhnya penggunaan kekuatan militer saat terjadi perselisihan tentang harga minyak adalah satu persoalan, dan usaha mencekik dunia industri adalah persoalan lain pula.”
Penegasan Kissinger ini menunjukkan AS akan mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, termasuk invasi militer, untuk menghajar negara-negara penghasil minyak jika mereka tidak menuruti harga dan jumlah minyak bumi yang didiktekan oleh AS. Ini sekali lagi menegaskan bahwa tujuan invasi AS ke Irak (dan kawasan Jazirah) bukanlah untuk menggulingkan rezim Saddam semata. Saddam hanyalah batu loncatan kecil, setelah itu akan disusul dengan tindakan-tindakan penjajahan berikutnya.
Penegasan mentri luar negeri AS ini bukan satu-satunya penegasan kesiapan AS untuk melakukan invasi militer. Penegasan yang lebih jelas, juga dikeluarkan oleh departemen pertahanan AS (Pentagon) dan Dewan Keamanan Nasional AS pada tahun 1973 M /1393 H. Kedua lembaga penting AS ini membuat sebuah program bertajuk “Dhahran, Opsi Keempat”.
Inti program ini adalah persiapan AS untuk melancarkan invasi militer ke sumur-sumur eksplorasi minyak bumi Arab Saudi manakala timbul krisis minyak kembali. Program ini secara khusus membidik sumur minyak Al-Ghawar, sumur minyak bumi Arab Saudi yang dipandang sebagai sumur minyak terbesar di dunia. Untuk menjalankan program ini, telah disiapkan sembilan batalion infantri yang akan diangkut lewat udara, dari North Carolina, AS menuju Teluk melalui pangkalan udara Hesrim, Israel.
Kini, pasukan ini tidak perlu berangkat dari North Carolina. Ia cukup berangkat dari Irak, Kuwait atau Qatar untuk melakukan penguasaan atas ladang-ladang minyak di Dhahran, setelah sebelumnya warga negara AS di daerah itu dipindahkan ke kawasan lain. Setelah itu, pasukan akan bergerak untuk menguasai ladang minyak Al-Ghawar dan As-Safaniyah di tengah padang pasir, setelah didahului oleh penguasaan kapal-kapal minyak di pelabuhan dan depot-depot minyak di Ras Tanurah.
Kekuatan pasukan ini akan ditambah dengan satu batalion infantri untuk menguasai kawasan tersebut. Pentagon dan Dewan Keamanan Nasional AS menyebutkan, langkah ini jauh lebih mudah dari sebuah operasi kecil sekalipun di Vietnam atau Kuba. Penyebabnya, kawasan ini bukan kawasan padat penduduk, berada di tengah gurun pasir yang kosong dari pepohonan atau perbukitan, sehingga memudahkan pergerakan pasukan tanpa hambatan sama sekali.
Dalam pembukaan program tersebut ditulis alasan pembenaran invasi ini, “Tiada pilihan lain bagi kita, keruntuhan ekonomi atau menginvasi Saudi di saat muncul tanda-tanda pencekikan ekonomi.”
Alasan ini menjawab tanda tanya besar seputar alasan AS melakukan invasi ke Irak. Padahal invasi tersebut tidak mempunyai alasan kuat. Bukankah Dewan Atom PBB telah melaporkan tidak ditemukan senjata kimia dan biologis pemusnah massa di Irak ? Invasi pasukan koalisi AS ini juga ditentang oleh PBB dan dunia internasional.
Namun apa daya, AS-lah yang mendikte PBB.Setelah rezim Saddam terguling, dan AS berhasil mendirikan pemerintahan baru pro AS, loyalitas Irak akan diuji. Jika ia tidak mampu memenuhi kepentingan minyak AS (jumlah cukup dengan harga murah), AS akan menengok negara tetangga yang bisa diinvasi; Arab Saudi, Qatar atau Kuwait.
Pilihan invasi ke Arab Saudi ini bukan pilihan final yang tidak bisa diformat ulang. Dalam rapat Kongres setahun peringatan 11 September, program ini diajukan ulang dengan format sedikit dirubah. Arab Saudi akan diinvasi, dibagi menjadi tiga bagian, dengan bagian Timur sebagai negara minyak demokrasi yang indipenden, dibawah wewenang dan pengamanan AS langsung. Beberapa format lain juga diajukan, namun tidak keluar dari program inti invasi ke ladang-ladang minyak Saudi.
Inilah salah satu alasan ekonomi keberadaan militer AS di kawasan Teluk. Alasan-alasan ekonomi lainnya tentu masih banyak, namun kita cukupkan dengan satu alasan ini.
Alasan Politis Terbesar Bagi Eksistensi Militer AS di Kawasan Teluk
Namun, inti alasan politis adalah tetap dan tidak pernah berubah, yaitu merealisasikan mimpi “Israel Raya”. Israel Raya adalah inti terpenting motif ideologi dan politik dari eksistensi militer AS di Teluk. Bukti-bukti atas hal ini sangat banyak.
Kita ambilkan salah satu contoh, pernyataan mantan presiden AS, Nixon, dalam bukunya 1999: victory without war (1999: Kemenangan Tanpa peperangan). Nixon menulis, “Kita memandang, pergulatan Arab-Yahudi telah bergeser, menjadi peperangan antara kaum fundamentalis Islam di satu pihak, dan Israel serta negara-negara Arab Moderat lainnya di pihak lain. Selama bangsa-bangsa ini tidak mampu menyelesaikan persengketaannya, dan mengakui bersama bahwa mereka menghadapi satu ancaman serius, kawasan Timur Tengah akan tetap menjadi kawasan paling bergolak di dunia.”
Untuk merealisasikan cita-cita “Israel Raya” yang aman, AS harus mencegah kaum aktivis Islam memegang tampuk kekuasaan di negara Teluk manapun. AS juga harus mencegah pergerakan aktivis Islam agar tidak membawa pengaruh terhadap kebijakan politik AS di Teluk. Ini adalah langkah strategis penting yang akan selalu diambil oleh AS.Sekalipun di kalangan negara-negara salib Barat terdapat perselisihan, pun AS dan sekutunya meraih kemenangan atas Soviet selama Perang Dingin, 1985 M /1405 H.
Namun ini semua tidak melupakan permusuhan mereka kepada Islam. Setelah Gorbachev memegang tampuk kepemimpinan Soviet, presiden AS Nixon menegaskan, “Uni Soviet dan AS harus membuat kesepakatan kuat untuk memukul kaum fundamentalis Islam.”
Dalam bukunya 1999 : Kemenangan tanpa peperangan, Nixon menulis, “Kewajiban dan peran AS dalam kehidupan ini adalah memimpin dunia yang bebas. AS harus segera memimpin dunia. Satu-satunya cara untuk memimpin dunia adalah kekuatan. Dan, musuh terbesar di dunia ketiga adalah kaum fundamentalis Islam.”
Doktrin Nixon
Setelah kegagalan AS dalam perang Vietnam, AS menegaskan bahwa menjaga eksistensi pemerintahan-pemerintahan Arab yang loyal kepada AS, merupakan program AS yang diprioritaskan. Pasca kekalahan di Vietnam, Nixon mengeluarkan Nixon Doctrin yang menegaskan, “Negara-negara (Jazirah Arab) yang mengalami ancaman dari luar, harus mengerahkan potensi manusia dan kemampuan militernya untuk menegakkan stabilitas keamanan. AS akan memberikan dukungan militer kepada pemerintahan tersebut, sesuai dengan tuntutan keamanan yang ada.”
Langkah ini dipraktekkan dalam masa pemerintahan presiden Richard Nixon dan Gerald Ford. Pada masa pemerintahan kedua presiden AS ini, negara-negara Teluk dibanjiri dengan dukungan peralatan dan teknologi militer dalam jumlah besar dan canggih.
Dalam doktrin Nixon, Nixon menulis, “Sebagai pengganti eksistensi militer Inggris, eksistensi militer AS di Teluk mendasarkan langkahnya kepada kekuatan-kekuatan lokal, yaitu Iran dan Saudi Arabia, pada level pertama, untuk menjaga stabilitas keamanan. Hal itu kita lakukan dengan memberikan bantuan-bantuan militer. Politik dua kaki ini telah berjalan normal, sampai ketika salah satu dari keduanya, yaitu Iran, jatuh pada tahun 1979 M.”
Menurut Nixon, posisi Iran harus digantikan oleh Irak, sehingga perimbagan kekuatan tetap terpelihara. Ia juga menegaskan urgensi eksistesi langsung militer AS di kawasan Teluk. Ia melanjutkan, “Karena minyak bumi adalah kebutuhan darurat bagi Barat, bukan sekedar kebutuhan sekunder, AS dan sekutu-sekutunya di Eropa dan Jepang harus menjadikan pemberian bantuan ekonomi dan militer kepada pemerintahan negara-negara di kawasan ini sebagai prioritas program. Hal ini bertujuan untuk menolak segala ancaman atas kawasan tersebut, baik ancaman eksternal maupun internal. Kita seyogyanya juga bersiap-siap dan tega mengambil tindakan apapun, termasuk di dalamnya eksistensi militer yang kuat dan bahkan tindakan militer, untuk menjaga kepentingan-kepentingan kita. Kita seyogyanya juga bersiap-siap membuktikan kebenaran ucapan kita dengan tindakan nyata.”
Lebih lanjut, ia menulis, “Statemen kedigdayaan bahwa AS akan melawan ancaman apapun terhadap kawasan tersebut dengan sebuah reaksi militer, hanya akan menjadi omong kosong bila kita tidak memiliki kekuatan militer di kawasan tersebut. Dengan eksistensi pasukan militer, barulah statemen kita akan dipercayai. Oleh karenanya, sangat mendesak bagi AS untuk mempunyai cara-cara pokok yang membantu kita untuk memamerkan kekuatan militer kita secara memuaskan di kawasan tersebut, sehingga bisa menolak dengan cepat setiap tantangan yang muncul secara tiba-tiba.”
Ia menambahkan, “Secara jelas dan tidak berbelit-belit, kita harus menegaskan kepada para pemimpin Saudi Arabia, Oman, Kuwait dan negara-negara utama lainnya di Teluk, bahwa tatkala terjadi kekuatan revolusi yang mengancam kekuasaan mereka, baik ekstrenal maupun internal, AS pasti akan berada di pihak mereka, sehingga mereka tidak akan menemui kesudahan yang menimpa Syah Iran.” Inilah inti dari Nixon Doctrin.
Doktrin Carter
Setelah Syah Iran terguling, dan Soviet menginvasi Afghanistan, pada tanggal 20 dan 23 Januari 1980 M, presiden AS Jimmy Carter mengeluarkan “Carter Doctrin”. Dalam pernyataan yang diserahkan kepada Kongres AS tersebut, Carter menulis, “AS menganggap usaha dari kekuatan luar manapun untuk menguasai kawasan Teluk Persia sebagai gangguan terhadap kepentingan vital AS. AS akan membalas gangguan ini dengan berbagai cara yang dimilikinya, termasuk penggunaan kekuatan senjata.”[3]
Doktrin ini merupakan pendorong kuat bagi terwujudnya pasukan invasi kilat AS di kawasan Teluk. Berdasar doktrin ini, tujuan utama dari eksistensi atau penggunaan kekuatan militer AS di kawasan Teluk adalah sekedar untuk tindakan membela diri atas segala ancaman dari luar. Sebenarnya, AS tidak mengungkapkan ancaman yang lebih besar dan serius, yaitu ancaman internal dari bangsa-bangsa pengekspor minyak tersebut.
Krisis minyak pasca perang oktober 1973 M menunjukkan, ancaman perang nuklir jauh lebih kecil dari ancaman bangsa-bangsa pengekspor minyak. Memperkuat pemerintahan negara-negara Teluk untuk kepentingan AS, suatu saat bisa berubah menjadi bumerang.
Mengganti pemerintahan dengan sistem demokrasi, juga memberi peluang bagi aktivis Islam untuk memegang tampuk kekuasaan. Jika AS menjauh dari sumber-sumber minyak ini, AS tidak akan mendapatkan minyak bumi dengan jumlah cukup dan harga murah. Jadi, sebenarnya tujuan utama pembentukan pasukan invasi kilat ini adalah untuk mengamankan kepentingan minyak bumi AS dari ancaman internal, ancaman kaum muslimin yang sering dipojokkan dengan istilah “fundamentalis Islam”.
Setelah AS kesulitan mempercayai satupun pemerintahan Teluk, Nixon ikut melupakan Nixon Doctrin-nya, dan justru ikut mendukung Carter Doctrin. Dalam bukunya 1999: kemenangan tanpa peperangan, ia menulis: “Kini, AS adalah satu-satunya negara yang bisa menjaga kepentingan Barat di Teluk Persia. Tiada satu pun negara Teluk loyalis Barat yang kuat untuk cukup mampu mengemban tugas ini. Pun, tak satu pun negara Eropa sekutu kita yang mempunyai kemampuan atau keinginan kuat melaksanakan tugas ini. Kita harus menggunakan aspek militer kita untuk menunjukkan kekuatan militer AS di Teluk. Dan kita telah merealisasikan sebuah kemajuan yang berarti dalam aspek ini.”
Presiden Carter telah membentuk pasukan invasi kilat, presiden Reagen juga telah menguatkannya dengan menempatkannya langsung di bawah komando pusat. Konggres juga telah menyetujui milyaran dolar untuk pasukan ini.”
Lebih lanjut, ia mengungkapkan, “Mustahil militer AS bisa masuk ke Teluk Persia jika ia tidak mempunyai pangkalan-pangkalan udara di Saudi Arabia dan negara-negara Teluk yang lebih kecil lainnya. Kita perlu membuat pangkalan-pangkalan udara di sana sehingga bisa menjaga kekuatan darat kita saat membangun rute-rute darat. Tanpa adanya keunggulan pasukan udara, operasi penurunan militer AS apapun di Teluk Persia akan menyerupai operasi pendaratan pasukan Inggris di Galiyubi pada perang dunia pertama.”
Bukan Carter
Sebenarnya mantan presiden Carter bukanlah penggagas awal konsep pasukan invasi kilat ini. Ia sekedar menghidupkan kembali usulan Robert Mc Namara, penasehat mentri pertahanan AS di awal 60-an. Pada tahun 1962 M, Robert Mc Namara mengusulkan mengganti konsep “perlawasanan semesta” berbasis perang nuklir yang dianut AS dengan “perlawanan fleksibel”.
Konsep perang Nuklir dianut oleh presiden Eisenhower dan Ford. Saat itu, Mc Namara menyatakan, “Konsep perlawanan semesta sudah tidak memenuhi tuntutan kebutuhan, saat terjadi krisis yang lebih kecil dari krisis nuklir dan front semesta melawan Soviet. Konsep perlawanan fkesibel bertumpu pada perluasan kemampuan perang klasik (non nuklir) untuk menghadapi gerakan-gerakan pembangkang, peperangan rakyat, atau konflik lokal yang terbatas. Untuk itu perlu dibentuk kekuatan pemukul klasik yang bermobilitas tinggi dan mampu masuk ke daerah-daerah yang jauh dengan cepat dan efektif.”
Pada saat itu usulan ini ditolak oleh Konggres. Pasca krisis minyak akibat perang 1973 M, usulan ini kembali diperdebatkan, mengingat perannya sebagai solusi problem minyak yang dialami AS saat itu. Adalah menteri pertahanan AS, James R. Schlesinger yang kembali mengangkat “flexible option”nya Mc Namara, pada bulan Januari 1974 M.
Saat Henry Kissinger menjadi mentri luar negeri AS, pada tahun 1974 M/1394 H, ia juga menyerukan pembentukan pasukan koalisi AS-Eropa untuk mengamankan kepentingan minyak mereka. Namun, usulan ini ditolak NATO karena wilayah kerja NATO hanya sebatas negara dan kawasan anggota pakta pertahanan itu semata.
Saat Carter terpilih sebagai presiden tahun 1976 M/1396 H, ia menghidupkan kembali usulan Mc Namara dengan format baru yang ia namakan “Carter Doctrin”. Pada tahun 1977 M, pasukan invasi kilat resmi dibentuk oleh pemerintahan Carter. Langkah pertama pasukan ini dilakukan pada tahun 1979 M, dan untuk pertama kalinya pada tahun 1981 M, konggres AS membahas pembentukan dan tujuan pasukan ini.
Di tahun 1981 M itu, pasukan ini telah dibentuk secara lengkap dari segala sudut dan aspeknya. Di tahun yang sama, mentri pertahanan AS Gasier Weneigner menjelaskan kepada komisi pertahanan dan urusan luar negeri Konggres, bahwa pengefektifan pasukan invasi di kawasan minyak dan jalur-jalur transportasinya semakin mendesak, setelah Syah Iran tergulingkan dan Soviet menginvasi Afghanistan.
Sebenarnya saat itu juga dibahas alternatif lain selain pembentukan pasukan invasi kilat AS. Di antaranya adalah alternatif pembentukan pasukan koalisi dengan negara-negara Teluk dengan tujuan mengamankan kepentingan AS. Namun AS keberatan dengan beberapa alasan, di antaranya AS tidak bisa percaya begitu saja kepada para wakilnya, dan pembentukan pasukan koalisi ini akan memakan anggaran besar, terlebih tindakan itu berarti memulai langkah dari nol kembali.
Alasan lainnya, AS khawatir akan muncul pemerintahan-pemerintahan baru di kawasan Teluk yang menggulingkan pemerintahan-pemerintahan lama, sehingga menghancurkan segala fasilitas militer AS selama ini.Tiada pilihan lain, AS meneruskan program pembentukan pasukan invasi kilatnya. Meski demikian, AS juga masih menempuh alternatif-alternatif lain, sesuai kebutuhan dan dalam batas-batas tertentu. AS tetap membentuk koalisi keamanan dan pertahanan dengan negara-negara Teluk, dengan nama “Dewan Kerjasama Teluk”. Juga persekutuan dengan Syah Iran, Anwar Sadat dan Saddam Husain —sebelum ia membangkang—.
Alternatif–alternatif lain tetap dijalankan, namun sekedar dalam batas tertentu. Adapun inti langkah AS adalah menjadikan pasukan invasi kilat sebagai pelaksana seluruh kebutuhan dan kepentingan AS di Teluk.
Jumlah Pangkalan Militer AS di Seluruh Dunia
Pembentukan pasukan invasi kilat ini hanya dikhususkan untuk kawasan Teluk. Jauh sebelum pembentukan pasukan invasi ini, terhitung sampai tahun 1976 M, jumlah pangkalan dan markas militer AS di seluruh dunia mencapai 300 pangkalan, tersebar di 30 negara untuk menjamin kepentingan-kepentingan AS. Sampai tahun 1975 M, jumlah tentara AS di seluruh pangkalan militer di 30 negara ini mencapai 504.000 personal.
Untuk kawasan Eropa dan NATO saja, sebanyak 250.000 sampai 300.000 tentara AS ditempatkan di Eropa Barat, ditambah Armada AL AS Kedua di Samudra Atlantik, Armada AL AS Keenam di laut Mediterania dan 7000 rudal dengan hulu ledak nuklir. Pada tahun tersebut, sebanyak 41.000 personal telah ditarik ke negara AS, sehingga tersisa 463.000 personal.
Pasca perang Teluk Kedua 1991 M, Mentri pertahanan AS, Colin Powel, menegaskan, AS akan menutup 150 pangkalan militernya yang telah bertahan selama 45 tahun di Eropa, dan memindahkannya ke pangkalan-pangkalan militer rahasia dan baru di Kuwait, Qatar, Saudi, Oman, Bahrain dan Uni Emirat Arab.
Pangkalan Militer dan Modus Operasi Pasukan Invasi Salib
Eksistensi pasukan invasi AS di kawasan Teluk saat ini merupakan eksistensi pasukan AS langsung terbesar sejak tahun 1980 M. Eksistensi militer AS ini telah menjadi sebuah pengepungan yang mencekik kawasan dari seluruh sudutnya, darat dan laut. Betapa tidak. Di Turki saja, pasukan AS terpusat di lebih dari 20 pangkalan militer. Belum lagi pangkalan-pangkalan militer di Yunani, dan bagian timur dari Laut Mediterania. Terus berlanjut ke arah Mesir, tanduk Afrika —yang terpenting adalah pangkalan militer di Kenya—, lalu Laut Arab, Laut Merah dan perairan Teluk. Pasukan ini juga mempunyai pangkalan-pangkalan militer dan fasilitas kemudahan di kesultanan Oman, Kuwait, Qatar, Saudi Arabia, Bahrain, Uni Emirat Arab, Iraq dan Yordania.
Pangkalan terpenting lainnya adalah di Palestina, dibawah pengendalian dan penjagaan Israel.Angkatan Laut AS juga menyebar memenuhi seluruh perairan yang mengelilingi kawasan Teluk, mulai dari selat Jabal Tariq (Gibraltar) di Barat, sampai ke Semenanjung Hindia di Timur.
Armada AL keenam dan ketujuh AS menjadi inti kekuatan AS yang dipersiapkan untuk operasi ini. Armada (kapal induk) AL AS ketujuh, sejak lama memang merupakan AL AS yang khusus diperuntukkan untuk melakukan operasi-operasi langsung di kawasan Teluk. Sedangkan armada (kapal induk) AL AS keenam adalah pasukan yang dikhususkan untuk beroperasi di Laut Mediterania, dalam prakteknya mencakup Jepang dan Asia Timur sampai Timur Samudra Hindia. Ia mempunyai hubungan dengan sebelah timur kawasan Teluk, yaitu sumber-sumber minyak bumi yang berada di Teluk. Armada ini bermarkas di pelabuhan Yokosoka, Jepang.
Dari aspek ekonomi, pangkalan-pangkalan militer AS di kesultanan Oman merupakan pangkalan yang paling berbahaya bagi kawasan Teluk. Pangkalan-pangkalan inilah yang menguasai selat Hurmuz, selat yang menjadi jalur pengeksporan 95 % minyak bumi Teluk ke seluruh dunia. Dengan menguasai selat ini, tanpa perang sekalipun, AS bisa mencekik ekonomi negara-negara Teluk yang lebih dari 98 % ekonominya bergantung kepada minyak bumi.
Karena buruknya kinerja pemerintahan negara-negara Teluk, mereka tidak berusaha maksimal untuk menambah sumber-sumber pendapatan negara dari aspek non-migas. Mereka juga tidak berusaha untuk mencari solusi lain sebagai pengganti ketergantungan kepada selat Hurmuz. Memang, pemerintahan negara-negara Teluk tidak bisa melakukan itu semua, karena segala kebijakan mereka tidak berada di tangan mereka. Kebijakan strategis dalam aspek militer, ekonomi, politik pertahanan, dan keamanan mereka diarahkan oleh AS !!!!
Peranan operasi militer AS di pangkalan-pangkalan militer AS di kawasan Teluk, adalah sebagai berikut:
a) Memperkuat militer AS yang telah berada di panggung percaturan Teluk sebelumnya, dan merubahnya dari sekedar unjuk gigimenjadi pasukan siap perang.
b) Mengamankan pangkalan-pangkalan militer dan fasilitas-fasilitas militer baru untuk pasukan AS yang beroperasi di kawasan, maksudnya pasukan-pasukan AS yang akan bergerak ke kawasan dalam kondisi-kondisi insidental.
c) Merealisasikan program penempatan militer AS permanen di seluruh negara kawasan Teluk, sehingga setiap negara Teluk terpaksa harus menerima realita ini. Taktik ini akan merubah sikap negara-negara Teluk, yang semula sepakat menolak eksistensi permanen militer AS. Masing-masing negara akan berlomba meminta penempatan militer AS di negaranya, mendahului negara tetangganya. Masing-masing pemimpin negara akan berfikir, jika tidak menerima penempatan militer AS, negara tetangga akan menerimanya, dan mendapatkan banyak kemudahan dari AS. Pemimpin-pemimpin negara di kawasan ini akan berlomba-lomba menerima penempatan pasukan AS, dan inilah yang menyebabkan sengketa terakhir antara Saudi dan Qatar.
d) Pembangunan gudang-gudang logistik, amunisi dan persenjataan AS untuk memudahkan operasi penyebaran secara kilat di seluruh kawasan. Penimbunan logistik, amunisi, persenjataan berat dan seluruh kebutuhan perang di negara-negara kawasan, akan meminimalisir biaya, waktu dan tenaga saat terjadi kondisi insidental yang menuntut pergerakan penyebaran secara cepat, bahkan terhadap negara-negara pengekspor minyak sendiri.
Pembangunan gudang-gudang militer AS ini dirancang sedemikian rupa oleh para pakar militer AS. Terletak di tempat-tempat yang jauh, pasukan AS bisa mengisolir dan menguasainya secara penuh, sehingga tidak mungkin dijangkau oleh negara Teluk atau kelompok manapun di kawasan Teluk yang memusuhi AS. Dengan seluruh perencanaan matang ini, ketika sebuah negara yang ditempati menolak, atau gudang-gudang ini dijadikan target serangan, AS bisa mengamankannya.
e) Meningkatkan kemampuan pasukan invasi cadangan AS yang berada di AS sendiri, untuk beroperasi secara cepat dan insidental.
f) Mempertahankan penguasaan permanen atas setiap negara Teluk melalui pangkalan-pangkalan militer AS di setiap negara Teluk. Setiap pangkalan militer AS bertugas menjamin penguasaan AS atas negara yang ditempati, mengumpulkan informasi yang cukup, tidak memberi kesempatan kepada negara tersebut untuk berdikari dan tidak membutuhkan bantuan AS, serta mencegah pembentukan kekuatan apapun yang bisa mengancam eksistensi AS atau Israel.
Inilah tugas-tugas utama pangkalan-pangkalan militer AS di Teluk, yang berada di bawah kendali komando pasukan invasi kilat. Lantas, apa cara-cara AS untuk mengefektifkan pangkalan-pangkalan ini sehingga bisa menjadi jembatan utama bagi setiap operasi militer pasukan ini ?Dari sudut pandang operasi taktis, ada beberapa cara. Namun secara strategis terpusat kepada beberapa langkah berikut:
a- Campur tangan melalui perantaraan pasukan pendahuluan yang sudah berada di dalam atau di dekat kawasan.
b- Campur tangan melalui perantaraan pasukan yang bergerak dari AS ke kawasan.
c- Campur tangan melalui satuan-satuan komando operasi yang berada di dalam atau luar AS, di bawah komando pusat AS.
d- Campur tangan melalui pasukan komando strategis seperti pesawat-pesawat tempur strategis atau rudal-rudal jarak jauh.
Seluruh langkah ini telah ditempuh dalam invasi ke Irak tahun 2003 M yang lalu. Ini berarti dalam level perang klasik, AS telah melemparkan seluruh anak panahnya. Jika dalam invasi ke Irak ini AS mengalami kegagalan, AS tidak segan-segan menempuh perang kimia dan nuklir. Pasukan invasi kilat yang saat ini sudah berada di pangkalan-pangkalan militer di Teluk, menjadi pasukan terdepan pasukan invasi kilat secara keseluruhan. Inti kekuatan pasukan ini adalah Divisi 82 yang diangkut dengan udara, berkekuatan 15.200 personal, dan divisi 101 yang juga diangkut dengan udara, berkekuatan 18.900 personal.
Kedua divisi ini terdiri dari berbagai kesatuan infantri dengan senjata ringan, tanpa meriam-meriam berat atau tank-tank tempur utama. Divisi 82 bisa diangkut dari AS dalam waktu maksimal dua minggu, dengan pesawat-pesawat pengangkut C 5 Galaxy yang bisa membawa minimal peralatan militer seberat 100 ton, pesawat-pesawat C 141 yang bisa membawa peralatan perang minimal seberat 32 ton dan pesawat-pesawat pengisi bahan bakar KC 135 yang bisa mengisi bahan bakar pesawat sambil terbang. Dengan adanya pesawat KC 135 ini, AS tidak terlalu memerlukan pangkalan-pangkalan permanen untuk mendukung logistik pesawat-pesawat tempurnya.
Meski demikian, AS juga membuat program penggunaan pesawat-pesawat sipil untuk mengangkut pasukan invasi dalam keadaan insidental.Penjelasan ini baru menyebut dua divisi saja, dari keseluruhan pasukan invasi kilat AS di kawasan Teluk. Jumlah keseluruhan pasukan invasi AS tentu jauh lebih besar dari angka ini.
Pada awal pembentukan pasukan invasi ini di masa presiden Carter saja, jumlah pasukan ini antara 100.000-110.000 tentara. Kepala Staf Angkatan Bersenjata AS saat itu, Bernard Roger, menyebutnya sebagai kesatuan indipenden. Setelah itu, komandan pertama pasukan invasi ini, Jendral Kelly, di awal tahun 1980-an menegaskan bahwa jumlah pasukan ini akan ditingkatkan menjadi 200.000 tentara. Jumlah final pasukan invasi kilat ini sebanyak 200.000 pasukan ini, dicapai pada tahun 1991 M yang lalu, dengan menambahkan 100.000 personal dari berbagai kesatuan militer AS.
Untuk pasukan sebesar ini, AS telah menyiapkan secara khusus lebih dari 200 pesawat berbagai jenis. Jumlah personal dan jenis persenjataan pasukan invasi AS ini bertambah, sejak dilakukannya invasi AS ke Irak tahun 2003 M yang lalu.
Heran….!!???
Hal yang sangat mengherankan, seluruh program, persiapan, langkah lama, rencana makar, jumlah besar pasukan, logistik dan persenjataan pasukan invasi AS yang sudah berada di kawasan Teluk sejak tahun 1991 M ini, masih belum meyakinkan sebagian umat Islam bahwa Jazirah Arab —termasuk di dalamnya Makkah dan Madinah, dua kota suci umat Islam— sudah dijajah oleh AS dan sekutu-sekutunya sejak lebih dari 13 tahun yang lalu !!???
Sebagian kaum muslimin yang polos lantas berkomentar, pengerahan pasukan AS secara besar-besaran di dunia Islam ini adalah akibat dari serangan “mujahidin” di WTC dan beberapa penjuru dunia lainnya. Mereka tidak memahami, bahwa kebijakan AS saat ini sudah dirancang sejak lebih dari 20 tahun sebelum kelahiran Usamah bin Ladin.
Mereka berteriak, “Perang melawan terorisme yang dikomandoi AS saat ini adalah sebagai reaksi atas tindakan ugal-ugalan para “teroris” di Manhatan, Kenya, Tanzania, Afghanistan, Yaman, Filiphina, Bali, Jakarta dan seterusnya”. Seakan-akan mereka mengajak bicara anak-anak kecil yang tidak faham sejarah !!!
Ungkapan mereka yang lebih polos lagi, mereka mengatakan perang melawan terorisme ini akan berakhir bila apa yang mereka sebut sebagai rezim Taliban, Al-Qaeda, Jama’ah Islamiyah, para “teroris” dan seterusnya berhasil ditangkap dan dihancurkan. Padahal, pasukan AS sudah bercokol di kawasan Jazirah Arab sejak lima dekade sebelumnya, jauh sebelum mereka yang diistilahkan sebagai kelompok-kelompok “teroris’ tersebut lahir !!!!
Penempatan pasukan invasi kilat AS saat ini, adalah tindak lanjut dari penempatan militer AS sebelumnya. Bedanya, lima dekade sebelumnya bersifat “meminjam dan menyewa pangkalan”, sedangkan kini bersifat “permanen, langgeng, menjadi pemilik alias menjajah langsung”.
Mentri pertahanan AS, Colin Powel, di awal tahun 1991 M (Rabi’ul Awal 1411 H) menegaskan kepada para wartawan saat ditanya tentang berapa lama keberadaan militer AS di Saudi Arabia, “Kita tentu saja tidak siap datang setiap 10 tahun sekali untuk memecahkan persoalan-persoalan kawasan ini.”
Ia menambahkan, “Keberadaan pasukan AS di Saudi tergantung kepada stabilitas kawasan.” Sampai kini, stabilitas belum tercipta, sekalipun pasukan penjajahan AS sudah bercokol di sana sejak lebih dari 13 tahun yang lalu.
Penegasan mentri pertahanan AS ini, merupakan pengulangan penegasan mentri luar negeri AS, James Baker, dua minggu sebelumnya yang menyebutkan bahwa keberadaan pasukan invasi kilat AS di Saudi yang saat itu berkekuatan 350.000 tentara, amat bergantung kepada stabilitas kawasan Teluk. Tentu saja, istilah “stabilitas kawasan” adalah sebuah istilah “karet” yang bisa ditarik ulur sesuka hati AS.
Terperosok ke Lubang yang Sama, Berulang Kali
Hal yang sanat menyedihkan, saat ini kaum muslimin —terkhusus lagi kawasan Teluk— kembali tertipu dengan statemen yang sama dengan statemen-statemen sebelumnya, oleh tokoh yang itu-itu juga. Mereka tertipu oleh statement para pejabat AS bahwa pasukan AS akan segera ditarik keluar dari kawasan Teluk, bila tugas mengamankan kawasan ini telah selesai.
Pada hari Jum’at 16 Shafar 1424 H yang lalu, dalam wawancara dengan harian Maroco Ideo, Maroko, Henry Kissinger —mantan menlu AS— kembali menghasung negara-negara Arab untuk berpartisipasi membangun kembali Irak, pasca invasi AS 2003 M lalu.
Begitulah. AS yang menghancurkan Irak, dengan persetujuan dan izin negara-negara Arab lewat pangkalan-pangkalan militernya, kemudian negara-negara Arab pula yang harus memperbaiki, membangun kembali, menanggung kehancuran Irak dan seluruh biaya perang. Dengan kekayaan dan pajak warga negara-negara Arab tersebut, pajak dari kaum muslimin !!!
Dalam wawancara itu, Kissinger dengan arogan menyatakan,”Negara-negara Arab harus bergerak segera untuk kembali membangun Irak.” “Pembangunan Irak bukan tanggung jawab AS semata.” ” AS tidak bisa bertahan di Irak lebih lama dari dua tahun, karena akan menambah kebencian rakyat Irak kepada AS.”
Sungguh arogan. AS yang menghancurkan Irak, membunuh puluhan ribu penduduknya tanpa memperhitungkan sedikitpun kebencian rakyat Irak. Setelah semuanya hancur, dengan enteng menyatakan pembangunan Irak adalah tanggung jawab negara-negara Arab, mereka harus terlibat dalam inti percobaan dengan membangun kembali Irak.
Waktu dua tahun yang ditegaskan Kissinger, tentu saja bisa bertambah sampai 20 atau 50 tahun. Negara dan organisasi dunia mana yang bisa memprotes dan meminta pertanggung jawaban AS ? Tentu tidak ada, selain operasi-operasi perlawanan mujahidin Irak.
Dalam kunjungan ke Irlandia, Sabtu 24 Shafar 1424 H yang lalu, statemen yang sama juga ditegaskan oleh mentri pertahanan AS, Donald Rumsfled, “AS berencana akan mempertahankan eksistensinya di Irak dan Afghanistan sampai terbentuknya pemerintahan demokratis seluas-luasnya.”
Persoalannya, siapa yang menentukan standar demokratis dan seluas-luasnya ??? Tentu saja AS, dan AS akan menarik ulur standar ini sesuka hatinya. Keberadaan pasukan AS di Irak dan Afghanistan akhirnya akan bersifat langgeng, seperti yang sudah terjadi di negara-negara Teluk.
Dalam perbincangan dengan stasiun TV Al-Jazera, Rumsfeld menegaskan, “AS tidak berniat mempertahankan pangkalan-pangkalan militernya untuk jangka panjang di Irak.” Jika AS menetapkan akan mempertahankannya dalam jangka panjang di Irak, adakah protes dari negara-negara Arab yang sebelumnya berlomba mengemis agar pangkalan-pangkalan AS di negara mereka dipertahankan dalam jangka waktu yang lebih lama ??? Tentu saja tidak ada.
Para konseptor di Pentagon telah memberikan statemen, ada kebutuhan mendesak untuk mempertahankan 125.000 pasukan AS di Irak, minimal dalam jangka waktu setahun untuk menciptakan stabilitas keamanan Irak, sampai pemerintahan baru yang demokratis mampu mempertahankan stabilitas keamanan negara. Jumlah ini setara dengan 63 % keseluruhan pasukan invasi kilat AS di kawasan Teluk.
Bermarkasnya 63 % pasukan invasi AS di Irak, membuat pasukan invasi AS ini tidak tergantung lagi kepada pangkalan udara pangeran Sultan, Saudi Arabia. Bila satu tahun telah lewat, dan pemerintahan baru belum mampu menciptakan stabilitas, langkah apa yang akan diambil oleh AS?
Admiral Arthur Cropsky, direktur kantor evakuasi militer Pentagon menjawab, “AS memandang selesainya perang di Irak merupakan kesempatan AS untuk kembali menebarkan kekuatan militernya ke seluruh penjuru dunia. Langkah ini akan membawa perubahan besar pada pangkalan-pangkalan AS di Eropa dan Asia.”
Nampaknya, AS akan memindahkan pangkalan-pangkalan di Eropa dan Asia yang merupakan pangkalan-pangkalan terpenting AS di luar AS, ke Irak. Arthur menambahkan, “Amat konyol bila setelah selesainya perang seperti yang kita lakukan di Irak, seluruh persoalan akan kembali normal seperti sedia kala.”
Anggota partai Republik, Perez, di hadapan Senat pada hari Sabtu 25 Shafar 1424 H menyatakan, “Persoalan ini membutuhkan waktu minimal lima tahun, sampai terbentuk pemerintahan baru yang mampu secara langsung mengendalikan urusan sendiri d Irak.”
Senator Richard Loger, ketua komisi hubungan luar negeri Senat, juga dari partai Republik, menegaskan dalam wawancara dengan stasiun TV CNN, “Saya yakin, kita harus memikirkan waktu yang tidak kurang dari lima tahun.”
Seorang senator partai Republik lainnya, Patt Robertos, yang juga ketua komisi intelijen Senat AS kepada stasiun TV Fox News juga mengungkapkan, “Kita datang untuk menetap.” Ia menambahkan, “Saya masih ingat, ketika presiden Bill Clinton menyebutkan kita akan berada di Semenanjung Balkan selama satu tahun. Sampai saat ini, sepuluh tahun sudah berlalu dan kita masih tetap berada di Balkan. Kita juga masih perlu bertahan di sana.”
Paul Wolfowitz, asisten mentri pertahanan AS dan orang kedua di Pentagon, juga menegaskan bahwa AS bisa saja membuat pangkalan-pangkalan militer baru di Irak, yang akan menjadi sebuah negara Teluk kawan baru AS. Ia menambahkan, “Persoalan pokoknya, adalah dengan menggulingkan pemerintahan ini (Irak), akan memberi peluang lebih leluasa kepada AS untuk bergerak di Teluk. Dan, langkah kaki AS akan semakin ringan, tanpa ada ancaman dari Irak.”
Rencana ini dikuatkan oleh pernyataan para petinggi Pentagon yang dimuat oleh harian The New York Times, bahwa AS berniat mempertahankan secara permanen empat pangkalan militer di Iraq untuk menjaga kepentingan-kepentingan AS, dan pada saat yang bersamaan akan mengurangi jumlah pasukannya di Saudi.
Keempat pangkalan militer tersebut adalah :
a– Pangkalan militer di bandara internasional Saddam.
b– Pangkalan militer di Talel, dekat Nashiriyah.
c– Pangkalan militer ITS I, di sebuah tempat terpencil di tengah padang pasir Iraq Barat, sejajar dengan kilang-kilang minyak antara Baghdad dan Yordania.
d– Pangkalan militer di Pasyur, Irak Utara.
Saat ini, pasukan AS bermarkas di empat pangkalan militer ini, selain ratusan kesatuan lainnya yang ditempatkan di setiap kota di Irak dan daerah-daerah sekitarnya. Setelah ini, mungkin pasukan AS di Irak akan dikurangi sehingga tinggal 125.000 personal, yang akan ditempatkan di empat pangkalan militer ini.”
Inilah pernyataan para petinggi pemerintahan AS. Jadi, benarkah tergulingnya Saddam menciptakan stabilititas di kawasan ? Benarkah tergulingnya rezim partai Baath membuat AS tidak memerlukan lagi pangkalan-pangkalan militer di kawasan ini ? Benarkah jatuhnya Irak ke tangan AS, dan keberhasilan AS membentuk pemerintahan boneka baru loyalis AS, berarti selesainya opsi penggunaan kekuatan militer di kawasan ini ???
Seorang yang memahami sejarah invasi pasukan AS di kawasan Teluk dan mengikuti pernyataan-pernyataan para pejabat AS, tidak akan ragu-ragu menjawab tanda tanya di atas dengan jawaban TIDAK. Gertakan dan ancaman AS kepada Suriah, Iran, Sudan, Libya dan negara-negara “poros setan” lain di kawasan ini, semakin bertambah setiap hari.
Belum lagi dengan penegasan Nixon bahwa musuh terbesar AS di kawasan ini adalah “fundamentalis Islam”. Keberadaan pasukan AS untuk masa yang lebih lama, dikuatkan oleh para petinggi pemerintahan AS secara berturut-turut dalam beberapa waktu terakhir.
Wakil Presiden Dick Cheney, dalam pertemuan dengan asosiasi redaksi media massa AS, menegaskan bahwa invasi ke Irak akan disusul oleh operasi-operasi militer lain, sesuai dengan penegasan resmi presiden George W. Bush sebelumnya (BBC, 16/9/2001 M) bahwa perang “salib” melawan para teroris ini akan memakan waktu yang lama.
Dick Cheney menyebutkan, “AS mempunyai kewajiban moral untuk menghadapi para teroris.” Tentu sudah dimaklumi bersama, bahwa “teroris’ yang dimaksud oleh AS adalah kaum muslimin yang teguh memegang ajaran diennya, yang biasa mereka tuding dengan istilah “fundamentalis Islam”, atau “kaum Wahabi”.
Yang jelas, perang salib AS di kawasan Teluk belum akan berakhir, meski rezim Saddam sudah mereka gulingkan, bahkan mereka telah membentuk pemerintahan boneka loyalis AS. Irak hanyalah batu loncatan awal. Negara-negara di kawasan Jazirah Arab, akan menjadi target selanjutnya. Dan tentu saja, pasukan invasi kilat AS akan dipertahankan dalam waktu lebih lama, atau tepatnya selamanya.
Hal ini dikuatkan dengan penegasan para petinggi Pentagon kepada kantor berita AFP, bahwa tiga hari setelah jatuhnya Irak, pesawat-pesawat tempur AS mengangkut sejumlah besar bom MOAB, dengan berat masing-masing bom 9,5 ton. Bom ini merupakan bom terbesar AS sejak zaman perang klasik. Daya hancurnya senilai dengan sebuah bom nuklir kecil. AFP tidak menyebutkan sebab pengiriman bom-bom tersebut ke kawasan Jazirah, sekalipun Irak telah takluk tiga hari sebelumnya.
Dua hari setelah jatuhnya Irak, mentri pertahanan Inggris, Jeff Hone mengancam akan melakukan pukulan mematikan kepada negara-negara “pembangkang”, yaitu negara yang melindungi teroris internasional, dan negara yang berusaha atau telah memiliki senjata-senjata pemusnah masa. Melindungi teroris, memiliki atau berusaha memiliki senjata pemusnah masal, merupakan sebuah sifat yang bisa melekat atau dilekatkan kepada setiap negara di kawasan Teluk. Dengan alasan ini pula, AS, Inggris dan sekutu-sekutunya melakukan invasi ke Irak.
Meski rezim Irak sudah dijatuhkan, dan penggeledahan terhadap setiap rumah, bangunan dan jengkal tanah Irak telah mereka lakukan, bahan-bahan kimia untuk senjata pemusnah masal tidak didapatkan. Tim investigasi PBB sebelumnya juga telah mengeluarkan laporan ketidak beradaan senjata pemusnah massal di Irak.
Namun, begitulah. Tidak masalah bila pasukan invasi AS dan sekutunya tidak menemukan bukti atas tuduhan yang mereka lontarkan. Karena, tujuan invasi ini bukanlah untuk mencari senjata pemusnah masal. Pun, bukan untuk menggulingkan rezim Saddam semata. Juga bukan untuk memburu Usamah bin Ladin, Al-Qaeda, dan jaringan teroris semata.
Tujuan sebenarnya adalah mempertahankan penjajahan atas Jazirah Arab ; Saudi, Kuwait, Qatar, Bahrain, Uni Emirat Arab, Kesultanan Oman dan Yaman. Tujuan sebenarnya adalah merampok dan menguras kekayaan alam dunia Islam. Tujuan sebenarnya adalah memerangi Islam, kaum muslimin dan mujahidin. Tujuan sebenarnya adalah mengokohkan mimpi Israel raya. Tujuan sebenarnya adalah perang salib modern.
[1/judul] . Tema ini telah dikaji secara luas dan mendalam oleh sejumlah ulama, cendekiawan, dan pakar. Di antaranya syaikh Dr. Safar bin Abdurahman Al-Hawali dalam Kasyful Gummah ‘an Ulamail Ummah, Markazul Dirasat wal Buhuts Al-Islamiyyah dalam Al-Tawajud Al-Amriki fil Jazirah Al-‘Arabiyah Haqiqatuhu wa Ahdafuhu dan Mustaqbalul ‘Iraq wal Jazirah Al-‘Arabiyah Ba’da Suquthi Baghdad, syaikh Sulaiman bin Nashir Al-‘Ulwan dalam Silsilatu Al-Tau’iyah bil Harbi Al-Shalibiyah, syaikh Nashir bin Hamd Al-Fahd dalam Al-Hamlah Al-Shalibiyah fi Marhalatiha Al-Tsaniyah “Harbul ‘Iraq”, syaikh Abdurrahman bin Abdul-Hamid Al-Amin dalam Bayanun Ilal Ummah Al-Islamiyah ‘Anil Harbi Al-Amrikiyah Al-Shalibiyah ‘alal Iraq Harbul Khalij Ats-Tsalitsah, syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Saif dalam Al-‘Iraq wa Ghazwu Al-Shalib Durusun wa Ta-ammulatun, Majalah Al-Anshar dalam Al-Harbu Al-Shalibiyah Al-Mu’ashirah Al-Haqiqah Al-Mafdhuhah wa Al-Daurul Mathlub dan Al-‘Iraq minal Ihtilal ila Al-Tahrir Waqi’ul Azmah wa Aafaqul Hal, syaikh Dr. Abdullah bin Nashirudin Al-Zairi dalam Al-Khasaish Al-Syar’iyah Lil-Jazirah Al-‘Arabiyah, syaikh Dr. Salman bin Fahd Al-Audah dalam Jaziratul Islam, dan syaikh ‘Isa bin Sa’ad Ali ‘Usyain dalam Risalatun Qabla Fawatil Awan.
[2] . Truman Doctrin adalah kebijakan politik luar negeri presiden AS, Harry S. Truman untuk memberikan bantuan ekonomi dan militer ke Turki dan Yunani sebesar $ 400 juta, untuk membendung ancaman komunis. Kebijakan yang diajukan ke konggres pada tanggal 12 Maret 1947 M, dan disetujui ini, akhirnya menjadi alasan AS untuk mendukung setiap negara yang dianggap terancam oleh kekuatan komunis.
[3] . Carter Doctrine, Annual Message to the Congress on the State of the Union, January 23, 1980 : Let our position be absolutely clear: An attempt by any outside force to gain control of the Persian Gulf region will be regarded as an assault on the vital interests of the United States of America, and such an assault will be repelled by any means necessary, including military force. [Sumber ; Public Papers of the Presidents of the United States, Jimmy Carter 1980-81, vol. 1. Washington, D.C.: U.S. Government Printing Office, 1981. Microsoft® Encarta® Reference Library 2003].
(saif/manjaniq/arrahmah.com)