(Arrahmah.com) – Dalam artikel “Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 1“, kita telah membahas kebodohan yang telah disepakati oleh para ulama tidak bisa menjadi udzur dalam pengkafiran.
Dalam artikel “Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 2“, kita telah membahas kebodohan yang telah disepakati oleh para ulama bisa menjadi udzur dalam pengkafiran.
Dalam artikel “Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 3“, kita akan membahas kebodohan yang diperselisihkan oleh para ulama, apakah bisa menjadi udzur dalam pengkafiran ataukah tidak bisa menjadi udzur?
Dalam artikel “Dalil-dali syar’i kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 1” kali ini, kita akan membahas dalil-dalil syar’i yang menjadi landasan pendapat kelompok ulama yang memberlakukan udzur kebodohan dalam perkara-perkara kufur akbar, syirik akbar dan tauhid yang diperselisihkan tersebut.
***
Bentuk permasalahan yang dibahas dalam kajian ini
Masalah yang kita bahas saat ini adalah masalah seorang yang secara sah telah menganut Islam dan berstatus muslim, ia memiliki ilmu (pemahaman) dan pengamalan secara global terhadap pokok makna syahadat Laa Ilaaha Illa Allah, namun ia tidak mengetahui (memiliki unsur kebodohan terhadap) sebagian rincian dari makna syahadat Laa Ilaaha Illa Allah.
Maksudnya adalah seseorang yang telah melakukan unsur-unsur pokok keislaman dan keimanan secara global. Ia telah:
-
mengikrarkan dua kalimat syahadat dengan lisannya.
-
mengetahui makna dua kalimat syahadat secara global (yaitu kewajiban beribadah kepada Allah semata, tidak boleh menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah utusan Allah terakhir, tiada lagi nabi atau rasul sepeninggalnya, dan kewajiban beribadah kepada Allah menurut tuntunan syariatnya).
-
mengamalkan konskuensi makna dua kalimat syahadat secara global dengan amalan hati (memiliki rasa takut, rasa harap, dan rasa cinta kepada Allah, memiliki keikhlasan, bertawakal kepada Allah, dan lain-lain), amalan lisan (membaca Al-Qur’an, berdoa, berdzikir, berisitighfar, mengucapkan ucapan yang baik) dan amalan anggota badan (melaksanakan shalat, melaksanakan shaum Ramadhan, membayar zakat, berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada tetangga, memuliakan tamu dan lain-lain).
Namun ia tidak mengetahui sebagian rincian dari makna syahadat Laa Ilaaha Illa Allah. Maksudnya, ia tidak mengetahui sebagian perkara yang sebenarnya hanya menjadi hak Allah karena termasuk perkara ibadah, namun ia lakukan karena ketidak tahuannya bahwa perkara tersebut adalah ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah. (Masalatul Udzri bil-Jahli fi Masailil Aqidah Dirasah Nazhariyah Ta’shiliyah, hlm. 36 karya syaikh Muhammad bin Abdullah Mukhtar)
Contoh kasus masalah yang sedang dibahas dalam kajian ini
a) Seorang muslim yang tidak mengetahui bahwa tawasul adalah ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah. Lalu muslim ini berdoa kepada Allah semata namun dengan perantaraan orang shalih yang telah meninggal. Ia berdoa kepada Allah semata dengan perantaraan kemuliaan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (misalnya dengan membaca shalawat Nariyah), atau kemuliaan para sahabat veteran perang Badar (misalnya membaca shalawat Badar), atau kemuliaan syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani, atau kemuliaan salah seorang Walisongo.
Ia tahu doa adalah ibadah dan ia berdoa kepada Allah semata. Namun ia tidak mengetahui bahwa memakai perantaraan kemuliaan orang shalih yang telah meninggal tersebut adalah perbuatan syirik akbar yang membatalkan tauhid. Berdasar ilmu yang ia pelajari dari para habib atau ustadz, tawasul seperti itu merupakan perkara yang berdasar dalil syar’i dan menjadi salah satu sebab dikabulkannya doa oleh Allah Ta’ala.
b) Seorang muslim yang tidak mengetahui bahwa hak menetapkan hukum adalah salah satu sifat Allah, salah satu hak khusus Allah, dan merupakan salah satu ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah. Lalu muslim tersebut memberikan suaranya dalam sebuah pemilu legislatif atau pemilu eksekutip (pilihan presiden, pilihan gubernur atau pilihan bupati/walikota).
Ia tidak mengetahui bahwa memberikan suara dalam pemilu legislatif atau pemilu eksekutif adalah syirik akbar yang membatalkan tauhid, karena perbuatan tersebut berarti mengangkat orang yang akan menetapkan hukum jahiliyah yang tidak berdasar kepada Al-Qur’an dan as-sunnah. Setahu dirinya, masalah pemilu dan memberikan suara (nyoblos) adalah perkara dunia belaka, bukan perkara ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah. Bahkan menurut ilmu yang ia peroleh dari para ulama/ustadz/mubaligh, ia wajib memilih calon yang Islami dan memperjuangkan kepentingan umat Islam. Ia tidak mengetahui bahwa Islam memiliki sistem pemerintahan dan politik tersendiri yang berbeda dari sistem syirik demokrasi. Para ulama/ustadz/mubaligh tempat ia belajar agama tidak mengajarkan fiqih siyasah (siyasah syar’iyah) atau fiqih khilafah atau fiqih imamah.
c) Seorang muslim siswa SMP/SMA naksir kepada seorang muslimah siswi SMP/SMA lainnya. Untuk bisa mendapatkan cinta siswi tersebut, si siswa melakukan praktek sihir yang menurut kyai/habib/ustadz tempatnya mengaji. Dengan bekal ilmu ‘sihir’ yang diajarkan oleh kyai/habib/ustadz tersebut, si siswa membacakan ayat-ayat Al-Qur’an tertentu yang dicampur dengan bacaan-bacaan Arab yang ia tidak ketahui asal dan maknanya. Si siswa membacakannya kepada si siswi agar si siswi jatuh cinta kepadanya.
Si siswa itu tidak mengetahui bahwa sihir penarik cinta (‘athaf) seperti itu adalah syirik akbar yang membatalkan tauhid. Apalagi doa ‘sihir penarik cinta’ itu dipelajarinya dari kyai/habib/ustadz yang bersumber dari kitab doa-doa yang mujarrab.
Perbedaan pendapat ulama dalam perkara yang diperselisihkan ini
Seperti telah diuraikan dalam artikel “Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 3“, para ulama berbeda pendapat dalam menjatuhkan vonis kafir terhadap pelaku contoh kasus-kasus di atas. Perbedaan vonis mereka timbul karena mereka perbedaan pendapat mereka dalam menilai kasus-kasus tersebut; apakah ia termasuk perkara yang zhahirah (perkara yang sangat jelas dan diketahui hukumnya oleh seluruh kaum muslimin baik orang awam maupun ulama) sehingga tidak berlaku udzur kebodohan padanya ataukah ia termasuk perkara khafiyah (perkara yang hukumnya masih samar dan belum diketahui oleh sebagian ulama dan banyak masyarakat awam) sehingga berlaku udzur kebodohan padanya?
Setidaknya ada dua pendapat di kalangan ulama terdahulu dan ulama belakangan:
Pendapat pertama
Kelompok ulama yang tidak menganggap udzur kebodohan berlaku para kasus tersebut.
Argumentasi mereka adalah dalil-dalil tentang keharaman syirik sangat jelas dalam Al-Qur’an dan as-sunnah, sehingga orang yang tidak mengetahuinya hanya memiliki dua kemungkinan:
-
Ia adalah orang yang teledor dan tidak memiliki kesungguhan untuk mencari ilmu syar’i.
-
Ia adalah orang yang berpura-pura tidak tahu, dan melakukan kesyirikan tersebut secara sengaja dari lubuk hatinya dengan niat untuk kafir.
Pendapat ini dipegangi oleh sejumlah ulama generasi terdahulu (mutaqaddimin) seperti imam Muhammad bin Jarir Ath-Thabari dan sejumlah ulama belakangan (mutaakhirin), seperti imam Al-Qarrafi Al-Maliki dan mayoritas ulama dakwah Nejed.
Pendapat Kedua
Kelompok ulama yang menganggap udzur kebodohan berlaku para kasus tersebut.
Argumentasi mereka adalah dalil-dalil keharaman syirik terkadang menjadi samar dan tidak diketahui oleh sebagian mukallaf sekalipun mereka sudah bersungguh-sungguh mencari ilmu syar’i. Hal itu disebabkan oleh dominasi kebodohan dan banyak atau kuatnya syubhat-syubhat yang menghalangi sebagian mukallaf dari memahami dalil-dalil syar’i tersebut menurut pemahaman yang benar.
Pendapat ini dipegangi oleh sebagian ulama terdahulu seperti imam Ibnu Al-Arabi Al-Maliki dan Ibnu Hazm azh-Zhahiri, dan sejumlah ulama belakangan seperti syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Ash-Shan’ani, Asy-Syaukani, Al-Alusi dan Muhammad Basyir As-SahShallallahu ‘alaihi wa salamani. Di kalangan ulama kontemporer, pendapat ini antara lain diikuti oleh imam Al-Mu’allimi Al-Yamani, syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, dan lain-lain.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa permasalahan yang sedang kita bahas kali apakah padanya berlaku udzur kebodohan atau bukan:
-
bukanlah berkaitan dengan orang-orang kafir asli yang belum pernah secara sah masuk Islam. Baik mereka itu orang-orang ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), musyrikin (Hindu, Budha, Sinto, Konghucu, Majusi, Animisme, Dinamisme, dan semisalnya)
-
bukan pula berkaitan dengan orang-orang yang para ulama sepakat pada diri mereka tidak berlaku udzur kebodohan, seperti telah dibahas pada artikel “Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 1“.
***
Dalil-dalil udzur kebodohan dalam perkara yang diperselisihkan ini
Kelompok ulama yang menganggap udzur kebodohan berlaku para perkara yang diperselisihkan ini mengungkapkan sejumlah dalil syar’i dari Al-Qur’an dan hadits shahih sebagai landasan pendapatnya. Sebagian mereka, seperti imam Ibnu Hazm Al-Andalusi Azh-Zhahiri bahkan mengungkapkan ijma’ ulama atas pendapat kasus tersebut.
Dalil-dalil dari Al-Quran
[1] Firman Allah Ta’ala:
( وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا )
Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS. Al-Isra’ [17]: 15)
Imam Ibnu Katsir ad-Dimasyqi rahimahullah berkata:
“Ayat ini merupakan pemberitahuan tentang keadilan Allah Ta’ala, bahwa Allah tidak mengazab seorang pun kecuali setelah ditegakkan hujah kepadanya dengan diutusnya seorang rasul kepadanya. Sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah Ta’ala:
{كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ قَالُوا بَلَى قَدْ جَاءَنَا نَذِيرٌ فَكَذَّبْنَا وَقُلْنَا مَا نزلَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ إِنْ أَنْتُمْ إِلا فِي ضَلالٍ كَبِيرٍ}
Setiap kali dilemparkan ke dalam neraka itu sekumpulan (orang-orang kafir), maka malaikat-malaikat penjaga-penjaga neraka itu bertanya kepada mereka: “Apakah belum pernah datang kepada kalian (di dunia) seorang pemberi peringatan?” Mereka menjawab: “Benar telah datang, sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka kami mendustakannya dan kami katakan kepadanya: “Allah tidak menurunkan sesuatu (wahyu) pun, kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar.” (QS. Al-Mulk [67]: 8-9)
Juga firman Allah:
{وَسِيقَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى جَهَنَّمَ زُمَرًا حَتَّى إِذَا جَاءُوهَا فُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَتْلُونَ عَلَيْكُمْ آيَاتِ رَبِّكُمْ وَيُنْذِرُونَكُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا قَالُوا بَلَى وَلَكِنْ حَقَّتْ كَلِمَةُ الْعَذَابِ عَلَى الْكَافِرِينَ}
Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahanam berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka malaikat-malaikat penjaganya: “Apakah belum pernah datang kepada kalian rasul-rasul di antara kalian yang membacakan kepadamu ayat-ayat Rabb kalian dan memperingatkan kepada kalian akan pertemuan dengan hari ini?” Mereka menjawab: “Benar telah datang.” Tetapi telah pasti berlaku ketetapan azab terhadap orang-orang yang kafir. (QS. Az-Zumar [39]: 71)
Juga firman Allah:
{وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَا أَخْرِجْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ فَذُوقُوا فَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ}
Dan mereka berteriak-teriak di dalam neraka itu: “Ya Rabb kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan dahulu.” Dan apakah Kami tidak memanjangkan umur kalian dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepada kalian pemberi peringatan? Maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolong pun. (QS. Fathir [35]: 37)
Dan ayat-ayat Al-Qur’an lainnya yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala tidak memasukkan seorang pun ke dalam neraka kecuali setelah Allah mengirim seorang rasul kepadanya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 5/52 karya imam Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi)
Imam Syihabuddin Mahmud bin Abdullah Al-Husaini Al-Alusi rahimahullah berkata:
“Tidaklah benar dan tidaklah lurus dari Kami, bahkan mustahil dalam Sunnah Kami (sunnatullah) yang dibangun di atas hikmah-hikmah yang sangat mendalam; atau tidak mungkin ada dalam hukum Kami yang telah lalu dan ketetapan Kami yang telah berlaku, bahwa Kami mengazab seorang pun dengan sebuah bentuk azab, baik di dunia maupun di akhirat, karena ia mengerjakan sebuah perbuatan atau meninggalkan sebuah perbuatan, baik perkara ushul maupun furu’, sampai Kami mengutus seorang rasul kepadanya yang menunjukkan kepadanya kebenaran, mencegahnya dari kesesatan, menegakkan hujjah-hujjah kepadanya dan menerangkan hukum-hukum syariat.” (Ruhul Ma’ani fi Tafsiril Qur’an Al-Azhim was Sab’il Matsani, 8/35 karya Imam Al-Alusi)
Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani rahimahullah berkata:
“Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bahwa orang yang mendapat hidayah hanyalah karena diberi hidayah oleh-Nya dan orang yang tersesat hanyalah karena disesat olehnya, dan Allah tidak akan menghukum seseorang lantaran pelanggaran orang lain; Allah kemudian menyebutkan bahwa Dia tidak akan mengazab hamba-hamba-Nya kecuali setelah Allah memperingatkan mereka dengan mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya. Maka Allah menjelaskan bahwa Dia tidak membiarkan manusia begitu saja dan Allah tidak menghukum mereka sebelum penegakan hujjah atas mereka.
Zhahir ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak mengazab mereka, baik di dunia maupun di akhirat, kecuali setelah Allah memperingatkan mereka dengan pengutusan para rasul; dan hal ini merupakan pendapat sekelompok ulama. Sementara itu mayoritas ulama berpendapat bahwa azab yang ditiadakan adalah azab di dunia semata, bukan azab di akhirat.”(Fathul Qadir, 3/214 karya imam Asy-Syaukani)
Imam Jamaluddin Al-Qasimi rahimahullah berkata:
“Tidak benar dan tidak lurus dari kami, bahkan mustahil dalam Sunnah Kami (sunnatullah) yang dibangun di atas hikmah-hikmah yang sangat dalam, (jika) Kami mengazab sebuah kaum sampai Kami mengutus kepada mereka seorang rasul yang menunjukkan mereka kepada kebenaran dan mencegah mereka dari kesesatan, untuk menegakkan hujah dan memutus alasan. Azab dalam ayat ini bersifat umum, azab dunia maupun azab akhirat. Berdasar firman Allah Ta’ala:
وَلَوْ أَنَّا أَهْلَكْناهُمْ بِعَذابٍ مِنْ قَبْلِهِ لَقالُوا رَبَّنا لَوْلا أَرْسَلْتَ إِلَيْنا رَسُولًا فَنَتَّبِعَ آياتِكَ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَذِلَّ وَنَخْزى
Dan sekiranya Kami membinasakan mereka dengan suatu azab sebelum Al-Quran itu (diturunkan), tentulah mereka berkata: “Ya Rabb kami, mengapa Engkau tidak mengutus seorang rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau sebelum kami menjadi hina dan rendah?” (QS. Thaha [20]: 134)
Juga firman Allah:
كُلَّما أُلْقِيَ فِيها فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُها أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ، قالُوا بَلى قَدْ جاءَنا نَذِيرٌ فَكَذَّبْنا وَقُلْنا ما نَزَّلَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا فِي ضَلالٍ كَبِيرٍ
Setiap kali dilemparkan ke dalam neraka itu sekumpulan (orang-orang kafir), maka malaikat-malaikat penjaga-penjaga neraka itu bertanya kepada mereka: “Apakah belum pernah datang kepada kalian (di dunia) seorang pemberi peringatan?” Mereka menjawab: “Benar telah datang, sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka kami mendustakannya dan kami katakan kepadanya: “Allah tidak menurunkan sesuatu (wahyu) pun, kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar.” (QS. Al-Mulk [67]: 8-9)
Juga firman Allah:
وَسِيقَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِلى جَهَنَّمَ زُمَراً، حَتَّى إِذا جاؤُها فُتِحَتْ أَبْوابُها وَقالَ لَهُمْ خَزَنَتُها أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَتْلُونَ عَلَيْكُمْ آياتِ رَبِّكُمْ وَيُنْذِرُونَكُمْ لِقاءَ يَوْمِكُمْ هذا، قالُوا بَلى وَلكِنْ حَقَّتْ كَلِمَةُ الْعَذابِ عَلَى الْكافِرِينَ
Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahanam berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka malaikat-malaikat penjaganya: “Apakah belum pernah datang kepada kalian rasul-rasul di antara kalian yang membacakan kepadamu ayat-ayat Rabb kalian dan memperingatkan kepada kalian akan pertemuan dengan hari ini?” Mereka menjawab: “Benar telah datang.” Tetapi telah pasti berlaku ketetapan azab terhadap orang-orang yang kafir. (QS. Az-Zumar [39]: 71)
Juga firman Allah:
وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيها رَبَّنا أَخْرِجْنا نَعْمَلْ صالِحاً غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ، أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ ما يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجاءَكُمُ النَّذِيرُ، فَذُوقُوا فَما لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ
Dan mereka berteriak-teriak di dalam neraka itu: “Ya Rabb kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan dahulu.” Dan apakah Kami tidak memanjangkan umur kalian dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepada kalian pemberi peringatan? Maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolong pun. (QS. Fathir [35]: 37)
Dan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala tidak mengazab sebuah kaum pun dengan azab yang membinasakan mereka semua, dan Allah tidak memasukkan seorang pun ke dalam neraka kecuali setelah Allah mengutus para rasul.
Qatadah berkata: Sesungguhnya Allah tidak mengazab seorang pun sampai menyampaikan kepadanya sebuah berita atau bukti yang nyata, dan Allah tidak mengazab seorang pun kecuali atas dosanya sendiri. (Mahasinut Ta’wil, 10/3913 karya Imam Jamaluddin Al-Qasimi)
Syaikh Muhammad Amin bin Muhammad Mukhtar asy-Syinqithi rahimahullah berkata:
“Zhahir ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala tidak mengazab seorang pun dari hamba-Nya, tidak di dunia tidak pula di akhirat, kecuali setelah Allah mengutus seorang rasul yang memberinya peringatan dan menyuruh waspada (dari menyelisihi perintah dan larangan-Nya). Lalu ia mendurhakai rasul tersebut dan terus-menerus berada di atas kekafiran dan kemaksiatannya setelah datang kepadanya peringatan dan pemutusan alasan. Allah Ta’ala telah menjelaskan makna ini dalam banyak ayat Al-Qur’an. Seperti firman-Nya:
رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ
(Kami mengutus mereka) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. (QS. An-Nisa’ [4]: 165)
Dalam ayat yang mulia ini, Allah menegaskan bahwa Allah pasti memutus alasan setiap orang dengan cara mengutus para rasul, yang memberi berita gembira balasan surga bagi orang-orang yang menaaati para rasul tersebut dan memberi ancaman balasan neraka bagi orang-orang yang mendurhakai para rasul tersebut.
Alasan yang telah diputus oleh Allah Ta’ala dalam ayat ini dengan diutusnya para rasul sebagai pembawa berita gembira dan berita ancaman, telah dijelaskan oleh Allah Ta’ala dalam akhir surat Thaha dengan firman-Nya:
وَلَوْ أَنَّا أَهْلَكْنَاهُمْ بِعَذَابٍ مِنْ قَبْلِهِ لَقَالُوا رَبَّنَا لَوْلَا أَرْسَلْتَ إِلَيْنَا رَسُولًا فَنَتَّبِعَ آيَاتِكَ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَذِلَّ وَنَخْزَى
Dan sekiranya Kami membinasakan mereka dengan suatu azab sebelum Al Qur’an itu (diturunkan), tentulah mereka berkata: “Ya Rabb kami, mengapa Engkau tidak mengutus seorang rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau sebelum kami menjadi hina dan rendah?” (QS. Thaha [20]: 134)
Allah Ta’ala juga mengisyaratkan hal itu dalam surat Al-Qashash dengan firman-Nya:
وَلَوْلَا أَنْ تُصِيبَهُمْ مُصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ فَيَقُولُوا رَبَّنَا لَوْلَا أَرْسَلْتَ إِلَيْنَا رَسُولًا فَنَتَّبِعَ آيَاتِكَ وَنَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Dan agar mereka tidak mengatakan ketika azab menimpa mereka disebabkan apa yang mereka kerjakan: Ya Rabb kami, mengapa Engkau tidak mengutus seorang rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau dan jadilah kami termasuk orang-orang mukmin.” (QS. Al-Qashash [28]: 47)
Dan firman-Nya:
ذَلِكَ أَنْ لَمْ يَكُنْ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا غَافِلُونَ
Yang demikian itu adalah karena Rabbmu tidaklah membinasakan kota-kota secara aniaya, sedang penduduknya dalam keadaan lengah (belum mendapat peringatan). (QS. Al-An’am [6]: 131)
Dan firman-Nya:
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ عَلَى فَتْرَةٍ مِنَ الرُّسُلِ أَنْ تَقُولُوا مَا جَاءَنَا مِنْ بَشِيرٍ وَلَا نَذِيرٍ فَقَدْ جَاءَكُمْ بَشِيرٌ وَنَذِيرٌ
Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami, menjelaskan (syariat Kami) kepada kalian ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul, agar kalian tidak mengatakan: “Tidak datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan.” Sesungguhnya telah datang kepada kalian pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. (QS. Al-Maidah [5]: 19)
Dan firman-Nya:
وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ أَنْ تَقُولُوا إِنَّمَا أُنْزِلَ الْكِتَابُ عَلَى طَائِفَتَيْنِ مِنْ قَبْلِنَا وَإِنْ كُنَّا عَنْ دِرَاسَتِهِمْ لَغَافِلِينَ أَوْ تَقُولُوا لَوْ أَنَّا أُنْزِلَ عَلَيْنَا الْكِتَابُ لَكُنَّا أَهْدَى مِنْهُمْ فَقَدْ جَاءَكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ
Dan Al-Qur’an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kalian diberi rahmat. (Kami turunkan Al Qur’an itu) agar kalian tidak mengatakan: “Kitab suci itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami (Yahudi dan Nasrani), dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca.”
Atau agar kalian tidak mengatakan: “Sesungguhnya jika kitab suci itu diturunkan kepada kami, tentulah kami lebih mendapat petunjuk dari mereka.” Sesungguhnya telah datang kepada kalian keterangan yang nyata dari Rabb kalian, petunjuk dan rahmat. (QS. Al-An’am [6]: 155-157)
Dan banyak ayat lainnya.
Makna yang ditunjukkan oleh ayat-ayat yang disebutkan di atas dan ayat-ayat lain yang semakna dengannya di dalam Al-Qur’an Al-Azhim bahwa Allah tidak mengazab seorang pun kecuali setelah memberi peringatan ancaman dan pemutusan alasan melalui lisan para rasul ‘alahim shalat was salam; telah dijelaskan lebih lanjut oleh penegasan Allah Ta’ala dalam banyak ayat Al-Qur’an bahwa Allah tidak akan memasukkan seorang pun ke dalam neraka kecuali setelah memberi peringatan ancaman dan pemutusan alasan melalui lisan para rasul ‘alahim shalat was salam. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala:
كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ قَالُوا بَلَى قَدْ جَاءَنَا نَذِيرٌ فَكَذَّبْنَا وَقُلْنَا مَا نَزَّلَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ
Setiap kali dilemparkan ke dalam neraka itu sekumpulan (orang-orang kafir), maka malaikat-malaikat penjaga-penjaga neraka itu bertanya kepada mereka: “Apakah belum pernah datang kepada kalian (di dunia) seorang pemberi peringatan?” Mereka menjawab: “Benar telah datang, sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka kami mendustakannya dan kami katakan kepadanya: “Allah tidak menurunkan sesuatu (wahyu) pun.” (QS. Al-Mulk [67]: 8-9)
Sudah sama-sama diketahui bahwa firman Allah ‘Setiap kali dilemparkan ke dalam neraka itu sekumpulan (orang-orang kafir)‘ bersifat umum mencakup semua kumpulan orang yang dilemparkan ke dalam neraka.
Imam Abu Hayyan Al-Andalusi dalam Tafsir Al-Bahr Al-Muhith saat menafsirkan ayat yang tengah kita bicarakan ini mengatakan: “Kata kullama (setiap kali) menunjukkan keumuman zaman-zaman (waktu-waktu) pelemparan, sehingga mencakup semua orang yang dilemparkan (ke dalam neraka).”
Dalil lainnya adalah firman Allah Ta’ala:
وَسِيقَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى جَهَنَّمَ زُمَرًا حَتَّى إِذَا جَاءُوهَا فُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَتْلُونَ عَلَيْكُمْ آيَاتِ رَبِّكُمْ وَيُنْذِرُونَكُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا قَالُوا بَلَى وَلَكِنْ حَقَّتْ كَلِمَةُ الْعَذَابِ عَلَى الْكَافِرِينَ
Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahanam berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka malaikat-malaikat penjaganya: “Apakah belum pernah datang kepada kalian rasul-rasul di antara kalian yang membacakan kepadamu ayat-ayat Rabb kalian dan memperingatkan kepada kalian akan pertemuan dengan hari ini?” Mereka menjawab: “Benar telah datang.” Tetapi telah pasti berlaku ketetapan azab terhadap orang-orang yang kafir. (QS. Az-Zumar [39]: 71)
Firman Allah dalam ayat ini “Orang-orang kafir dibawa” adalah lafal umum yang mencakup semua orang kafir.
Sudah menjadi ketetapan yang baku dalam ilmu ushul fiqih bahwa isim maushulat (kata sambung) seperti al-ladzi, al-lati, dan cabang-cabangnya termasuk kategori shighah umum (lafal-lafal yang menunjukkan makna umum), karena keumumannya yang berlaku pada segala hal yang dicakup oleh shilah-nya. Pengarang Maraqi Ash-Shu’ud telah menjelaskan perihal shighah-shighah umum ini dengan perkataannya:
Shighah kullu atau jami’
Dan diikuti oleh al-ladzi, al-lati dan cabang-cabangnya
Maksud dari bait syair tersebut adalah bahwa lafal kullu i(setiap) jami’ (semua), al-ladzi (yang, untuk laki-laki), al-lati (yang, untuk perempuan) dan cabang-cabangnya merupakan bagian dari shighah umum. Maka firman Allah Ta’ala:
وَسِيقَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى جَهَنَّمَ زُمَرًا حَتَّى إِذَا جَاءُوهَا فُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَتْلُونَ عَلَيْكُمْ آيَاتِ رَبِّكُمْ وَيُنْذِرُونَكُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا قَالُوا بَلَى
Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahanam berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka malaikat-malaikat penjaganya: “Apakah belum pernah datang kepada kalian rasul-rasul di antara kalian yang membacakan kepadamu ayat-ayat Rabb kalian dan memperingatkan kepada kalian akan pertemuan dengan hari ini?” Mereka menjawab: “Benar telah datang.” (QS. Az-Zumar [39]: 71)
Bersifat umum mencakup semua orang kafir. Ayat tersebut sangat jelas menunjukkan bahwa semua orang yang masuk neraka adalah orang-orang yang telah mendapat peringatan para rasul di dunia, lalu mereka mendurhakai perintah Rabb mereka. Dan hal ini sangat jelas.
Hal yang semakna dengannya adalah firman Allah Ta’ala:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا لَهُمْ نَارُ جَهَنَّمَ لَا يُقْضَى عَلَيْهِمْ فَيَمُوتُوا وَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمْ مِنْ عَذَابِهَا كَذَلِكَ نَجْزِي كُلَّ كَفُورٍ وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَا أَخْرِجْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ
Dan orang-orang kafir bagi mereka neraka Jahanam. Mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati dan tidak pula diringankan dari mereka azabnya. Demikianlah kami membalas setiap orang yang sangat kafir. Dan mereka berteriak-teriak di dalam neraka itu: “Ya Rabb kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan dahulu.” Dan apakah Kami tidak memanjangkan umur kalian dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepada kalian pemberi peringatan? (QS. Fathir [35]: 36-37)
Firman Allah “Dan orang-orang kafir bagi mereka neraka Jahanam …sampai dengan “dan (apakah tidak) datang kepada kalian pemberi peringatan?” bersifat umum (karena memakai shighah umum: al-ladzina dan kullu, pent) mencakup semua penduduk neraka, sebagaimana yang baru saja dijelaskan di atas.
Dalil lainnya antara lain adalah firman Allah Ta’ala:
وَقَالَ الَّذِينَ فِي النَّارِ لِخَزَنَةِ جَهَنَّمَ ادْعُوا رَبَّكُمْ يُخَفِّفْ عَنَّا يَوْمًا مِنَ الْعَذَابِ أَوَ لَمْ تَكُ تَأْتِيكُمْ رُسُلُكُمْ بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا بَلَى قَالُوا فَادْعُوا وَمَا دُعَاءُ الْكَافِرِينَ إِلَّا فِي ضَلَالٍ
Dan orang-orang yang berada dalam neraka berkata kepada penjaga-penjaga neraka Jahanam: “Mohonkanlah kepada Rabb kalian supaya Dia meringankan azab dari kami barang sehari!” Para penjaga Jahanam berkata: “Dan apakah belum datang kepada kalian rasul-rasul kalian dengan membawa keterangan-keterangan?” Mereka menjawab: “Benar, sudah datang”. Penjaga-penjaga Jahanam berkata: Berdoalah kalian!” Dan doa orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka. (QS. Ghafir [40]: 49-50)
Dan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan bahwa seluruh penduduk neraka telah mendapat peringatan para rasul di dunia. (Adhwaul Bayan fi Idhah Al-Qur’an bil Qur’an, 3/65-67 karya syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi)
Catatan tentang tafsir ayat ini:
[1]. Kelompok ulama yang berpendapat bahwa dalam perkara tauhid-syirik yang tersamar bagi kebanyakan orang awam (khafiyah) ini pun tidak berlaku udzur kebodohan, menyatakan bahwa ayat tersebut hanya menyebutkan tidak mengazab, bukan tidak memvonis musyrik atau kafir. Menurut mereka, pelaku syirik akbar dalam perkara yang tersamar ini pun juga divonis musyrik jika belum sampai hujah kepada mereka, dan divonis kafir murtad jika telah tegak hujah atas mereka. Pendapat ini mereka dasarkan kepada dalil-dalil Al-Qur’an, as-sunnah dan ijma’ ulama yang memvonis musyrik kepada para pelaku syirik akbar sebelum diutusnya para rasul.
Adapun kelompok ulama yang berpendapat bahwa syirik akbar dalam perkara yang tersamar bagi orang-orang awam ini juga berlaku udzur kebodohan, menyatakan bahwa pelakunya teta disebut muslim karena secara sah ia telah menyandang nama muslim dan mukmin. Sedangkan keislaman yang telah tetap secara sah dan yakin tidak akan gugur kecuali dengan sah dan yakin pula, dan dalam hal ini udzur kebodohan tersebut menjadi penghalang jatuhnya vonis musyrik dan kafir. Berbeda halnya dengan orang-orang yang secara asal adalah orang kafir asli dan musyrik asli, yang belum pernah secara sah masuk Islam. Mereka menanggapi argumentasi kelompok ulama di atas, dengan menyatakan bahwa pelaku syirik akbar yang divonis musyrik tersebut adalah:
-
Orang kafir asli yang belum pernah secara sah masuk Islam dan menyandang status muslim dan mukmin.
-
Atau perkara syirik akbar yang mereka kerjakan adalah hal-hal yang disepakati tidak ada udzur kebodohan padanya. Seperti menyembah matahari (kaum Saba’ dan ratu Bilqis), menyembah banyak dewa (kaum Mesir pada zaman nabi Yusuf) menyembah patung-patung dan meyakini patung-patung itu sekutu bagi Allah (kaum musyrik Quraisy).
-
Atau orang yang secara sah pernah menjadi ‘muslim’ kemudian melakukan syirik akbar atas dasar pengetahuan, bukan atas dasar kebodohan. Seperti Yahudi dan Nasrani yang menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah dan mengharamkan hal-hal yang dihalalkan Allah karena mengikuti penghalalan dan pengharaman versi para rabbi dan pendeta mereka. Padahal kaum Yahudi dan Nasrani mengetahui betul mana yang dihalalkan dan diharamkan oleh Allah, dan mana yang dihalalkan dan diharamkan oleh para rabbi dan pendeta mereka. (Lihat penjelasan tentang hal ini dalam Majmu’ Fatawa, 7/70 karya syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
Dalil-dalil tentang kedua pendapat tersebut telah kita uraikan para Serial Kajian Takfir Mu’ayyan # 1 dan penjelasan para ulama tentang kebodohan yang disepakati bukan menjadi udzur telah kami uraikan dalam Serial Kajian Takfir Mu’ayyan # 3, sehingga tidak akan kami uraikan kembali di sini.
[2]. Kelompok ulama yang berpendapat bahwa dalam perkara tauhid-syirik yang tersamar bagi kebanyakan orang awam (khafiyah) ini pun tidak berlaku udzur kebodohan, menyatakan bahwa azab dalam QS. Al-Isra’ [17]: 15 tersebut hanyalah azab di dunia, bukan mencakup azab akhirat. Mereka menyatakan pendapat tersebut sebagai pendapat mayoritas ahli tafsir.
Kelompok ulama yang berpendapat bahwa dalam perkara tauhid-syirik yang tersamar bagi kebanyakan orang awam (khafiyah) ini juga berlaku udzur kebodohan, menyatakan bahwa azab dalam QS. Al-Isra’ [17]: 15 tersebut berlaku umum, mencakup azab di dunia dan mencakup azab di akhirat. Penjelasan dan dalil-dalil syar’i yang menyatakan kebenaran pendapat ini telah diuraikan dalam tafsiran para ulama di atas.
Syaikh Muhammad Amin bin Muhammad Mukhtar Asy-Syinqithi berkata:
Adapun pendapat bahwa azab dalam firman Allah Ta’ala “Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul” hanyalah azab di dunia, bukan azab di akhirat, dijawab dengan dua jawaban:
Pertama, pendapat tersebut menyelisihi zhahir Al-Qur’an, karena zhahir Al-Qur’an meniadakan azab secara mutlak, sehingga ia lebih umum dari sekedar azab di dunia. Sementara memalingkan Al-Qur’an dari zhahirnya adalah sesuatu yang dilarang kecuali jika ada dalil yang mengharuskan kembali kepadanya.
Kedua, Al-Qur’an sendiri dalam banyak ayat menunjukkan bahwa azab yang ditiadakan dalam ayat tersebut mencakup azab di akhirat. Seperti firman Allah:
كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ قَالُوا بَلَى
Setiap kali dilemparkan ke dalam neraka itu sekumpulan (orang-orang kafir), maka malaikat-malaikat penjaga-penjaga neraka itu bertanya kepada mereka: “Apakah belum pernah datang kepada kalian (di dunia) seorang pemberi peringatan?” Mereka menjawab: “Benar telah datang, sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka kami mendustakannya…” (QS. Al-Mulk [67]: 8-9)
Ayat ini merupakan dalil bahwa semua kelompok penduduk neraka tidaklah diazab di akhirat kecuali setelah mendapat peringatan para rasul, seperti telah dijelaskan di depan dengan ayat-ayat Al-Qur’an.” (Adhwaul Bayan, 3/429-430)
[3]. Jika seorang muslim melakukan syirik akbar atau kufur akbar tanpa ada penghalang pengkafiran pada dirinya, maka ia menjadi murtad dan berhak mendapat azab yang diancamkan dalam QS. Al-Isra’ [17]: 15 di atas dan ayat-ayat yang semisal dengannya. Azab di akhirat adalah ia kekal dalam neraka. Adapun azab di dunia adalah:
-
Jika ia seorang laki-laki maka ia tidak boleh menikahi wanita muslimah dan jika ia seorang wanita maka ia tidak boleh menikahi laki-laki muslim.
-
Ia tidak bisa mewarisi harta keluarganya yang muslim dan hartanya tidak bisa diwarisi oleh keluarganya yang muslim.
-
Sembelihannya tidak halal dimakan oleh kaum muslimin.
-
Ia tidak boleh diangkat sebagai pemimpin bagi kaum muslimin.
-
Nyawa dan hartanya halal, tidak terlindungi, sehingga ia akan dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan/pemerintahan Islam jika tidak mau bertaubat.
-
Jenazahnya tidak boleh dishalati dan tidak boleh dikuburkan di pemakaman kaum muslimin.
-
Umat Islam tidak boleh memintakan ampunan Allah untuknya.
Adapun jika seorang muslim melakukan kufur akbar atau syirik akbar dalam bentuk perkara yang ada penghalang pengkafiran padanya, maka ia tidak terkena azab-azab duniawi dan azab akhirat tersebut —sebelum dihilangkan penghalang pengkafiran dari dirinya— karena ia masih muslim. Wallahu a’lam bish-shawab.
Bersambung, insya Allah…
(muhib almajdi/arrahmah.com)