(Arrahmah.com) – Syaikh Abu Mush’ab Az-Zarqawi rahimahullah merupakan komandan tanzhim Al-Qaeda di Irak dan salah satu pionir berdirinya Daulah Islamiyah Irak. Ketauladanannya dalam jihad melawan aliansi penjajah zionis-salibis internasional di Irak diakui oleh semua kawan dan lawan.
Komandan Saiful ‘Adl, Penanggung Jawab Bidang Security dan Intelejen Organisasi Jihad Internasional Al-Qa’eda memiliki pengalaman menarik selama bergaul dengan Abu Mush’ab az-Zarqawi. Beliau menuliskan pengalamannya dalam sebuah buku Tajribati Ma’a Abi Mush’ab az-Zarqawi, Pengalamanku Bersama Abu Mush’ab Az-Zarqawi. Buku mungil itu mengisahkan kedatangan rombongan Abu Mush’ab az-Zarqawi di Afghan, pelatihan militer, pembentukan jaringan, hingga pembukaan medan jihad di Irak.
Bagian Percetakan dan Penerbitan Jabhah ‘Alamiyah lil-I’lam al-Jihadi, Abu Mihjan Asy-Syarqi menerbitkan buku tersebut dan situs www.hanein.net merilisnya untuk kaum muslimin.
Berikut ini terjemahan buku tersebut yang dikerjakan oleh seorang aktivis media Islam, hafizhahullah dan jazahullah khairan. Semoga bermanfaat untuk kaum muslimin dna muslimat.
***
Antara Az-Zarqawi dan Al-Qaeda
Mengenal Lebih Dekat Tentang Al-Qaeda dan Relasinya
Dengan Abu Mush’ab Az-Zarqawi
Dikisahkan oleh Komandan Saiful Adl, Penanggung Jawab Bidang Security & Intelejen Organisasi Jihad Internasional Al-Qa’eda.
Bismillahirrahmannirrahiim
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurahkan selalu bagi Nabi Muhammad SAW, para sahabat dan orang-orang yang selalu setia mengikuti langkah mereka hingga hari kiamat. Amma Ba’du.
Sebenarnya tidak terlintas sama sekali dalam benak saya, fikiran untuk menuliskan biografi tentang Abu Mush’ab. Lagi pula saya tidak memiliki minat atau kesibukan di dunia tulis menulis. Akan tetapi, dunia sekarang yang semakin ketat memburu orang-orang yang dicurigai oleh Amerika sebagai teroris, menjadikan saya memiliki banyak waktu luang. Saya memanfaatkannya untuk berdzikir, menghafal Al-Qur’anul Karim, dan sedikit melakukan beberapa senam fisik. Dalam suasana kegiatan yang monoton seperti ini, ada sebagian orang yang ingin mendengar kisah tentang kepribadian teman dekat saya Ahmad Fudhoil [atau lebih dikenal dengan sebutan Abu Mush’ab Az-Zarqawi] selama saya bergaul bersama beliau.
Tadinya saya ragu apakah menulisnya atau tidak, namun setelah shalat istikharah hati saya mantap untuk melakukan hal ini. Pertama-tama, saya menuliskan semua memori yang saya ingat tentang beliau. Semoga Allah menerimanya sebagai amal sholeh saya yang bermanfaat buat mujahidin lain yang masih bebas (belum- dan semoga tidak – tertangkap) di manapun mereka berada. Dan saya selalu mengikuti berita kemenangan dan kesuksesan mereka dalam menyerang musuh dengan bangga sekaligus rindu, kapan saya bisa seperti itu. Mereka adalah singa-singa dan pahlawan dan menurut saya akhi Abu Mush’ab adalah salah satu dari mereka. Demikianlah anggapan kami dan hanya Allah yang mengetahui hakikatnya.
Baiklah kita mulai, setelah Allah takdirkan kaum mujahidin berhasil mengalahkan Rusia, sejak itu terjadi banyak persengketaan antar mujahidin Afghan itu sendiri, banyak sekali ikhwan-ikhwan Arab berfikir untuk pulang ke negeri mereka masing-masing. Terutama ikhwan Arab yang berasal dari Saudi, Yaman dan Yordania, di tiga negara ini keamanan tidak seketat di negara lain seperti Mesir, Suriah, Aljazair dan Libya. Kami sebagai pendatang yang tengah didera konflik, yang menurut kami aman saat itu kami pilih Sudan dan Somalia, dan beberapa negara kecil Afrika. Ada juga ikhwah yang pergi ke negara bekas jajahan Uni Soviet yang memisahkan diri. Ada juga yang tidak menentu, berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain.
Beberapa ikhwah yang kami pandang memiliki keikhlasan, melihat hal ini sebagai kerugian besar pada tubuh Mujahidin. Artinya harus segera diambil langkah nyata untuk menghentikan kerugian ini, potensi-potensi besar yang terpendam pada jiwa-jiwa yang telah tergembleng oleh jihad ini harus segera disatukan kembali, disinergikan dan kemudian digunakan untuk melakukan perubahan dunia yang selama ini kita inginkan. Inilah pemikiran pertama yang menjadi dasar kenapa Tanzhim Al-Qa’eda dibentuk.
Pertama, Fase I’dad [Persiapan]
Langkah pertama, kami mengumpulkan data-data tentang para tokoh yang ikut dalam jihad Afghan seperlu kami. Baik data lama atau yang terkini, diantara para tokoh ini kami utamakan yang berasal dari Yordania dan Palestina. Kami tidak pernah ketinggalan di dalam mengikuti berita perkembangan mahkamah militer yang dibentuk pemerintahan Yordania untuk menghukum ikhwan-ikhwan dari Yordan yang “veteran Afghan” dan Organisasi-organisasi Jihad Islam yang berusaha melancarkan operasi jihad melawan pemerintahan pro Yahudi di Palestina. Di Yordania, yang paling menonjol kala itu adalah Al-Akh Abu Muhammad Al-Maqdisi dan Al-Akh Abu Mush’ab Az-Zarqawi karena terkait dengan pemikiran mereka berdua yang dianggap ekstrim oleh pemerintah setempat.
Diwaktu yang sama, Akh Abu Qotadah [Umar bin Abu Umar, penulis kitab Al-Jihad wal Ijtihad] dalam majalah Al-Manhaj yang beliau terbitkan di London, banyak sekali menampikan pemberitaan tentang ikhwah-ikhwah Yordania tersebut. Kami membaca surat-surat Al-Maqdisi dan Abu Mush’ab yang dimuat disana, serta bagaimana kisah mereka bisa diseret ke pengadilan. Akh Abu Qotadah sendiri, selalu menyampaikan optimismenya bahwa kita sekarang punya ikhwah-ikhwah yang bagus yang bergerak di Yordania. Mereka ini memiliki masa depan menjanjikan untuk dakwah tauhid yang penuh berkah ini.
Kami gembira sekali begitu mendengar mereka dibebaskan pada tahun 1999. Tak berselang lama, kami dengar berita bahwa Abu Mush’ab tiba di Pakistan bersama rombongannya. Kami tidak terlalu kaget, sebab bagi kami adalah suatu hal yang wajar bagi orang yang paham Islam dengan benar untuk bergabung dengan kelompok yang mengusung panji jihad. Data-data yang kami miliki tentang Abu Mush’ab, mengindikasikan bahwa beliau nampaknya ingin pergi ke Chechnya. Padahal menurut kami ada lahan-lahan lain yang tak kalah “panas”nya dan perlu untuk digarap. Keinginan beliau itu untuk pergi berjihad, paling tidak menunjukkan bahwa ia tidak main-main dalam merealisasikan cita-citanya untuk merubah kondisi umat. Ia sadar perubahan ini harus ditempuh dengan langkah nyata, bukan sekedar dengan angan-angan dan teori. Umat sendiri hanya akan terbangun dari tidurnya ketika mereka kita libatkan dalam hal nyata. Inilah yang menjadi alasan, mengapa dalam programnya Al-Qae’da melibatkan seluruh komponen umat. Nanti akan kita jelaskan lebih lanjut tentang ini, Insya Allah.
Seperti kami perkirakan, Abu Mush’ab dan rombongannya menghadapi masalah izin tinggal selama di Pakistan. Mereka ditangkap walaupun akhirnya mereka dilepaskan oleh pihak Pakistan tapi dengan syarat mereka harus meninggalkan Pakistan. Akhirnya tak ada pilihan lain bagi beliau selain masuk ke Afghanistan. Saya mendengar berita bahwa Abu Mush’ab beserta rombongan dari Yordania telah tiba di Kandahar. Sayangnya, waktu itu saya sibuk dengan urusan luar daerah, saya baru kembali dari Kandahar dua pekan setelah Abu Mush’ab tiba.
Sesampai disana, saya segera menemuinya di rumah yang khusus disediakan untuk tamu-tamu baru yang dari luar. Kami tidak perlu mempertanyakan kredibilitas Abu Mush’ab [juga Al Maqdisi], sebab berita tentang kepribadiannya dan bagaimana ia bersikap tegas ketika diadili oleh Mahkamah Militer Yordania sudah cukup. Apalagi Syaikh Abu Qotadah dan satu Syaikh lagi yang pro-jihad dari Yordania telah merekomendasikan nama beliau berdua.
Sebelum itu, saya telah mengutus seseorang untuk mengawasi Abu Mush’ab dan bagaimana pergaulan mereka dengan ikhwan-ikhwan lain. Dan nampaknya, beliau memiliki beberapa pemikiran ekstrim yang tidak cocok dengan pemikiran ikhwan-ikhwan di sini. Ini membuka kembali memori saya di masa lampau, ketika pertama kali Allah memberi saya hidayah memahami Islam secara benar di awal-awal tahun 80an. Memori ini, membuat saya bisa memaklumi kerasnya pemikiran Abu Mush’ab sebelum saya bertemu dengannya.
Setelah sholat Isya’ sampailah saya di rumah dimana Abu Mush’ab berada. Saya ditemani oleh seorang ikhwan dari Mesir, Ikhwan ini tadinya dibesarkan oleh Jama’ah Islamiyah Mesir. Ia salah satu murid dari Syaikh Abdul Akhiir Hammad al-Ghunaimi, tapi kemudian tidak sepakat dengan ikhwan-ikhwan dan masyaayikhnya di sana pada beberapa ijtihad langkah perjuangan. Kami masuk ruang tamu, Abu Mush’ab sudah siap menyambut kami, karena dua jam sebelumnya saya mengutus kurir untuk memberitahu beliau bahwa saya akan datang.
Kami saling berpelukan dan mengucapkan salam selamat dan bahagia kepada ikhwan-ikhwan ini. Kesan pertama duduk disampingnya, anda akan merasa duduk bersama orang yang sama sekali biasa, polos dan tawadhu’. Seperti biasa, kamipun saling memperkenalkan diri, pihak kami yang memulai terlebih dahulu. Setelah lama berbincang, saya merasa tengah berhadapan dengan orang yang banyak memiliki sisi persamaan dengan saya. Sosok yang tegas, tidak banyak bicara, menyampaikan pemikirannya dengan kata-kata singkat, tidak pernah berkompromi dengan apa yang ia yakini. Memiliki tujuan jelas yang ingin ia wujudkan; mengembalikan Islam dalam kehidupan manusia yang nyata.
Ia tidak banyak berfikir terperinci mengenai cara, metode atau sarana apa yang harus dipakai untuk mencapainya. Yang penting baginya adalah merealisasikan tauhid, memahami aqidah yang benar dan berjihad melawan musuh-musuh umat. Ia belum memiliki banyak pengalaman di medan lapangan, meski demikian cita-citanya sangatlah besar, target-targetnya pun jelas. Panjang lebar saya tanya beliau tentang kondisi Yordania dan Palestina. Data yang ia ketahui tentang Yordania cukup bagus. Mengenai Palestina nampaknya ia tidak banyak tahu.
Setelah itu, sampailah kami pada point pembicaraan mengenai perbedaan pendapat dia dengan ikhwan-ikhwan di sini, kami sama sekali tidak bertujuan mendebatnya, untuk sementara target kami adalah bagaimana dia bisa simpatik dengan kami. Perbincangan kami berjalan tak terasa sampai lima jam non stop, kami mendengarkan semua yang ia miliki. Begitu selesai, kami berpamitan dan sepakat untuk bertemu dua hari lagi.
Keesokan harinya, saya ada jadwal pertemuan rutin dengan Syaikh Usamah dan Syaikh Aiyman Azh-Zhawahiri. Biasanya selesai membahas permasalahan kami selalu mengadakan dialog. Nah, dalam kesempatan inilah saya sampaikan masalah Abu Mush’ab untuk didialogkan bersama. Ikhwan-ikhwan di sini sudah biasa dengan perbedaan pendapat dalam kasus Abu Mush’ab, menurut kami itu bukan barang baru. Karena dulupun, ratusan ikhwan yang datang dari berbagai penjuru dunia datang dengan pemikiran masing-masing, dan biasanya kami tidak sepakat dengan mereka dalam beberapa hal.
Pemicu perbedaan ini biasanya berangkat dari cara memahami prinsip Al-Wala’ wal Baro’, kemudian efek dari masalah ini yaitu tentang takfir (mengkafirkan orang) dan pemahaman Murjiah. Perbedaan selanjutnya biasanya tentang langkah dalam berjuang dan dalam menyikapi kondisi lapangan, semuanya memahami berdasarkan negeri dan tempat asalnya.
Nah, sisi penting yang menjadi perbedaan ikhwan-ikhwan dengan Abu Mush’ab adalah tentang menyikapi pemerintah Saudi. Terutama tentang kufur tidaknya pemerintahan tersebut. Akhirnya, saya menyarankan agar mereka menyerahkan urusan Abu Mush’ab ini kepada saya. Karena bagaimana pun, seorang ikhwan atau satu kelompok yang datang tetap harus diurus. Tidak bisa kita tinggalkan hanya lantaran perbedaan yang tidak mendasar.
Dua Syaikh itu menyerahkan urusan Abu Mush’ab kepadaku.
Dalam data-data kami, ternyata Al-Qa’eda tidak memiliki banyak pengikut di Palestina dan Yordania. Padahal kedua negara itu – terutama Palestina – adalah pusat masalah yang sekarang dihadapi umat secara menyeluruh. Sebab, negara Israel terus eksis selama pemeritah negara-negara Timur Tengah memberikan dukungan dan bantuan, dan selama negara Barat terus membantu Yahudi. Meruntuhkan eksistensi dan negara Yahudi sama dengan merubah kondisi umat. Sedangkan ini tidak mungkin kecuali menjadikan Israel lemah.
Selanjutnya, kami berfikir; berarti harus ada anggota kita yang bertebaran di berbagai penjuru dua negara tersebut. Lantas, mengapa kita menyia-nyiakan kesempatan dengan datangnya Abu Mush’ab dan rombongannya ini? Setelah dialog dua jam, ikhwan-ikhwan menyerahkan urusan ini kepada saya.
Alhamdulillah, ide ini sangat melegakan saya. Sejak sepuluh tahun terakhir saya sulit tidur memikirkannya. Dulu saya tidak sepakat dengan semua orang kaitannya dengan penerapan strategi dan taktik di lapangan. Masalah ini saya hadapi sejak pertama kali saya di penjara di Mesir terkait kasus pembentukan organisasi Jihad dan usaha menggulingkan pemerintahan Mesir, yaitu pada tanggal 6 mei 1987 M. Pada waktu itu ada 6000 ikhwah yang ditahan terkait dengan kasus ini, 417 diantaranya diajukan ke pengadilan. Kasus ini terkait dengan usaha pembunuhan mantan Mendagri Mesir, Hasan Abu Pasha dan seorang jurnalis bernama Mukrim Muhammad Ahmad. Waktu itu, saya termasuk salah satu jajaran tinggi Komandan Kesatuan Khusus Angkatan Bersenjata Mesir. Ada seorang lagi dari kesatuan khusus yang turut ditahan bersama saya, yaitu Akh Muhammad Al-Barom. Semoga Allah senantiasa menjaga beliau dan meluruskan langkahnya.
Yang jadi masalah, saya melihat ikhwan-ikhwan di Tanzhim Jihad Islam Mesir dan Jamaah Islamiyah Mesir belum memiliki skill dan pengalaman lapangan yang cukup untuk melakukan perubahan yang selama ini diharapkan. Nah, kadang kekurangan inilah yang menjadikan kami sendiri dan ikhwan-ikhwan lain terlampau bersemangat dan tak jarang asal-asalan dalam menjalankan operasi, tidak memperhitungkan langkah ke depan, baik dalam jangka pendek ataupun jangka panjang. Tidak pernah berfikir untuk melibatkan potensi seluruh umat kaitannya dengan dukungan moral. Padahal, yang namanya perubahan memerlukan unsur-unsur, mulai dari pemikiran, SDM, materi (dana), pemimpin-pemimpin yang ikhlas, teruji dan jeli dalam menentukan target dan sarana mewujudkannya, yang berpemikiran jelas dan tidak samar.
Sebelumnya, saya sampaikan sebab-sebab yang mendorong saya meninggalkan Mesir begitu kasus yang saya hadapi selesai. Ada sisi kesamaan dengan sebab yang mendorong Akh Abu Mush’ab meninggalkan negerinya. Bahkan bisa dibilang hampir mirip. Diantaranya:
- Aparat keamanan, baik di Mesir dan Yordania, sama-sama menganggap organisasi-organisasi Islam militan sebagai ancaman utama. Organisasi-organisasi yang menginginkan perubahan secara total, baik politik, ekonomi, intelektual, sosial dan lain-lain. Melihat hal ini, tentu saja mereka terus memantau pergerakan aktivis Islam, dan berusaha menyerang sedini mungkin agar para aktivis itu gagal dalam memperjuangkan keinginannya.
- Aparat di dua negara ini mulai menanam orang di dalam tubuh organisasi-organisasi Islam tadi. Dan ternyata mereka berhasil. Kita tidak perlu mengupas lebih lanjut masalah ini di sini. Yang penting, kami melihat kepemimpinan organisasi-organisasi ini harus terhindar betul dari serangan-serangan pemerintah. Sehingga, mereka bisa menjalankan program dan melaksanakannya dengan sebaik mungkin.
- Sarana-sarana material untuk mengadakan perubahan, tidak tercukupi di dua negara ini. Sehingga perlu mencari jalan dan pengumpulan dana dari luar.
- Dalam rangka turut andil membela umat dalam menghadapi berbagai masalah “panas”. Orang yang memiliki kepribadian luhur, tidak akan rela umat dan keluarganya terhina.
Inilah faktor-faktor yang mendorong orang-orang seperti saya dan Akh Abu Mush’ab meninggalkan negerinya, dan pergi ke medan-medan jihad yang terbuka di dunia Islam.
Kembali, begitu dua syaikh itu menyerahkan urusan Abu Mush’ab ke saya, saya menghubungi ikhwan-ikhwan yang saya percaya, baik intelektualitas dan kapasitas ilmunya, maupun pengalaman di lapangan. Kami melakukan pertemuan darurat dan singkat, mendialogkan dari berbagai sisi, mengenai cara memperbanyak orang di Palestina dan Yordania.
Setelah berlangsung rapat selama 9 jam non stop – kami hanya istirahat untuk sholat dan makan – akhirnya kami berhasil mencapai kesepakatan-kesepakatan penting. Sekarang saya punya ide dan cara pandang yang jelas dan utuh, untuk membuat sebuah proyek baru yang besar. Sukses tidaknya proyek ini sangat terkait dengan setuju tidaknya Akh Abu Mush’ab. Tak henti-hentinya saya berdoa kepada Allah, agar memberiku kemudahan dalam meyakinkan Akh Abu Mush’ab dan teman-temannya tentang proyek penting ini, ini adalah proyek Islami yang besar. Kita akan berupaya betul agar proyek ini berhasil dan sukses.
Esoknya, adalah hari dimana kita janji untuk bertemu kembali dengan Akh Abu Mush’ab. Tepatnya pukul 09.00 pagi, saya bersama ikhwan Mesir yang tadi saya ceritakan, berangkat. Kali ini, kami juga ditemani seorang ikhwah dari Jazirah Arab, aslinya dari Hijaz. Hijaz termasuk negeri yang melahirkan orang-orang yang memiliki andil besar dalam kancah jihad dan perjuangan Islam, di berbagai penjuru dunia. Orang ini banyak memiliki kesamaan fikiran dengan saya dalam berbagai hal.
Sesampai di sana, kami tidak masuk ruang tamu seperti biasanya. Kami justru memanggil Akh Abu Mush’ab untuk ikut kami. Waktu itu beliau kami minta sendirian. Akhirnya, kami menaiki mobil menuju rumah ikhwan Hijaz ini. seperti lazimnya, kami perkenalkan Akh Abu Mush’ab kepada ikhwan Hijaz ini. Dan saya rasa, Abu Mush’ab bisa menerima pemikiran ikhwan Hijaz ini dengan lapang dada.
Saya memulai pembahasan, karena sayalah yang mengusung proyek yang besar ini dan punya cara pandang paling utuh dari berbagai sisi dan tujuannya. Sebenarnya, point inti dari proyek ini adalah mendesaknya untuk segera membuka sebuah daerah baru di Afghanistan, yang disana kita akan memiliki kamp latihan sederhana untuk latihan harian. Rencananya, Akh Abu Mush’ablah yang diminta untuk menjadi penanggung jawab daerah atau basis baru ini, sengaja kita buat untuk mengundang ikhwan-ikhwan terutama dari Yordania, Palestina, Suriah, Lebanon, Irak dan Turki. Sebab menurut kami, negara-negara ini sangat strategis. Sementara, kami merasa tidak berkemampuan untuk menggarap daerah-daerah tersebut.
Point berikutnya, kami telah diskusikan secara matang bersama ikhwan-ikhwan senior, daerah yang akan kita buka ini harus dijauhkan dari basis utama kami, namun berdekatan dengan daerah sebelah barat Afghanistan yang berbatasan dengan Iran. Pertimbangan kami adalah, jalur yang aman bagi para ikhwan yang ingin masuk hanya dari Iran. Sebab, fihak Pakistan mulai sangat ketat memantau pergerakan kami. Sangat sulit bagi ikhwan Arab atau yang lain untuk masuk melalui jalur Pakistan. Berbeda dengan mereka yang masuk melalui jalur Turki – Iran – Afghanistan, mereka masuk dengan mudah.
Nah, kota paling tepat yang kami pilih untuk proyek ini adalah kota Herat. Herat adalah kota terletak di bagian barat Afghan yang paling dekat dengan perbatasan Iran. Di satu sisi, kota ini juga jaun dari basis utama kami. Mengenai kebutuhan material, ikhwan dari Hijaz tadi bersedia menanggungnya, sesuai jumlah orang yang akan tinggal dan kebutuhan-kebutuhan proyek.
Suatu hal yang kami sampaikan juga kepada Akh Abu Mush’ab, kami tidak akan menuntut beliau ber-bai’at secara total kepada Tanzhim kami, kami hanya menginginkan tansiq (kerjasama atau aliansi) untuk menggapai tujuan bersama.
Kami tegaskan juga kepada beliau, bahwa kami siap memberikan latihan khusus bagi anggota atau tim beliau yang menonjol. Kami juga sudah menjalin kerjasama dengan ikhwan Taliban, supaya ke depan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kami mengusulkan kepada beliau agar membuat dua tempat transit, pertama di Teheran, dan satu lagi di Masyhad (kota di Iran, pent). Ini untuk memudahkan keluar masuk ikhwan-ikhwan dari dan ke Afghanistan.
Ide-ide ini memiliki satu target, yaitu menjalin hubungan ikhwan-ikhwan di negara-negara Arab dan dunia Islam, sekaligus membuka kesempatan bagi ikhwan-ikhwan yang benar-benar ikhlas untuk berjihad. Khususnya bagi mereka yang “belum” sepakat dengan pemikiran Al-Qa’eda. Sebab, dibukanya daerah ini akan membentuk kesepakatan pemikiran secara bertahap, dan dimasa mendatang akan mensejajarkan langkah dengan izin Allah.
Selesai mengutarakan ide kami, kami sudah tidak sabar menunggu jawaban Akh Abu Mush’ab. Sejurus kemudian, beliau mengatakan, “Saya punya orang-orang dekat yang saya jadikan penasehat. Akh Kholid Al-‘Ariwi dan Akh Abdul Hadi Daghlas adalah orang-orang yang selalu mendampingiku sejak kami merintis jalan ini. Sudah sewajarnya mereka dimintai pertimbangan dan saran.”
Kami mengiyakan permintaan beliau. Kita sepakat bertemu dua hari lagi, yaitu hari Jum’at. Akhi dari Hijaz menjanjikan akan mengundang kita untuk makan bersama di rumahnya. Kamipun setuju. Tapi Abu Mush’ab meminta agar kedua teman dekatnya tadi turut diundang. Ok. Kami akan kirimkan satu mobil untuk menjemput mereka nanti sebelum sholat Jum’at, supaya kita dapat sholat Jum’at bersama-sama.
Rencana berjalan lancar. Hari Jum’at, kami bisa sholat Jum’at bersama-sama. Setelah itu pergi ke rumah Akhi dari Hijaz, di sana kami menyantap hidangan yang telah disediakan. Waktu itu kami disuguhi hidangan kambing Arab. Sembari menikmati makanan, kami berbincang-bincang. Akh Abdul Hadi – teman Abu Mush’ab – mulai mengajukan beberapa pertanyaan. Dari penampilannya, nampaknya ia memiliki kepandaian yang cukup. Dengan izin Allah, kami jawab semua yang ia ajukan. Alhasil, kita semua sepakat dengan proyek ini. besok kita akan segera melakukan persiapan.
Bersambung, insya Allah…
Dipublikasikan oleh:
Al-Jabhah al-‘Alamiyah lil-I’lam al-Jihadi
Bagian publikasi dan penyebaran:
Abu Mihjan Asy-Syarqi
Dikirim pada 30/5/1426 H, melalui situs: www.hanein.net
(muhib almajdi/arrahmah.com)