(Arrahmah.com) – Dalam artikel “Dalil-dali Syar’i Kebodohan Sebagai udzur Dalam Pengkafiran bagian 1 dan bagian 2“, kita telah menguraikan dalil-dalil syar’i dari Al-Qur’an yang menjadi landasan pendapat kelompok ulama yang memberlakukan udzur kebodohan dalam perkara-perkara (kufur akbar, syirik akbar dan tauhid) yang diperselisihkan. Pada artikel “Dalil-dali Syar’i Kebodohan Sebagai udzur Dalam Pengkafiran bagian 3” ini, kita akan menguraikan lebih lanjut dalil-dalil syar’i dari hadits shahih yang menjadi landasan pendapat mereka.
[2] Dalil-dalil dari As-sunnah
Hadits pertama:
Hadits tentang laki-laki yang banyak dosa dan jenazahnya dibakar
Hadits tersebut diriwayatkan oleh para ulama hadits dari jalur Abu Hurairah, Abu Sa’id Al-Khudri, Hudzaifah bin Yamah, Uqbah bin Amru, Abdullah bin Mas’ud dan banyak sahabat lainnya radiyallahu ‘anhum. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu Al-Wazir Al-Yamani menyatakan hadits tersebut mutawatir. Berikut ini jalur periwayatan yang disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: ” كَانَ رَجُلٌ يُسْرِفُ عَلَى نَفْسِهِ فَلَمَّا حَضَرَهُ المَوْتُ قَالَ لِبَنِيهِ: إِذَا أَنَا مُتُّ فَأَحْرِقُونِي، ثُمَّ اطْحَنُونِي، ثُمَّ ذَرُّونِي فِي الرِّيحِ، فَوَاللَّهِ لَئِنْ قَدَرَ عَلَيَّ رَبِّي لَيُعَذِّبَنِّي عَذَابًا مَا عَذَّبَهُ أَحَدًا، فَلَمَّا مَاتَ فُعِلَ بِهِ ذَلِكَ، فَأَمَرَ اللَّهُ الأَرْضَ فَقَالَ: اجْمَعِي مَا فِيكِ مِنْهُ، فَفَعَلَتْ، فَإِذَا هُوَ قَائِمٌ، فَقَالَ: مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا صَنَعْتَ؟ قَالَ: يَا رَبِّ خَشْيَتُكَ، فَغَفَرَ لَهُ “
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Pada zaman dahulu ada seorang laki-laki yang selalu berbuat dosa. Tatkala ia akan menjemput kematian, ia berpesan kepada anak-anaknya: ‘Jika aku telah mati, maka bakarlah jenazahku, lalu tumbuklah arang jenazahku dan taburkan abunya (di laut, menurut lafal Muslim) pada saat angin bertiup kencang. Demi Allah, jika Allah mampu membangkitkan diriku, tentulah Rabbku akan menyiksaku dengan siksaan pedih yang belum pernah ditimpakan kepada seorang pun.”
Ketika orang itu mati, pesannya dilaksanakan oleh anak-anaknya. Maka Allah memerintahkan kepada bumi, “Kumpulkanlah abu jenazahnya yang ada padamu!” Bumi pun melaksanakan perintah Allah, sehingga laki-laki itu pun kembali berdiri secara utuh. Allah bertanya, “Kenapa kamu melakukan tindakan seperti itu?” Laki-laki itu menjawab, “Wahai Rabbku, karena rasa takutku kepada-Mu.” Maka Allah mengampuni laki-laki itu. (HR. Bukhari no. 3481 dan Muslim no. 2756)
Riwayat Hudzaifah bin Yaman dan Uqbah bin Amru radhiyallahu ‘anhuma:
قَالَ حُذَيْفَةُ: وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: إِنَّ رَجُلًا حَضَرَهُ المَوْتُ، فَلَمَّا يَئِسَ مِنَ الحَيَاةِ أَوْصَى أَهْلَهُ: إِذَا أَنَا مُتُّ فَاجْمَعُوا لِي حَطَبًا كَثِيرًا، وَأَوْقِدُوا فِيهِ نَارًا، حَتَّى إِذَا أَكَلَتْ لَحْمِي وَخَلَصَتْ إِلَى عَظْمِي فَامْتُحِشَتْ، فَخُذُوهَا فَاطْحَنُوهَا، ثُمَّ انْظُرُوا يَوْمًا رَاحًا فَاذْرُوهُ فِي اليَمِّ، فَفَعَلُوا، فَجَمَعَهُ اللَّهُ فَقَالَ لَهُ: لِمَ فَعَلْتَ ذَلِكَ؟ قَالَ: مِنْ خَشْيَتِكَ، فَغَفَرَ اللَّهُ لَهُ ” قَالَ عُقْبَةُ بْنُ عَمْرٍو: وَأَنَا سَمِعْتُهُ يَقُولُ ذَاكَ: وَكَانَ نَبَّاشًا
Dari Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku juga mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “(Pada zaman dahulu) ada seorang laki-laki yang tengah menghadapi kematian. Saat ia telah putus asa dari hidupnya (yakin tak lama lagi akan mati, pent) maka ia berwasiat kepada keluarganya: ‘Jika aku telah mati, maka kumpulkanlah kayu bakar yang banyak, nyalakanlah api padanya! Sehingga jika api telah memakan dagingku, mencapai tulangku dan tulangku tinggal arang, maka pungutlah ia dan tumbuklah! Lalu tunggulah hari di mana angin bertiup kencang, maka taburkanlah abu jasadku pada angin!”
Keluarganya melaksanakan wasiat itu. Maka Allah menyatukan jasadnya kembali dan bertanya kepadanya (di akhirat), “Kenapa engkau melakukan hal itu?” Laki-laki itu menjawab, “Rasa takut kepada-Mu.” Maka Allah mengampuni laki-laki itu.
Sahabat Uqbah bin Amru berkata: “Saya juga mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam menyabdakan seperti itu. Dan laki-laki itu adalah orang yang biasa membongkar makam orang yang telah mati (untuk mengambil perhiasan atau pakaian si mayat, pent).”(HR. Bukhari no. 3452 dan Muslim no. 2934-2935 dengan lafal Bukhari)
Riwayat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّ رَجُلًا كَانَ قَبْلَكُمْ، رَغَسَهُ اللَّهُ مَالًا، فَقَالَ لِبَنِيهِ لَمَّا حُضِرَ: أَيَّ أَبٍ كُنْتُ لَكُمْ؟ قَالُوا: خَيْرَ أَبٍ، قَالَ: فَإِنِّي لَمْ أَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ، فَإِذَا مُتُّ فَأَحْرِقُونِي، ثُمَّ اسْحَقُونِي، ثُمَّ ذَرُّونِي فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ، فَفَعَلُوا، فَجَمَعَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ، فَقَالَ: مَا حَمَلَكَ؟ قَالَ: مَخَافَتُكَ، فَتَلَقَّاهُ بِرَحْمَتِهِ “
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Pada umat sebelum kalian ada seorang laki-laki yang dikaruniai oleh Allah harta yang melimpah. Ketika ia tengah menghadapi kematian, ia bertanya kepada anak-anaknya: “Bapak seperti apakah aku ini bagi kalian?” Mereka menjawab: “Engkau adalah sebaik-baik bapak bagi kami.” Laki-laki itu berkata: “Aku belum pernah melakukan satu pun amal kebaikan. Maka jika aku mati, bakarlah jenazahku, lalu tumbuklah arang jasadku dan taburkanlah abu jasadku pada hari yang angin bertiup kencang.”
Anak-anaknya melaksanakan wasiat itu. Maka Allah menyatukan jasadnya kembali dan bertanya kepadanya (di akhirat), “Kenapa engkau melakukan hal itu?” Laki-laki itu menjawab, “Rasa takut kepada-Mu.” Maka Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada laki-laki itu. (HR. Bukhari no. 3478 dan Muslim no. 2757)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan hadits ini dengan mengatakan:
“Orang ini menyangka bahwa Allah tidak mampu atas dirinya jika ia telah tercerai-berai seperti itu, ia menyangka bahwa Allah tidak akan (mampu) mengembalikannya jika ia telah menjadi seperti itu (debu yang tercerai-berai dibawa angin, pent). Masing-masing sikap mengingkari kemampuan Allah dan mengingkari pengembalian badan meskipun badan tersebut telah tercerai-berai merupakan sebuah kekafiran.
Namun demikian, disamping orang ini masih memiliki keimanan kepada Allah, keimanan kepada perintah-Nya dan rasa takut kepada-Nya, ia bodoh (tidak mengetahui) perkara tersebut, tersesat dalam persangkaan ini dan keliru. Maka Allah mengampuninya.
Hadits ini tegas menunjukkan bahwa orang tersebut sangat ingin jika Allah tidak akan mengembalikan jasadnya jika ia telah melakukan hal itu (pembakaran jasad dan penaburan abunya pada saat angin bertiup kencang, pent). Minimalnya, orang tersebut ragu-ragu terhadap kebangkitan. Dan hal itu merupakan sebuah kekafiran —jika orang yang mengingkari kebangkitan telah tegak atas dirinya hujah kenabian maka ia divonis kafir—, itu jelas menunjukkan tiadanya keimanan kepada Allah Ta’ala.” (Majmu’ Fatawa, 11/409-410)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata: “Paling jauh, orang ini adalah orang yang tidak mengetahui seluruh sifat yang menjadi hak Allah, dan lebih detailnya ia tidak mengetahui bahwa Allah itu Maha Berkuasa (Maha Mampu). Banyak kaum mukmin yang tidak mengetahui hal seperti ini, maka ia tidak menjadi kafir (dengan ketidak tahuannya tersebut).”(Majmu’ Fatawa, 11/411)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata:
“Hadits ini mutawatir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, diriwayatkan oleh para perawi hadits dan sanad dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri, Hudzaifah bin Yaman, Uqbah bin Amru dan lain-lain radhiyallahu ‘anhum dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dari banyak jalur, yang mana para ulama hadits mengetahui bahwa riwayat-riwayat tersebut memberi faedah ilmu yang yakin, meskipun ilmu yang yakin tersebut tidak diperoleh oleh para ulama lain yang tidak turut serta dengan mereka dalam sarana-sarana ilmu (hadits).
Orang ini telah mengalami keragu-raguan dan kebodohan (ketidak tahuan) tentang qudrah (kemampuan) Allah Ta’ala untuk mengembalikan manusia (hidup setelah mati), setelah ia dibakar dan ditebarkan abu jasadnya, dan bahwa Allah mengembalikan orang yang telah mati dan mengumpulkannya kembali meskipun ia telah melakukan tindakan (pembakaran dan penaburan abu jasad) tersebut.
Ini merupakan dua pokok perkara yang agung:
Pertama, berkaitan dengan (iman kepada) Allah Ta’ala, yaitu mengimani bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Kedua, berkaitan dengan hari akhir, yaitu mengimani bahwa Allah Ta’ala akan mengembalikan orang yang telah mati tersebut dan Allah akan membalas amal perbuatannya.
Meskipun demikian, karena orang tersebut beriman kepada Allah secara global dan beriman kepada hari akhir secara global, yaitu meyakini bahwa Allah Ta’ala akan memberinya balasan dan menghukumnya setelah ia mati, dan ia juga telah melakukan amalan shalih —yaitu rasa takutnya kepada Allah jika Allah akan menghukumnya atas dosa-dosanya— maka Allah mengampuni dirinya disebabkan oleh keimanannya kepada Allah, keimanannya kepada hari akhir dan amal shalih yang ia kerjakan.”(Majmu’ Fatawa, 12/491)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata:
“Imam Al-Khathabi berkata: “Hadits ini dianggap membingungkan, sehingga ditanyakan (oleh sebagian ulama) bagaimana orang itu diampuni padahal ia mengingkari kebangkitan dan kemampuan (Allah) untuk menghidupkan orang-orang yang telah mati? Jawaban atas pertanyaan ini adalah bahwa orang itu tidak mengingkari kebangkitan. Namun ia tidak mengetahui (bodoh) sehingga ia mengira jika mayatnya diperlakukan seperti itu niscaya ia tidak akan dibangkitkan, sehingga ia tidak akan diazab. Keimanan orang itu telah nampak dengan adanya pengakuan dirinya bahwa ia melakukan hal itu karena rasa takutnya kepada Allah.
Imam Ibnu Qutaibah berkata: “Kaum tertentu dari kaum muslimin terkadang keliru dalam masalah sebagian sifat Allah, namun mereka tidak kafir karena kekeliruan tersebut.”(Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, 6/522)
Imam Ibnu Abdil Barr Al-Maliki berkata:
“Adapun kebodohan (ketidak tahuan) laki-laki yang disebutkan dalam hadits ini terhadap salah satu sifat Allah yaitu tentang ilmu dan ketetapan-Nya maka hal itu tidaklah mengeluarkannya dari keimanan. Tidakkah Anda melihat bahwa Umar bin Khathab, Imran bin Hushain dan sekelompok sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam tentang takdir (ketentuan Allah). Sudah sama diketahui bahwa mereka menanyakan hal itu karena mereka tidak mengetahuinya. Tidak boleh (mungkin) menurut seorang muslim pun bahwa akibat pertanyaan tersebut para sahabat tersebut menjadi orang-orang kafir atau saat mereka bertanya tersebut maka mereka bukan orang-orang yang beriman.
(Beliau lalu menyebutkan hadits yang menyatakan bahwa Imran bin Husain, Abdullah bin Amru bin Ash dan para sahabat lainnya bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam tentang takdir)
Mereka, para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam adalah para ulama yang mulia, mereka bertanya tentang takdir sebagai pertanyaan orang yang mencari ilmu dan tidak mengetahui (bodoh), bukan pertanyaan orang yang menentang dan membangkang. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengajarkan kepada mereka hal yang belum mereka ketahui dalam masalah tersebut. Kebodohan (tidak tahuan) mereka sebelum mereka mengetahuinya tidaklah membahayakan mereka.
Seandainya kebodohan (ketidak tahuan) mereka terhadap masalah tersebut tidak diperbolehkan dalam satu waktu pun, niscaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam akan mengajarkannya kepada mereka bersamaan dengan syahadat keimanan, sehingga hal tersebut diwajibkan kepada mereka saat mereka masuk Islam dan beliau akan menjadikannya sebagai pilar (rukun) Islam yang keenam.” (At-Tamhid li-maa fil Muwatha’ minal Ma’ani wal Asanid, 18/46-47)
Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi Azh-Zhahiri, “Ini adalah orang yang sampai matinya tidak mengetahui (bodoh) bahwa Allah Ta’ala mampu mengumpulkan abu jasadnya dan menghidupkannya kembali, maka Allah mengampuninya karena pengakuannya, rasa takutnya dan kebodohannya.”(Al-Fashl fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal, 3/296)
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata, “Kufur juhud (kafir karena mengingkari) itu ada dua macam: kufur mutlak yang umum dan kufur muqayyad (terbatas) yang khusus.
Kufur mutlak adalah ia mengingkari keseluruhan apa (wahyu) yang Allah turunkan dan bahwa Allah mengutus rasul-Nya.
Kufur muqayyad yang khusus adalah ia mengingkari salah satu kewajiban dalam Islam atau mengingkari keharaman sesuatu yang diharamkan dalam Islam, atau mengingkari salah satu sifat yang Allah mensifati diri-Nya dengan sifat tersebut, atau mengingkari salah satu berita yang Allah beritahukan, baik secara sengaja maupun karena mendahulukan pendapat seorang yang menyelisihi (berita tersebut) karena suatu tujuan tertentu.
Adapun mengingkari hal itu karena ketidak tahuan, atau karena ta’wil yang pelakunya diberi udzur dengannya, maka pelakunya tidak dikafirkan karenanya. Seperti hadits orang yang mengingkari kemampuan Allah Ta’ala dan ia memerintahkan keluarganya untuk membakarnya dan menaburkan abu jasadnya saat angin bertiup kencang. Meski demikian Allah mengampuninya dan merahmatinya karena kebodohannya, karena hal yang ia kerjakan tersebut adalah batas maksimal pengetahuannya, dan ia tidak mengingkari kemampuan Allah untuk mengembalikan dirinya karena faktor penentangan atau pendustaan (terhadap sifat Allah, pent).”(Madarijus Salikin Syarh Manazilus Sairin, 1/347-348)
Imam Ibnu Al-Wazir Al-Yamani mengatakan: “Orang ini mendapatkan rahmat disebabkan oleh kebodohannya, keimanannya kepada Allah dan hari pengembalian (kebangkitan), oleh karena itu ia takut terhadap hukuman Allah. Adapun kebodohannya terhadap kemampuan Allah dalam melakukan hal yang ia duga sesuatu yang mustahil tidaklah menjadi sebuah kekufuran kecuali jika ia mengetahui bahwa para nabi telah datang dengan (menerangkan) masalah tersebut dan bahwa hal tersebut adalah hal yang mungkin dan dalam batas kemampuan Allah, lalu ia mendustakan para nabi tersebut atau salah seorang di antara nabi. Berdasar firman Allah,
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا
Dan Kami tidak akan mengazab (seorang pun) sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS. Al-Isra’ [17]: 15)
Hadits ini merupakan hadits yang paling memberi harapan bagi orang yang keliru dalam melakukan ta’wil.” (Itsarul Haqq ‘alal Khalqi, hlm. 436)
Kesimpulan yang bisa diambil dari hadits di atas dan penjelasan para ulama terhadapnya:
a. Perbuatan orang tersebut adalah kufur akbar karena ia ragu-ragu atau bahkan mengingkari kemampuan Allah Ta’ala untuk menghidupkannya kembali setelah ia dibakar dan abu jasadnya ditaburkan pada angin yang bertiup kencang di lautan. Namun laki-laki ini mendapatkan udzur karena kebodohannya yang menggiringnya kepada persangkaan yang buruk tersebut.
b. Laki-laki tersebut memiliki pokok (ashlu) keimanan, seperti disebutkan secara jelas dalam lafal hadits dan penjelasan para ulama terhadapnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Meskipun demikian, karena orang tersebut beriman kepada Allah secara global dan beriman kepada hari akhir secara global, yaitu meyakini bahwa Allah Ta’ala akan memberinya balasan dan menghukumnya setelah ia mati, dan ia juga telah melakukan amalan shalih —yaitu rasa takutnya kepada Allah jika Allah akan menghukumnya atas dosa-dosanya— maka Allah mengampuni dirinya disebabkan oleh keimanannya kepada Allah, keimanannya kepada hari akhir dan amal shalih yang ia kerjakan.” (Majmu’ Fatawa, 12/491)
Imam Al-Khathabi berkata: “Keimanan orang itu telah nampak dengan adanya pengakuan dirinya bahwa ia melakukan hal itu karena rasa takutnya kepada Allah.” (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, 6/522)
Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi, “…maka Allah mengampuninya karena pengakuannya, rasa takutnya dan kebodohannya.” (Al-Fashl fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal, 3/296)
Catatan terkait makna hadits di atas:
Kelompok ulama yang berpendapat bahwa dalam masalah syirik akbar pada perkara-perkara yang diperselisihkan ini tidak berlaku sama sekali udzur kebodohan, maka mereka menyatakan hadits ini tidak bisa dijadikan dalil bagi udzur kebodohan dalam masalah (syirik akbar, tauhid) yang diperselisihkan. Secara umum mereka berargumen dengan tiga alasan:
a. Mereka menyatakan hadits ini berkaitan dengan kufur akbar, bukan dengan syirik akbar. Selain itu, mereka membawakan riwayat imam Ahmad yang menunjukkan bahwa orang tersebut adalah orang yang bertauhid. Dalam riwayat dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata:
أَنَّ رَجُلًا لَمْ يَعْمَلْ مِنَ الْخَيْرِ شَيْئًا قَطُّ إِلَّا التَّوْحِيدَ، فَلَمَّا حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ، قَالَ لِأَهْلِهِ: إِذَا أَنَا مِتُّ، فَخُذُونِي وَاحْرُقُونِي، حَتَّى تَدَعُونِي حُمَمَةً، ثُمَّ اطْحَنُونِي، ثُمَّ اذْرُونِي فِي الْبَحْرِ، فِي يَوْمٍ رَاحٍ، قَالَ: فَفَعَلُوا بِهِ ذَلِكَ، قَالَ: فَإِذَا هُوَ فِي قَبْضَةِ اللهِ، قَالَ: فَقَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ: مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا صَنَعْتَ؟ قَالَ: مَخَافَتُكَ، قَالَ: فَغَفَرَ اللهُ لَهُ “
Dahulu kala ada seorang laki-laki yang belum melakukan suatu amal kebaikan sama sekali kecuali tauhid. Ketika kematian hampir menjemputnya, dia berpesan kepada keluarganya: “Jika aku mati, maka bawalah jenazahku dan bakarlah, sehingga jika kalian telah menjadikanku arang belaka, maka tumbuklah arang jenazahku lalu taburkanlah abu jenazahku di lautan, pada hari yang angin bertiup dengan kencang!”
Maka mereka pun mengerjakan pesan itu. Ternyata ia kembali berada dalam genggaman Allah (dibangkitkan di hadapan Allah pada hari kiamat). Maka Allah bertanya kepadanya, “Apa yang mendorongmu melakukan hal itu?” Laki-laki itu menjawab, “Rasa takut kepada-Mu.” Maka Allah pun mengampuni laki-laki itu. (HR. Ahmad no. 3785 dan Abu Ya’la no. 5105, dengan sanad hasan, sanadnya mauquf namun memiliki hukum marfu’)
b. Mereka mengajukan beberapa ta’wil yang mengeluarkan makna hadits pembakaran jenazah orang yang banyak dosa ini dari zhahirnya. Di antaranya:
– Mereka menakwilkan lafal hadits Jika Allah mampu (untuk membangkitkan atas) aku niscaya Dia akan mengazabku dengan makna Jika Allah menyempitkan atasku, niscaya Dia akan mengazabku.
– Mereka menakwilkan lafal tersebut dengan makna jika Allah menakdirkan azab atasku, niscaya Dia akan mengazabku.
c. Mereka menyatakan bahwa saat orang tersebut memerintahkan kepada anak-anaknya untuk membakar jasadnya dan menaburkan abu jasadnya saat ia mati, sebenarnya kondisi orang tersebut dalam keadaan seperti orang lupa, orang tak sadar, atau orang yang keseleo lidah karena terlalu kuatnya rasa takut kepada Allah Ta’ala.
Mereka menganalogikan hal itu seperti halnya hadits tentang seorang musafir yang kehilangan unta dan seluruh perbekalannya sampai ia putus asa dan tertidur. Saat ia bangun kembali, ternyata unta dan seluruh perbekalannya tersebut telah berada di hadapannya kembali. Ia terlalu gembira, sampai keseleo lidah dan mengatakan: “Wahai Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabbmu.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Pendapat yang paling kuat menyatakan bahwa orang tersebut mengatakan hal itu dalam keadaan kengerian dan ketakutan yang terlalu menguasai dirinya, sampai-sampai akalnya hilang, ia tidak menyadari apa yang ia katakan, dan ia tidak mengatakannya dengan memaksudkan makna yang sebenarnya. Justru ia berada dalam keadaan seperti orang yang lalai, hilang kesadaran dan orang yang lupa sehingga ia tidak dihukum atas apa yang dilakukannya.”(Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, 6/523)
Tanggapan kelompok ulama yang memberi udzur:
Kelompok ulama yang berpendapat dalam masalah syirik akbar pada perkara-perkara yang diperselisihkan ini juga berlaku udzur kebodohan, maka secara umum mereka menjawab argumentasi di atas sebagai berikut:
Pertama, Membedakan antara kufur akbar dan syirik akbar bukanlah hal yang disepakati oleh para ulama. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa syirik akbar dan kufur akbar itu berbeda; setiap syirik akbar pasti kufur akbar, tapi tidak setiap kufur akbar adalah syirik akbar. Adapun imam Syafi’i berpendapat kufur akbar dan syirik akbar itu dua hal yang sama saja, tidak ada perbedaan antara keduanya. Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi dalam tahqiq-nya menjelaskan pendapat imam Syafi’i-lah yang lebih benar, berdasar nash-nash Al-Qur’an dan hadits shahih. (Lihat Al-Fashl fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal, 3/264 dst).
Kitab-kitab akidah para ulama salaf juga tidak membeda-bedakan antara kufur akbar dan syirik akbar. Perbedaan pendapat imam Abu Hanifah dan imam Syafi’i dalam hal itu pun bukanlah perbedaan pendapat dalam perkara pokok tauhid dan pokok iman, sehingga orang yang berbeda pendapat dalam hal itu tidak divonis fasik, ahli bid’ah, atau tidak bertauhid. Para ulama salaf dan ulama-ulama setelah mereka juga tidak membesar-besarkan perbedaan tersebut. Bahkan boleh dikata mereka tidak menyinggung-nyinggungnya dalam buku-buku mereka, karena manfaatnya tidak besar.
Salah satu syarat pokok dari keislaman, keimanan dan tauhid adalah meyakini kehidupan akhirat. Tidak meyakini hari kebangkitan di akhirat disebut kufur takdzib, sedangkan ragu-ragu tentang kebangkitan di akhirat disebut kufur syak. Baik kufur takdzib maupun kufur syak adalah kufur akbar, jika terdapat pada diri seseorang maka ia tidak disebut sebagai orang muslim, orang mukmin atau orang bertauhid, meskipun ia hanya beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan selain-Nya.
Justru beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan selain-Nya tidaklah bisa dipisahkan dengan keyakinan kepada kebangkitan di akhirat. Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan Yang berhak kalian sembah itu adalah Tuhan Yang Esa.” Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.“(QS. Al-Kahfi [18]: 110)
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian yaitu bagi orang yang mengharap (ridha dan rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.(QS. Al-Ahzab [33]: 21)
وَالَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَنْ يَكُنِ الشَّيْطَانُ لَهُ قَرِينًا فَسَاءَ قَرِينًا (38) وَمَاذَا عَلَيْهِمْ لَوْ آمَنُوا بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقَهُمُ اللَّهُ وَكَانَ اللَّهُ بِهِمْ عَلِيمًا (39)
Dan juga orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari akhir. Barangsiapa yang mengambil setan itu menjadi temannya, maka setan itu adalah teman yang seburuk-buruknya.
Apakah kemudaratannya bagi mereka, kalau mereka beriman kepada Allah dan hari akhir dan menafkahkan sebahagian rezeki yang telah diberikan Allah kepada mereka? Dan adalah Allah Maha Mengetahui keadaan mereka. (QS. An-Nisa’ [4]: 38-39)
Allah Ta’ala menyatakan salah satu ciri utama orang musyrik adalah tidak mengimani hari akhir. Allah Ta’ala berfirman:
وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ (6) الَّذِينَ لَا يُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ بِالْآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ (7)
“Maka kecelakaan untuk orang-orang musyrik. Yaitu orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir terhadap hari akhirat.” (QS. Fushilat [41]: 6-7)
Allah Ta’ala menyamakan kufur syak (contohnya ragu-ragu kepada kebangkitan pada hari akhir) dengan syirik akbar. Misalnya dalam firman Allah Ta’ala:
وَدَخَلَ جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ قَالَ مَا أَظُنُّ أَنْ تَبِيدَ هَذِهِ أَبَدًا (35) وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَى رَبِّي لَأَجِدَنَّ خَيْرًا مِنْهَا مُنْقَلَبًا (36) قَالَ لَهُ صَاحِبُهُ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ سَوَّاكَ رَجُلًا (37) لَكِنَّا هُوَ اللَّهُ رَبِّي وَلَا أُشْرِكُ بِرَبِّي أَحَدًا (38)
Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri. Ia berkata: “Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku di kembalikan kepada Rabbku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu.”
Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya: “Apakah kamu kafir kepada (Allah) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna? Tetapi aku beriman bahwa Dialah Allah, Rabbku, dan aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Rabbku. (QS. Al-Kahfi [18]: 35-38)
Oleh karenanya, para ulama ahlus sunnah menjadikan hadits laki-laki yang minta dibakar jasadnya tersebut sebagai dalil berlakunya udzur kebodohan dalam perkara syirik akbar dan kufur akbar yang diperselisihkan tersebut. Seperti telah dikutip penjelasan imam Ibnu Qutaibah, Abu Sulaiman Al-Khathabi, Ibnu Abdil Barr Al-Maliki, Ibnu Hazm Al-Andalusi, Ibnu Taimiyah Al-Harrani, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dan Ibnu Hajar Al-Asqalani di atas.
b. Jawaban atas beberapa takwilan yang mereka lakukan sehingga menyelewengkan makna hadits dari zhahir lafalnya.
Barangsiapa mencermati konteks hadits tersebut niscaya akan nampak jelas baginya kelemahan dan kesalahan berbagai takwilan tersebut. Bagaimana mungkin maknanya adalah jika Allah menakdirkan azab atasku niscaya Allah akan mengazabku? Bagaimana mungkin maknanya adalah jika Allah menyempitkan atasku, niscaya Dia akan mengazabku? Takwilan seperti itu tidak ada makna dan faedahnya. Jika maknanya adalah seperti takwilan-takwilan itu, lalu apa gunanya orang tersebut memerintahkan keluarganya untuk membakar jasadnya dan menaburkan abu jasadnya saat angin bertiup kencang?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Barangsiapa menakwilkan perkataan orang tersebut “jika Allah mampu atasku” dengan makna Allah menetapkan atau dengan makna Allah menyempitkan, niscaya ia telah keliru jauh dan menyelewengkan perkataan dari maksud sebenarnya. Orang tersebut memerintahkan untuk dibakar dan ditebarkan abu jasadnya semata-mata agar ia tidak dikumpulkan dan tidak dikembalikan (disatukan dan dibangkitkan).
Maka orang itu mengatakan: “Jika aku mati, maka bakarlah aku, lalu hancurkan abu jasadku, lalu tebarkanlah pada angin yang bertiup kencang di lautan, demi Allah, jika Rabbku mamu atasku niscaya Ia akan mengazabku dengan sebuah azab yang belum pernah Ia timpakan kepada seorang pun.”
Orang itu menyebutkan kalimat kedua di atas dengan kata sambung fa’ (lalu) setelah kalimat pertama, menunjukkan bahwa kalimat kedua merupakan sebab dari kalimat pertama dan bahwa ia melakukan hal itu agar Allah tidak mampu untuk membangkitkan dirinya jika ia telah melakukan tindakan (pembakaran dan penaburan abu jasadnya) tersebut.
Seandainya orang itu mengakui kemampuan Allah untuk mengumpulkannya jika ia melakukan tindakan (pembakaran jasad dan penaburan abu jasadnya) tersebut sebagaimana ia mengakui kemampuan Allah untuk mengumpulkannya jika ia tidak melakukan tindakan tersebut, niscaya tindakannya itu tidak ada gunanya lagi.
Dan juga, menetapkan dan menyempitkan itu sesuai dengan mengazab, sementara orang itu menjadikan tindakan mencerai-beraikan abu jasadnya sebagai hal agar Rabb tidak mampu membangkitkannya. Dia berkata: “Demi Allah, jika Allah mampu (membangkitkan) aku niscaya Allah akan mengazabku dengan sebuah azab yang belum pernah Dia timpakan kepada seorang pun sebelumnya”. Maka syarat itu bukanlah balasan.” (Majmu’ Fatawa, 11/410)
Imam Ibnu Hazm Azh-Zhahiri berkata: “Sebagian ulama yang menyelewengkan perkataan dari maknanya telah menyatakan bahwa makna jika Allah mampu atas (membangkitkan)ku adalah jika Allah menyempitkan atasku, seperti makna firman Allah:
وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ
“Adapun jika Rabbnya mengujinya lalu Rabbnya menyempitkan rizkinya…” (QS. Al-Fajr [89]: 16)
Ini adalah takwilan yang batil dan tidak mungkin, karena jika demikian makna hadits tersebut adalah jika Allah menyempitkan atasku niscaya Allah menyempitkan atasku. Lagi pula jika maknanya adalah seperti takwilan ini, niscaya perintahnya untuk membakar dan menaburkan abu jasadnya tidak akan ada gunanya. Tidak diragukan lagi, ia memerintahkan hal itu agar ia bisa lolos dari azab Allah.”(Al-Fashl fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal, 3/296)
c. Pendapat bahwa orang tersebut dalam kondisi terlalu takut sehingga hilang kesadarannya, seperti orang yang lupa, pingsan atau keseleo lidah, saat ia memerintahkan anak-anaknya untuk membakar jasadnya adalah pendapat yang dibantah dan dimentahkan oleh hadits shahih tersebut sendiri.
Takwilan seperti ini adalah takwilan yang sangat lemah dari dua segi:
Pertama, jika ia mengatakannya dalam keadaan keseleo lidah, tidak sadar, kehilangan kesadaran dan tidak sengaja, niscaya anak-anaknya akan memahami situasi tersebut dan tentu mereka tidak akan melaksanakan wasiat tersebut. Terbukti wasiat itu mereka laksanakan, dan Allah mengumpulkan kembali abu jasadnya serta menanyainya di akhirat atas tindakannya tersebut. Semua riwayat hadits tersebut menyebutkan atau menunjukkan bahwa anak-anaknya melaksanakan wasiat orang tersebut. Mereka membakar jenazahnya dan menaburkan abu jasadnya pada saat angin bertiup kencang di lautan.
Kedua, hadits tersebut disebutkan oleh para ulama hadits untuk menerangkan luasnya rahmat Allah Ta’ala, di mana Allah Ta’ala mengampuni orang tersebut meskipun ia memiliki kebodohan (ketidak tahuan) sebesar itu.
Seandainya ampunan Allah Ta’ala dilimpahkan kepada orang yang tidak sadar, orang yang keseleo lidah dan tidak menyadari (memahami) apa yang ia ucapkan, niscaya tidak ada gunanya dan tidak ada kelebihannya ampunan Allah dalam kondisi tersebut. Jika keadaan orang tersebut seperti orang gila, orang yang hilang kesadarannya dan keseleo lidah, niscaya kedudukannya seperti orang yang telah gugur kewajiban syariat atas dirinya. Dalam kondisi seperti itu, ia dianggap tidak melakukan kesalahan apapun.
Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri dan Muslim menriwayatkan hadits laki-laki yang mewasitakan pembakaran jenazahnya tersebut kemudian menyebutkan hadits berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «دَخَلَتِ امْرَأَةٌ النَّارَ فِي هِرَّةٍ رَبَطَتْهَا، فَلَا هِيَ أَطْعَمَتْهَا، وَلَا هِيَ أَرْسَلَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ، حَتَّى مَاتَتْ هَزْلًا» قَالَ الزُّهْرِيُّ: ذَلِكَ، لِئَلَّا يَتَّكِلَ رَجُلٌ، وَلَا يَيْأَسَ رَجُلٌ،
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam berkata: “Seorang wanita masuk neraka karena seekor kucing yang ia ikat, ia tidak memberinya makanan dan tidak pula melepaskannya untuk mencari makanan berupa serangga di tanah. Akibatnya kucing itu mati dalam keadaan kurus kelaparan.”
Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri lalu berkata: “Hal itu supaya seseorang (yang beramal kebaikan, pent) tidak mengandalkan amalnya begitu saja dan seseorang (yang beramal keburukan, pent) tidak berputus asa.” (HR. Muslim no. 2619, imam Bukhari juga meriwayatkannya no. 3318)
Imam Muslim menempatkan kedua hadits tersebut secara berurutan dalam satu bab, dan imam An-Nawawi kemudian memberi judul bab tersebut “Bab luasnya rahmat Allah dan bahwa rahmat Allah mendahului murka-Nya (Shahih Muslim, kitab at-taubah bab luasnya rahmat Allah dan bahwa rahmat Allah mendahului murka-Nya).
Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawi berkata: “Ketika imam Ibnu Syihab Az-Zuhri menyebutkan hadits yang pertama (tentang laki-laki yang jasadnya dibakar dan abunya disebar, pent), beliau khawatir orang yang mendengarkannya akan mengandalkan kandungan hadits tersebut tentang luasnya rahmat Allah dan besarnya harapan.
Maka imam Ibnu Syihab Az-Zuhri menggabungkannya dengan hadits kucing, yang di dalamnya terkandung ancaman agar takut atas (dosa sekecil) itu, sehingga bisa bersatu rasa takut kepada Allah dan rasa harap kepada Allah. Inilah maksud dari perkataan Az-Zuhri: “Hal itu supaya seseorang (yang beramal kebaikan, pent) tidak mengandalkan amalnya begitu saja dan seseorang (yang beramal keburukan, pent) tidak berputus asa.”(Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi, 17/73)
Bersambung, insya Allah…
(muhib almajdi/arrahmah.com)