(Arrahmah.com) – Salah satu udzur dalam pengkafiran yang mendapat bahasan luas dari para ulama Islam adalah kebodohan. Apakah yang dimaksud dengan kebodohan dalam masalah pengkafiran? Bagaimanakah kedudukannya dalam syariat? Adakah klasifikasi dan tingkatannya? Adakah dalil-dalil syar’i atas hal itu? Bagaimana contoh penerapan ulama terhadapnya?
Beberapa permasalahan inilah yang akan diuraikan dalam artikel kali ini dan artikel-artikel selanjutnya, insya Allah.
***
Definisi Kebodohan (Al-Jahlu)
Dalam bahasa Arab dan syariat Islam, kebodohan memiliki beberapa pengertian:
a. Tidak mengetahui sesuatu hal, disebut juga al-jahl al-basith (kebodohan sederhana). Contoh: seseorang tidak mengetahui hukum shalat tarawih.
b. Meyakini dan memahami sesuatu hal yang bertolak belakang dengan realita sebenarnya, disebut juga al-jahl al-murakkab (kebodohan ganda). Contoh: seseorang meyakini hukum shalat tarawih adalah farhu ‘ain.
c. Mengucapkan suatu ucapan atau melakukan suatu perbuatan yang tidak seharusnya diucapkan atau dilakukan, meskipun ia mengetahui kekeliruannya. Contoh: Seseorang sudah mengetahui shalat lima waktu itu wajib, namun ia tidak melaksanakannya dengan alasan malas atau sibuk. Atau seseorang sudah tahu berzina itu haram, namun ia masih juga berzina. Orang seperti ini disebut orang bodoh, meskipun ia seorang ulama atau profesor doktor yang mumpuni ilmunya.
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata, “Kebodohan itu ada dua macam: (1) tidak mengetahui kebenaran yang bermanfaat dan (2) tidak mengamalkan tuntutan dari kebenaran yang bermanfaat. Keduanya adalah kebodohan menurut tinjauan bahasa, syariat, dan realita (hakekat). Nabi Musa AS berkata,
{أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ}
“Aku berlindung kepada Allah dari termasuk golongan orang-orang bodoh.” (QS. Al-Baqarah [2]: 67) Maksudnya adalah berlindung dari termasuk golongan orang-orang yang mengolok-olok. Beliau mengucapkan hal ini sebagai jawaban dari perkataan kaumnya,
أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا
“Apakah engkau menjadikan kami sebagai bahan olok-olokan?”(QS. Al-Baqarah [2]: 67)
Nabi yang Shiddiq (terpercaya) Yusuf AS berkata,
قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ
Yusuf berkata: “Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku (untuk berzina). Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka berzina) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Yusuf [12]: 33) Maksudnya tentulah aku termasuk golongan orang-orang yang melanggar apa yang Engkau haramkan.
Allah SWT berfirman,
إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ
Sesungguhnya tobat di sisi Allah hanyalah tobat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kebodohan, (QS. An-Nisa’ [4]: 17)
Imam Qatadah berkata, “Seluruh shahabat Rasulullah SAW telah bersepakat bahwa segala hal yang dengannya Allah dimaksiati adalah sebuah kebodohan.”
Ulama lain berkata, “Seluruh shahabat Rasulullah SAW telah bersepakat bahwa siapa pun yang melakukan kemaksiatan kepada Allah adalah orang yang bodoh.” (Madarijus Salikin Syarh Manazilus Sairin, 1/467 karya imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)
Dalam bahasa Arab dan syariat Islam, kebodohan (al-jahlu) adalah lawan kata dari pengetahuan (al-ilmu), juga lawan kata dari sifat santun dan kemampuan mengendalikan diri (al-hilmu). Orang yang mudah marah, tidak sabaran, gegabah, tidak bijaksana dan emosional dalam bahasa Arab dan syariat Islam juga disebut orang bodoh, meskipun ia adalah seorang ulama atau professor doktor yang mumpuni ilmunya. Pengertian ini antara lain disebutkan dalam firman Allah SWT,
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
Dan hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. (QS. Al-Furqan [25]: 63)
Dan dalam sabda Rasulullah SAW,
إِذَا أَصْبَحَ أَحَدُكُمْ يَوْمًا صَائِمًا فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ فَإِنِ امْرُؤٌ شَاتَمَهُ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ إِنِّي صَائِمٌ
Jika salah seorang di antara kalian melakukan shaum pada suatu hari, maka janganlah ia berkata jorok dan jangan pula bertindak bodoh. Jika ada seseorang yang mencaci maki dirinya atau mengganggunua, hendaklah ia menjawab, “Aku sedang shaum, aku sedang shaum.” (HR. Muslim)
Imam An-Nawawi berkata, “Hadits ini melarang dari ar-rafats yaitu perkataan yang kotor dan perkataan yang keji, (dan melarang dari al-jahl). Al-Jahl memiliki makna yang dekat dengan ar-rafats, yaitu tidak bijaksana dan tidak tepat dalam berbicara atau berbuat.” (Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 8/28, karya imam An-Nawawi)
***
Definisi Kebodohan terhadap perkara-perkara akidah
Yang dimaksud dengan kebodohan terhadap perkara-perkara akidah adalah:
a. Seorang mukallaf tidak mengetahui sebuah perkara akidah yang merupakan pokok urusan dalam agama Islam, seperti tidak mengenal Allah, atau tidak mengetahui Allah semata Tuhan Yang berhak diibadahi.
b. Atau seorang mukallaf tidak mengetahui sebagian rincian ibadah sehingga ia menujukan sebagian rincian ibadah tersebut kepada selain Allah.
c. Atau seorang mukallaf tidak mengetahui sebagian nama Allah atau sebagian sifat-Nya.
d. Atau seorang mukallaf tidak mengetahui sebagian permasalahan lain yang berkaitan dengan keimanan. (Masalatul Udzri bil Jahli fi Masailil I’tiqad Dirasah Nazhariyah Ta’shiliyah, hlm. 18 karya syaikh Muhammad bin Abdullah Mukhtar)
***
Antara Jahl Ikhtiyari dan Jahl Idhtirari
Para ulama menyebutkan bahwa kebodohan bisa dikelompokkan menjadi dua:
Pertama, al-jahl al-ikhtiyari
Al-Jahl Al-Ikhtiyari adalah kebodohan yang terjadi karena keteledoran, kemalasan, dan keengganan seorang mukallaf untuk mencari ilmu. Mukallaf dalam hal ini melakukan kesalahan, yaitu malas dan tidak bersungguh-sungguh mencari ilmu tentang akidah dan tauhid. Ia dianggap berpaling dari dalil kebenaran (hujah), sehingga ulama sepakat bahwa ia tidak diberi udzur atas kebodohannya.
Kebodohan ini disebut ikhtiari (atas pilihan dan kehendak sendiri), karena mukallaf memiliki kemampuan untuk menghilangkan kebodohan dirinya dengan cara menuntut ilmu. Sikap dirinya yang tidak menuntut ilmu merupakan pilihan sikapnya sendiri, seakan-akan ia memilih kebodohan dengan tetap mempertahankan kebodohannya dan tidak hendak menghilangkannya. (Kasyrul Asrar, 4/533 karya Al-Bazdawi dan Al-Furuq, 2/149-150 karya Al-Qarafi)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya udzur dalam masalah keyakinan maksudnya bukanlah untuk dipertahankan, justru wajib untuk menghilangkannya sesuai kemampuan. Kalau tidak begitu, tentulah tidak wajib menerangkan (mengajarkan) ilmu dan tentulah lebih baik membiarkan manusia di atas kebodohan mereka, serta tentulah tidak mengungkapkan dalil-dalil dalam perkara-perkara yang samar lebih baik daripada menjelaskannya.” (Majmu’ Fatawa, 20/279-280)
Kedua, al-jahl al-idhtirari
Al-jahl al-idhtirari adalah kebodohan yang dialami oleh seorang mukallaf, sementara ia memiliki keinginan kuat untuk mencari ilmu dan petunjuk kebenaran. Kebodohan jenis ini terjadi karena tidak adanya kemampuan dan kemudahan untuk mencari ilmu. Kebodohan seperti ini memiliki pengaruh terhadap hukum dengan menggugurkan hukuman atas orang yang keliru. Allah SWT berfirman,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS. Al-Baqarah [2]: 286)
Allah SWT telah mengangkat dari seorang muslim (dosa dan hukuman) yang terjadi karena kekeliruan, kelupaan, dan sesuatu yang berada di luar kesanggupannya. (At-Tasyri’ Al-Jinai Al-Islami, 1/431 karya syaikh Abdul Qadir Audah)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Orang mulia yang bersungguh-sungguh (ulama mujtahid) dalam mencari ilmu sesuai apa yang ia dapatkan pada zaman dan pada tempat ia hidup, jika tujuannya adalah mengikuti Rasulullah SAW sesuai kemampuannya, adalah lebih layak jika Allah menerima kebaikan-kebaikannya, memberinya pahala atas kesungguhannya dan tidak menghukumnya atas kekeliruannya, sebagai realisasi dari firman-Nya,
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
(Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. (QS. Al-Baqarah [2]: 286) (Majmu’ Fatawa, 20/165-166 dan Dar’u Ta’arudh Al-Aql wan Naql, 2/315)
Dari penjelasan di atas bisa diambil kesimpulan:
a. Jika kebodohan terjadi karena adanya unsur keteledoran dan tiadanya kesungguhan untuk menuntut ilmu padahal ada kemampuan mencari ilmu, maka kebodohan tersebut tidak menjadi udzur.
b. Adapun jika kebodohan terjadi meski telah ada kemauan dan usaha sungguh-sungguh dalam mencari ilmu, maka kebodohan tersebut menjadi udzur.
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha berkata, “Ulama umat Islam telah sepakat bahwa kebodohan terhadap perkara-perkara agama yang bersifat qath’i dan telah menjadi ijma’ serta merupakan perkara yang telah pasti sebagian bagian ajaran dien Islam (ma’lum minad dien bi dharurah, perkara agama yang telah diketahui oleh semua umat Islam baik ulama maupun orang awam), seperti tauhid, kebangkitan, rukun Islam, haramnya zina dan khamr, bukanlah menjadi udzur bagi orang yang teledor (tidak sungguh-sungguh) dalam mencarinya (mempelajarinya) padahal faktor-faktor pendukung mencari ilmu terpenuhi. Adapun orang yang tidak teledor, seperti orang yang belum lama masuk Islam, atau orang yang hidup di puncak gunung —misalnya— di mana ia tidak menemukan ulama sebagai tempat belajar, maka ia mendapat udzur.” (Majmu’ Bidh’i Rasail Diniyah fil Aqaid Al-Islamiyah, hlm. 41 pada bagian footnote)
Imam Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimi Al-Yamani berkata, “Demikian pula barangsiapa mengucapkan dua kalimat syahadat dan berkomitmen dengan Islam, namun ia tidak mengetahui makna kedua kalimat syahadat secara terperinci, maka keislamannya diteriman. Namun ia tidak diberi udzur jika ia melakukan hal yang membatalkan syahadat. Kecuali jika ia belum lama masuk Islam dan belum memiliki kemampuan untuk belajar, dan ketika dijelaskan kepadanya bahwa ucapannya atau perbuatannya menyelisihi syahadat sehingga ia berhenti darinya…Dan ketahuilah bahwasanya ‘baru masuk Islam’ itu tidak memiliki batasan tertentu, tetapi standar penilaiannya adalah teledor (tidak sungguh-sungguh) atau tidak teledor dalam mencari ilmu. Barangsiapa tidak teledor dari mencari ilmu, maka ia diberi udzur. Adapun barangsiapa teledor, maka ia tidak diberi udzur.” (Raf’ul Isytibah ‘an Ma’nal Ibadah wal Ilah, hlm. 52 karya Imam Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimi Al-Yamani)
Imam Al-Qarafi Al-Maliki berkata, “Kaedah syariat menunjukkan bahwa setiap kebodohan yang bisa ditolak maka tidak menjadi alasan bagi orang yang bodoh. Karena sesungguhnya Allah telah mengutus para rasul-Nya kepada makhluk-Nya dengan risalah-risalah-Nya, dan Allah mewajibkan mereka semua untuk mempelajari risalah-risalah-Nya tersebut, kemudian (Allah mewajibkan mereka semua untuk) mengamalkannya. Mengilmui dan mengamalkannya adalah dua kewajiban. Maka barangsiapa tidak belajar dan tidak mengamalkan serta ia tetap berada dalam kebodohannya, niscaya ia telah melakukan dua kemaksiatan karena ia meninggalkan dua kewajiban.” (Al-Furuq, 4/264 karya imam Al-Qarafi)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun masalah pengkafiran, pendapat yang benar adalah (pendapat yang menyatakan bahwa) barangsiapa dari umat nabi Muhammad SAW yang berijtihad dan menginginkan kebenaran lalu ia keliru, maka ia tidak menjadi kafir, bahkan kekeliruannya dimaafkan. Dan barangsiapa telah jelas baginya ajaran Rasulullah SAW kemudian ia menentang Rasulullah SAW setelah jelas baginya petunjuk dan ia mengikuti jalan selain orang-orang mukmin, maka ia adalah orang yang kafir. Adapun barangsiapa mengikuti hawa nafsunya dan teledor dalam mencari ilmu serta berbicara tanpa landasan ilmu, maka ia adalah pelaku kemaksiatan dan orang yang berdosa. Kemudian, terkadang ia menjadi orang fasik. Dan terkadang ia memiliki kebaikan-kebaikan yang lebih unggul daripada keburukan-keburukannya.”(Majmu’ Fatawa, 12/180)
Imam Ibnu Al-Lahham Al-Hambali berkata, “Orang yang bodoh terhadap sebuah hukum hanya diudzur apabila ia tidak teledor dan tidak meremehkan upaya mempelajari hukum tersebut. Adapun jika ia teledor atau meremehkan, maka secara pasti ia tidak diudzur.”(Al-Qawa’id wal Fawaid Al-Ushuliyah, hlm. 58 karya imam Ibnu Al-Lahham Al-Hambali)
Inilah sebagian perkataan para ulama tentang pembagian kebodohan kepada kebodohan yang diberi udzur dan kebodohan yang tidak diberi udzur. Dari uraian mereka menjadi jelas bahwa standar penilaian sebuah kebodohan sebagai udzur atau bukan udzur adalah:
a. Setiap kebodohan yang bisa dihilangkan dengan belajar dan ada kemampuan untuk belajar: bukanlah udzur.
b. Setiap kebodohan yang bisa dihilangkan dengan belajar dan tidak ada kemampuan untuk belajar: adalah udzur.
***
Kedudukan masalah ini dalam agama Islam
Masalah kebodohan terhadap perkara akidah apakah menjadi udzur atau tidak menjadi udzur merupakan permasalahan fiqih, bukan termasuk pokok-pokok masalah akidah. Permasalahan kebodohan terhadap perkara akidah apakah menjadi udzur atau tidak menjadi udzur dibahas dalam bab kemurtadan (ar-riddah) pada buku-buku fiqih. Sebab tujuan pembahasan tersebut adalah mencari kepastian apakah hujah telah tegak atau belum tegak atas diri mukallaf yang bodoh terhadap sebuah permasalahan tertentu dalam bidang akidah. Barangsiapa tidak mengetahui hukum permasalahan tersebut dan ia bukan orang yang teledor atau lalai dalam menuntut ilmu, maka ia dianggap memiliki udzur. Sebaliknya, barangsiapa tidak mengetahui hukum permasalahan tersebut karena ia teledor atau lalai dalam menuntut ilmu, maka ia dianggap tidak memiliki udzur.
Hal yang lain yang menunjukkan bahwa permasalahan ini adalah permasalahan cabang fiqih, bukan permasalahan pokok-pokok akidah adalah permasalahan ini adalah cara dan sarana untuk mengetahui nama-nama dalam agama (al-asma’, seperti nama: muslim, mukmin, fasik, musyrik, kafir, atau murtad–pent) dan hukum-hukum dalam agama (al-ahkam, seperti: terjaganya nyawa, harta dan kehormatan atau halalnya nyawa, harta, dan kehormatan; bisa mewarisi dan diwarisi atau tidak bisa mewarisi dan diwarisi; boleh menikahi dan dinikahi atau tidak boleh menikahi dan dinikahi—pent).
Karena memvonis seorang muslim dengan vonis kafir, misalnya, karena ia melakukan sebuah kekufuran, menuntut penelitian dan pengkajian tentang kondisi muslim tersebut. Apakah ia memiliki udzur kebodohan karena ia telah berusaha mencari ilmu kebenaran namun tidak mendapatkannya, dan ia bukan orang yang teledor atau meremehkan kewajiban menuntut ilmu? Ataukah ia tidak memiliki udzur kebodohan karena ia meremehkan atau teledor dari kewajiban menuntut ilmu, padahal ia memiliki kesempatan dan kemampuan? Apakah ia memiliki udzur dipaksa yang disertai siksaan keras (al-ikrah) ataukah tidak? Apakah ia memiliki udzur salah memahami dalil (at-ta’wil) ataukah tidak? Apakah ia memiliki udzur kekeliruan dan tiadanya maksud (al-khatha’ atau intifa’ al-qasd) ataukah tidak?
Dengan demikian, permasalahan ini termasuk permasalahan sarana (al-wasail), bukan termasuk permasalahan tujuan dan pokok urusan akidah (al-maqashid dan al-ushul) sehingga orang yang berbeda pendapat tidak divonis sesat, ahli bid’ah, fasik atau kafir. (Masalatul Udzri bil Jahli fi Masailil I’tiqad Dirasah Nazhariyah Ta’shiliyah, hlm. 22-23)
Dengan demikian, permasalahan ini juga termasuk perkara ijtihadiyah, karena permasalahan meremekan atau tidak meremehkan, teledor atau tidak teledor, tidaklah memiliki batasan yang tegas dan baku untuk setiap individu mukallaf. Ia bisa berbeda-beda sesuai perbedaan individu, tempat, dan zaman, sehingga pendapat para ulama pun bisa berbeda-beda dalam menentukannya. (Lihat Naqdhu Asas At-Taqdis hlm. 5 dan Bughyatul Murtaad hlm. 311, keduanya karya Ibnu Taimiyah Al-Harrani dan Thariqul Hijratain wa Babus Sa’adatain, hlm. 611-612 karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)
Oleh karenanya, syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan syaikh Athiyatullah Al-Libi menegaskan bahwa masalah ini termasuk permasalahan fiqih. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata,
“Perbedaan pendapat dalam masalah udzur dengan kebodohan adalah seperti perbedaan-perbedaan pendapat dalam masalah fiqih ijtihadiyah lainnya. Dan terkadang perbedaan tersebut hanya berupa perbedaan lafal dalam sebagian kesempatan guna menerapkan hukum atas seorang individu tertentu. Maksudnya, semua pihak sepakat bahwa perkataan (keyakinan) ini adalah kekafiran, atau perbuatan ini adalah kekafiran, atau meninggalkan perkara ini adalah kekafiran. Namun apakah hukum (vonis kafir) ini telah sesuai untuk seorang individu tertentu karena telah terpenuhinya faktor penentu (terpenuhinya syarat pengkafiran, pent) pada dirinya dan tiadanya penghalang pada dirinya; ataukah hukum tersebut tidak sesuai sesuai untuk seorang individu tertentu tersebut karena belum terpenuhinya beberapa faktor penentu (terpenuhinya syarat pengkafiran, pent) pada dirinya atau adanya beberapa penghalang pada dirinya?” (Syarhu Kasyfi Syubuhat, hlm. 37 karya syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin)
Saat membahas beberapa catatan penting seputar permasalahan udzur dengan kebodohan, syaikh Athiyatullah Al-Libi berkata, “Pertama, ketahuilah bahwa masalah ini termasulah masalah ijtihad yang caranya adalah istinbath (penyimpulan hukum) dan cara mengetahuinya adalah penggalian makna dalil, karena ia bukanlah masalah yang telah disebutkan dalilnya secara nash dalam syariat. Wallahu a’lam.
Perkataan kami bahwa permasalahan ini tidak disebutkan dalilnya secara nash dalam syariat bermakna tidak ada nash terhadap masalah ini secara umum dan sebagai sebuah kaedah, misalnya. Hal ini tidak menegasikan bahwa di dalam nash-nash firman Allah dan sabda Rasulullah SAW terdapat hal yang menunjukkan udzur bagi seseorang tertentu pada suatu keadaan tertentu atau keadaan-keadaan lain. Kemudian nash-nash tersebut yang menuat penunjukan-penunjukan tersebut dipakai dan dijadikan dalil oleh para ulama fiqih, dan dalam mengambil kesimpulan hukum (istimbath) dari keseluruhan (penujukan-penunjukan nash tersebut) terjadilah perbedaan pendapat.
Kedua, oleh karena itu berbeda-berbeda pemahaman para ulama dan beragam ijtihad mereka, dan dalam masalah tersebut muncul pendapat-pendapat ulama yang berbeda-beda yang insya Allah akan kami isyaratkan, seperti halnya masalah-masalah ijtihad dan perbedaan pendapat lainnya.
Kelima, Ketahuilah bahwa masalah ini termasuk masalah fiqih (dengan pengertiannya secara istilah yaitu mengetahui hukum-hukum syariat dalam perkara-perkara ‘amaliyah yang disimpulkan dari dalil-dalil yang terperinci). Hal itu karena masalah ini adalah ‘amaliyah dan cara mengetahuinya adalah dengan menggali penunjukan dalil (istidlal) dan menggali kesimpulan hukum (istinbath) seperti yang tadi kami sebutkan.
Ia berupa fatwa atau keputusan hakim, dan menurut para ulama masalah ia masuk dalam masalah kemurtadan (ar-ridah), yaitu sebuah bab dalam ilmu fikih. Hal ini tidak berarti masalah ini tidak disebutkan dalam pembahasan ilmu akidah dan tauhid, karena tidak samar lagi bahwa masalah ini memiliki kaitan yang erat dengan akidah dan tauhid. Hal ini termasuk bagian dari masuknya satu permasalahan ke dalam beberapa cabang ilmu. Selain itu, setiap hukum syar’i ‘amali memiliki kaitan dengan akidah, yaitu meyakini hukum tersebut. Namun masalah ini lebih spesifik dengan bab fiqih seperti telah saya sebutkan. Baik anda menganggapnya sebagai bagian dari ilmu ini (fiqih) atau ilmu itu (akidah dan tauhid), ia tetap saja termasuk masalah ijtihad.” (Fatwa syaikh Athiyatullah Al-Libi, dimuat dalam situs ana al-muslim)
***
Kebodohan terhadap masalah akidah yang disepakati oleh ulama bukan menjadi udzur
Kebodohan terhadap tauhid dan masalah-masalah akidah tidaklah satu tingkatan, melainkan bertingkat-tingkat. Oleh karenanya ia terbagi menjadi tiga bagian:
a. kebodohan yang disepakati oleh ulama sebagai udzur.
b. kebodohan yang disepakati oleh ulama tidak menjadi udzur.
c. kebodohan yang diperselisihkan oleh para ulama sebagai udzur atau bukan udzur.
Pembagian ini disebabkan karena sebagian kebodohan terjadi karena ada unsur keteledoran atau meremehkan dari mencari ilmu sehingga ia disepakati oleh ulama bukan menjadi udzur. Sebagian kebodohan terjadi meskipun mukallaf telah berusaha untuk mencari ilmu, sehingga ia disepakati oleh ulama sebagai udzur. Ada juga sebagian kebodohan yang berada di antara kedua keadaan tersebut, sehingga diperselisihkan oleh para ulama menjadi udzur atau bukan udzur. (Masalatul Udzri bil Jahli fi Masailil Aqidah Dirasah Nazhariyah Ta’shiliyah, hlm. 26)
Kebodohan terhadap masalah akidah yang disepakati oleh ulama bukan menjadi udzur adalah kebodohan yang kembalinya kepada tidak mengetahui secara global (al-ilmu al-ijmali) makna syahadat Laa Ilaaha Illa Allah Muhammad Rasulullah SAW, karena pengetahuan secara global terhadap makna dua kalimat syahadat adalah syarat sah syahadat.
Kebodohan seperti itu hanya terjadi karena adanya unsure meremehkan atau teledor dari kewajiban menuntut ilmu. Sebagian ulama bahkan berpendapat kebodohan seperti itu tidak ada sama sekali, karena hujah (bukti-bukti dan dakwah kebenaran) atas masalah tersebut telah tegak atas setiap individu.
Para ulama menyebutkan di antara bentuk-bentuk kebodohan yang disepakati tidak menjadi udzur adalah sebagai berikut:
1. Tidak mengetahui hakekat dakwah Nabi Muhammad SAW yang mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah SWT semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Maka ia memperbolehkan beribadah kepada selain Allah atau ia meyakini ada sesuatu makhluk selain Allah yang berhak diibadahi, atau meyakini dan menamakan sesuatu makhluk sebagai Allah (Tuhan) yang berhak diibadahi. Kebodohan seperti ini menurut kesepakatan ulama tidak menjadi udzur. Pelakunya menurut kesepakatan ulama adalah orang kafir murtad dan tidak diberi udzur atas kebodohannya.
Contoh:
- Seorang muslim yang terkena virus sepilis (sekulerisme, pluralisme dan liberalisme) sehingga ia meyakini semua agama baik dan benar. Keyakinan ini berarti mengakui adanya makhluk selain Allah yang berhak diibadahi. Sebab agama selain Islam beribadah kepada selain Allah dan menuhankkan selain Allah. Orang Hindu beribadah kepada para dewa. Orang Budha beribadah kepada manusia (Sidharta Gautama), orang Sinto beribadah kepada matahari. Orang Kristen beribadah kepada Isa bin Maryam, Maria, dan Roh Kudus Yesus. Orang Konghucu beribadah kepada patung-patung dewa. Dan seterusnya. Meyakini semua agama baik dan benar berarti membenarkan peribadatan orang-orang kafir tersebut kepada makhluk selain Allah. Maka ia telah murtad menurut kesepakatan ulama dan tidak berlaku udzur kebodohan bagi dirinya.
- Para filosof yang meyakini makhluk selain Allah boleh diibadahi. Seperti Fakhruddin Ar-Razi, seorang filosof, ulama tafsir dan fiqih yang mengarang buku As-Sirru Al-Maktum fis Sihri wa Mukhathabatin Nujum, di mana ia membolehkan bahkan menganggap baik peribadatan kepada matahari, bulan, bintang, dan benda-benda langit lainnya. Buku tersebut ia tulis sebagai hadiah bagi ibu dari penguasa Daulah Syiah Khawarizm Syah, sultan Alauddin Muhammad bin Laksy bin Jalaluddin Khawarizm Syah. Para ulama sepakat memvonis dirinya murtad dan udzur kebodohan tidak berlaku bagi dirinya (Majmu’ Fatawa, 13/180-181 karya syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
- Kelompok Babiyah, sempalan dari Syi’ah Rafidhah. Pengikut aliran ini meyakini bahwa Mirza Ali Muhammad Ridha asy-Syirazi yang berjuluk al-Bab adalah pencipta segala sesuatu dengan kalimatnya, dialah awal dari segala sesuatu. Mereka meyakini Budha adalah agama yang benar, Konghucu adalah agama langit, Zeroaster adalah agama yang lurus, para tokoh India, Cina dan Persia adalah para nabi.
- Kelompok Syi’ah Saba’iyah menurut kesepakatan ulama adalah orang-orang murtad karena mereka dengan terang-terangan meyakini dan mengakui khalifah Ali bin Abi Thalib RA adalah Rabb yang menciptakan dan memberi mereka rizki. Ali bin Abi Thalib RA telah memerintahkan mereka untuk bertobat, namun mereka tetap bersikeras di atas keyakinan mereka. Maka Ali bin Abi Thalib menghukum mati mereka dengan dibakar di gerbang masuk kota Kindah, Irak pada masa kekhalifahannya. Hadits tentang peristiwa tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Thahir Al-Mukhlis dari Syarik Al-Amiri dengan sanad hasan (Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, 12/270 karya imam Ibnu Hajar Al-Asqalani)
Jika seorang muslim meyakini seorang makhluk sebagai Tuhan Yang menciptakan, memberi rizki, mengatur alam semesta, menghidupkan atau mematikan maka berarti ia mengakui adanya Ilah dan Rabb selain Allah. Ulama sepakat menyatakan orang seperti ini kafir murtad dan tidak berlaku udzur kebodohan bagi dirinya.
- Kelompok Syi’ah Isma’iliyah meyakini bahwa Allah adalah Dzat Yang tidak memiliki sifat kesempurnaan apapun. Mereka meyakini bahwa Allah menciptakan makhluk pertama yang memiliki sifat kesempurnaan, yaitu Al-‘Aql Al-Awwal atau Al-‘Aql Al-Kulli (akal pertama atau akal yang menyeluruh). Mereka meyakini Al-Aql Al-Awwal adalah Maha Esa, Maha Kekal, dan Maha menciptakan seluruh makhluk lainya. Mereka juga meyakini bahwa para imam kelompok Syi’ah Isma’iliyah adalah cahaya Allah, wajah Allah, pinggang Allah, dzat yang akan melakukan perhitungan amal manusia pada hari kiamat dan memasukkan manusia ke surga atau neraka, Dzat Yang Maha Esa, Maha memenuhi seluruh kebutuhan hamba, jalan yang lurus, Al-Qur’an yang mulia, dan sifat-sifat ke-Tuhanan lainnya. Mereka meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib memiliki kedudukan di atas seluruh nabi dan wali, sebab Ali bin Abi Thalib adalah Dzat Yang Maha Esa (Al-Fardhu Al-Ahad), Maha memenuhi seluruh kebutuhan hamba (Ash-Shamad), tiada sekutu baginya dan tiada seorang makhluk pun yang setara dengannya. (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Islami Aqaiduha wa Hukmul Islam Fiha, hlm. 86-89 dan 102-105 karya syaikh Muhammad bin Ahmad Al-Khathib)
Kelompok Syiah Isma’iliyah berhasil mendirikan sebuah negara di Maghrib (Tunisia) kemudian menaklukkan Mesir. Mereka menamakan negaranya secara palsu Daulah Fathimiyah, sedangkan para ulama Islam menamakannya Daulah Ubaidiyah. Para ulama Islam telah sepakat para penguasa Daulah Ubaidiyah adalah orang-orang kafir murtad. (Siyar A’lam An-Nubala’, 15/154-156 karya imam Adz-Dzahabi, Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik, 3/30 karya qadhi Iyadh bin Musa Al-Yahsibi, dan Majmu’ Fatawa, 35/138-139 karya syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
- Kelompok Qaramithah, salah satu cabang dari kelompok Syi’ah Isma’iliyah, memiliki keyakinan yang sama dengan Syi’ah Isma’iliyah. Perbedaannya, kelompok Qaramithah secara terang-terangan menerapkan akidah dan agama Syi’ah Isma’iliyah di negara yang mereka kuasai yaitu Bahrain pada abad 3 dan 4 Hijriyah. Sementara Daulah Ubaidiyah tidak bisa sepenuhnya menerapkan akidah dan agama Syi’ah Ismailiyah di wilayah kekuasaannya, Mesir, karena mayoritas penduduknya adalah ahlus sunnah yang memusuhi Syi’ah Ismailiyah. Sesuai arahan dari raja Daulah Ubaidiyah, Ubaidullah Al-Mahdi kepada raja Qaramithah, Sulaiman bin Said Al-Janabi (Abu Sa’id Al-Janabi), kelompok Qaramithah menerapkan agama Syi’ah Isma’iliyah secara terang-terangan karena kekuatan yang mereka miliki.
Kepada masyarakat, Qaramithah menerapkan doktrin bahwa Al-Aql Al-Awwal atau Al-Aql Al-Kulli adalah Tuhan Yang Maha Sempurna dan Maha menciptakan seluruh makhluk. Mereka meyakini Imam (pemimpin kelompok Qaramithah) adalah penampakan dari Tuhan. Oleh karena itu kelompok Qaramtihah meyakini segala bentuk ibadah dan sifat kesempurnaan harus ditujukan kepada Imam, sebagai hijab dan bab (penghubung dan perantara) dengan Tuhan Yang di langit. ((Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Islami Aqaiduha wa Hukmul Islam Fiha, hlm. 159-161 karya syaikh Muhammad bin Ahmad Al-Khathib).
Para ulama Islam sepakat bahwa kelompok Qaramithah adalah orang-orang murtad dan udzur kebodohan tidak berlaku bagi mereka.
- Kelompok Nushairiyah, sebuah kelompok sempalan dari Syi’ah Isma’iliyah, meyakini bahwa Tuhan Yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan adalah Ali bin Abi Thalib. Oleh sebab itu mereka beribadah kepada Ali bin Abi Thalib. Mereka juga meyakini ketuhanan tiga unsur; Ali bin Abi Thalib, Muhammad bin Abdillah SAW, dan Salman Al-Farisi.
Mereka meyakini Allah secara berturut-turut menampakkan diri-Nya dalam wujud manusia agar dikenali dan diibadahi oleh umat manusia. Menurut keyakinan mereka, Allah menampakkan diri-Nya dalam wujud; Habil putra Adam, kemudian pada diri Syits, kemudian pada diri Sam putra Nuh, kemudian pada diri Ismail putra Ibrahim, kemudian pada diri Harun saudara Musa, kemudian pada diri Sham’un Ash-Shafa yang di kalangan umat Nasrani disebut Petrus, dan terakhir pada diri Ali bin Abi Thalib.
Mereka meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib secara batin adalah Tuhan yang berhak disembah (Ilah) dan secara lahir adalah imam, ia tidak beranak dan tidak diperanakkan, kekal selamanya tidak pernah mati dan tidak pernah dibunuh, tidak makan dan tidak minum, dan ia mengangkat Muhammad bin Abdullah SAW sebagai juru bicara. (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Islami Aqaiduha wa Hukmul Islam Fiha, hlm. 341-354 karya syaikh Muhammad bin Ahmad Al-Khathib)
Maka ulama Islam sepakat bahwa mereka adalah orang-orang murtad dan udzur kebodohan tidak berlaku bagi mereka.
- Kelompok Druz, sebuah kelompok sempalan dari Syi’ah Isma’iliyah, meyakini bahwa Tuhan Yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan adalah Al-Hakim bi Amrillah (Abu Ali Al-Manshur bin Nizar Al-Aziz billah Al-Ubaidi, 375-411 H), raja ketiga Daulah Ubaidiyah jika dihitung dari penguasaan Mesir dan raja keenam Daulah Ubaidiyah jika dihitung dari pendirian negara di Tunisia. Mereka meyakini Al-Hakim bi Amrillah adalah Rabb dan Ilah (Tuhan Yang berhak untuk diibadahi). Mereka meyakini Allah mengambil jasad manusia sebagai penampakan di muka bumi, yaitu Allah menampakkan dirinya di dunia dalam jasad Al-Hakim bi Amrillah agar seluruh umat manusia mengenal dan beribadah kepadanya. (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Islami Aqaiduha wa Hukmul Islam Fiha, hlm. 223-238 karya syaikh Muhammad bin Ahmad Al-Khathib)
Al-Hakim bi Amrillah sendiri juga mengklaim dirinya adalah Tuhan yang berhak diibadahi, walaupun akhirnya ia mencabut klaimnya atas saran para penasehatnya karena khawatir pemberontakan rakyat Mesir terhadapnya. (At-Tarikh Al-Islami, 28/283 dan Siyar A’lam An-Nubala’, 15/173-177 keduanya karya imam Adz-Dzahabi)
Maka ulama Islam sepakat bahwa mereka adalah orang-orang murtad dan udzur kebodohan tidak berlaku bagi mereka.
2. Meyakini ada sebagian manusia yang tidak wajib beribadah kepada Allah. Seorang yang meyakini bahwa sebagian manusia tidak wajib beribadah kepada Allah atau tidak memiliki kewajiban melaksanakan perintah syariat Islam dan meninggalkan larangan syariat Islam, maka para ulama telah sepakat bahwa ia kafir murtad dan udzur kebodohan tidak berlaku baginya. Contoh:
- Kelompok sufi ekstrim yang berpendapat bahwa seorang sufi yang telah menggapai tingkatan (maqam) ma’rifah telah gugur atasnya kewajiban-kewajiban agama, sehingga ia tidak wajib beribadah kepada Allah SWT. Seperti kelompok Hululiyah, Ittihadiyah, dan Wihdatul Wujud dengan tokohnya seperti Al-Hallaj, Muhyiddin Ibnul Arabi, Ibnu Faridh, At-Tilmisani, Ash-Shadr Al-Qaunawi, Ibnu Sab’in, Syamsuddin At-Tibrizi, syaikh Siti Jenar, dan lain-lain.
- Kelompok Nushairiyah yang meyakini bahwa para imam dan pemimpin kelompok mereka telah gugur atas diri mereka kewajiban-kewajiban agama, sehingga mereka tidak wajib beribadah kepada Allah SWT. Menurut keyakinan mereka, semua larangan Islam (seperti berzina, homoseksual, lesbian, minuman keras, dan lain-lain) telah halal bagi mereka dan semua perintah Islam (dua kalimat syahadat, shalat, zakat, shaum Ramadhan, haji, dan lain-lain) telah gugur atas diri mereka.
- Kelompok Druz yang meyakini bahwa rukun Islam yang lima telah gugur atas diri para imam dan anggota kelompok mereka, sehingga mereka tidak wajib beribadah kepada Allah SWT. Menurut keyakinan mereka, semua larangan Islam (seperti berzina, homoseksual, lesbian, minuman keras, dan lain-lain) telah halal bagi mereka dan semua perintah Islam (dua kalimat syahadat, shalat, zakat, shaum Ramadhan, haji, dan lain-lain) telah gugur atas diri mereka. (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Al-Islami, hlm. 276-284)
3. Tidak mengetahui bahwa Allah dan Rasulullah SAW itu dua hal yang berbeda karena nama keduanya disejajarkan dalam dua kalimat syahadat.
Imam Abu Abdillah Mayarah Muhammad bin Ahmad Al-Maliki (wafat 1072 H) dalam bukunya Ad-Durru Ats-Tsamin fi Syarh Al-Mursyid Al-Mu’in menyebutkan bahwa para ulama Bijayah di Magrib (Tunisia) pada abad 11 Hijriyah berkumpul dan melakukan kajian. Di antara permasalahan yang mereka kaji adalah bagaimana pendapat para ulama tentang seseorang yang melakukan amalan-amalan kebaikan bersama masyarakat, namun ia tidak mengetahui benar atau salahnya amalan tersebut, ia tidak mengetahui makna Laa Ilaaha Illa Allah, ia tidak membedakan antara Allah dan Rasul-Nya SAW karena (lafal Allah dan Rasulullah SAW, pent) disejajarkan dalam dua kalimat syahadat?
Para ulama Bijayah menjawab, “Hal ini tidak terjadi kecuali pada penduduk pedalaman (badui) di mana tidak ada ilmu pada mereka.” Sebagian ulama saat itu bertanya, “Jika demikian keadaannya, apakah ia memiliki bagian dalam Islam?” Para ulama yang hadir semuanya menjawab bahwa orang itu dan orang yang sepertinya tidak memiliki bagian apapun dalam Islam.”
Imam Muhammad bin Ismail bin Al-Amir Ash-Shan’ani mengomentari, “Jawaban yang mereka fatwakan tersebut sangat jelas, tidak mungkin ada dua orang yang berselisih pendapat tentangnya.” (Tathirul I’tiqad ‘an Adranil Ilhad, hlm. 74 karya imam Ash-Shan’ani dan Taisirul ‘Azizil Hamid Syarh Kitab Tauhid, hlm. 60 karya syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab)
4. Tidak mengetahui bahwa Dzat Allah dan sifat-Nya berbeda dengan dzat makhluk-Nya atau meyakini Dzat Allah bersatu dengan dzat makhluk-Nya atau meyakini Dzat Allah bersemayam dalam dzat makhluk-Nya. Ulama sepakat menyatakan muslim yang memiliki keyakinan seperti ini telah murtad dan udzur kebodohan tidak berlaku untuk dirinya.
Contoh:
- Kelompok Nushairiyah yang meyakini Dzat Allah bersemayam dalam diri Ali bin Abi Thalib RA. Mereka meyakini bahwa setelah Ali bin Abi Thalib meninggalkan jasad manusianya, ia bersemayam pada bulan atau matahari. Oleh karena itu sebagian kelompok Nushairiyah beribadah kepada bulan (disebut juga kelompok Shimaliyah), dan sebagian kelompok Nushairiyah lainnya beribadah kepada matahari (disebut juga kelompok Kalaziyah). (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Al-Islami, hlm. 323)
- Kelompok Druz yang meyakini Dzat Allah bersemayam dalam diri raja daulah Ubaidiyah Mesir, Al-Hakim bi Amrillah. (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Al-Islami, hlm. 323)
- Kelompok Satria Piningit Weteng Buwono yang meyakini manunggaling wujud (Allah menitis pada jasad pemimpin kelompok ini, yaitu Agus Imam Sholichin) sehingga meyakini tidak ada kewajiban shalat kepada Allah SWT.
- Kelompok sufi ekstrim yang meyakini Allah bersatu dengan jasad makhluk, seperti aliran Ittihadiyah, Al-Hululiyah, dan Wihdatul Wujud. Kelompok Ittihadiyah meyakini ada dua Dzat yang bersatu yaitu Dzat Allah dan dzat makhluk. Kelompok Hululiyah meyakini ada dua dzat, yaitu Dzat Allah dan dzat makhluk, lalu Dzat Allah menempati jasad makhluk-Nya sehingga kedua dzat itu menyatu, namun kedua dzat itu bisa berpisah kembali. Kelompok Wihdatul Wujud meyakini bahwa hanya ada satu dzat, Dzat Allah adalah juga dzat makhluk, sehingga semua makhluk di alam semesta ini adalah Dzat Allah itu sendiri. (At-Takfir wa Dhawabituhu, hlm. 57-58 karya syaikh Safar Al-Hawali)
Qadhi Abu Yusuf meriwayatkan bahwa imam Abu Hanifah berkata, “Tidak ada udzur bagi seorang pun atas kebodohannya (ketidak tahuannya) tentang Sang Penciptanya, karena kewajiban seluruh makhluk adalah mengenal Rabb SWT dan mengesakan-Nya, berdasar apa yang ia lihat berupa penciptaan langit dan bumi, penciptaan dirinya, dan penciptaan seluruh makhluk Allah yang lain. Adapun perintah-perintah agama, maka barangsiapa belum mengetahuinya dan ilmunya belum sampai kepada dirinya, maka hujah secara hukum belum tegak atas dirinya.” (Badai’u ash-Shanai’ fi Tartibis Syarai’, 9/521 karya imam ‘Alauddin Al-Kasani Al-Hanafi)
Imam Ibnu Hazm Azh-Zhahiri berkata, “Adapun orang yang mengatakan bahwa Allah adalah si fulan yaitu seseorang tertentu, atau ia menyatakan bahwa Allah bersemayam (menyatu) dengan jasad seorang makhluk-Nya, atau ia menyatakan sepeninggal Nabi Muhammad SAW ada seorang nabi selain Isa bin Maryam, niscaya tidak ada dua orang pun yang berselisih dalam mengkafirkan orang tersebut, karena secara sah hujah atas setiap masalah tersebut telah tegak atas setiap orang.” (Al-Fashl fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal, 3/293 karya Imam Ibnu Hazm Azh-Zhahiri)
Imam Al-Anshari Muhammad bin Nizhamuddin Al-Hindi Al-Hanafi saat menjelaskan tentang kebodohan yang bisa menjadi udzur dan kebodohan yang tidak biisa menjadi udzur, mengatakan, “Kebodohan yang tidak bisa menjadi udzur dalam keadaan apapun, tidak di dunia tidak pula di akhirat, dan tidak menjadi syubhat pula, adalah seperti kebodohan orang kafir terhadap Dzat Allah dan Rasul-Nya, karena bukti-bukti yang menunjukkan atas keesaan (Allah), sifat-sifat (Allah), dan kerasulan baik berupa alam semesta maupun mu’jizat (para nabi dan rasul, pent) sangat jelas. Sehingga ia telah termasuk perkara dharuriyat (kepastian) yang sangat terang, maka mengingkari perkara-perkara yang telah pasti (dharuriyat) adalah kesombongan, sehingga tidak diperhitungkan dan tidak dijadikan udzur.”(Fawatihur Rahmaut Syarh Musallam Ats-Tsubut karya imam Al-Anshari Al-Hanafi, dalam catatan pinggir Al-Musthasfa fi Ushulil Fiqh, 2/387)
5. Tidak mengetahui bahwa nabi Muhammad bin Abdullah SAW adalah penutup seluruh nabi dan rasul, dan syariat beliau adalah syariat terakhir untuk seluruh manusia dan jin sampai hari kiamat. Ulama sepakat bahwa seorang muslim yang mengklaim dirinya sebagai nabi sepeninggal Rasulullah SAW atau ia membenarkan klaim kenabian seseorang sepeninggal Rasulullah SAW, maka orang tersebut telah kafir murtad dan udzur kebodohan tidak berlaku atas dirinya.
Contoh:
- Pengikut agama Salamullah yang membenarkan klaim Lia ‘Eden’ Aminuddin bahwa malaikat Jibril menyampaikan wahyu kepadanya.
- Pengikut agama Ahmadiyah atau Qadiyaniyah yang meyakini Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi yang menerima wahyu dari Allah dan memiliki kitab suci tersendiri yaitu At-Tadzkirah.
- Kelompok Nushairiyah meyakini pendiri kelompok mereka, Muhammad bin Nushair An-Numairi (mati tahun 270 H), adalah nabi yang menerima wahyu Allah. (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Al-Islami, hlm. 261-266)
- Kelompok Druz yang meyakini tokoh kelompok mereka Hamzah bin Ali bin Ahmad Az-Zuzuni (mati tahun 431 H) adalah nabi yang menunjukkan umat manusia untuk beribadah kepada Al-Hakim bi Amrillah, sekaligus sebagai malaikat yang menurunkan wahyu Al-Qur’an kepada nabi Muhammad SAW, penghapus syariat seluruh nabi, yang mematikan dan membangkitkan seluruh manusia, bahkan Tuhan sebab ia adalah Al-Aql Al-Kulli. (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Al-Islami, hlm. 261-266)
- Ahmad Mushaddiq yang mengklaim dirinya adalah nabi yang menerima wahyu dari Allah setelah bertapa di gunung Bunder dan para pengikutnya yang membenarkan ajarannya.
- Mirza Ali Mohammad Ridha Ash-Shirazi. Pendiri agama Babisme dan penganut Syiah yang mengklaim sebagai nabi, dihukum mati oleh pemerintah Iran tahun 1843.
- Mirza Husein Ali. Pendiri agama Bahaisme (pengganti Babisme) dan penganut Syiah. Mengaku Nabi tahun 1862 dan mati tahun 1892, kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Abbas Efendy yang berpusat di Chicago.
***
Inilah sebagian bentuk kebodohan yang disepakati oleh ulama tidak menjadi udzur bagi seorang muslim. Dalil-dalil dari Al-Qur’an, as-sunnah, dan ijma’ atas hal-hal di atas sudah sangat terkenal dan dipaparkan panjang lebar oleh para ulama dalam buku-buku akidah.
Insya Allah pada kajian selanjutnya kita akan membahas kebodohan yang disepakati oleh ulama menjadi udzur bagi seorang muslim dan kebodohan yang diperselisihkan oleh para ulama apakah menjadi udzur atau bukan. Wallahu a’lam bish-shawab.
Bersambung, insya Allah ….
(muhib almajdi/arrahmah.com)