(Arrahmah.id) – Hari ke tiga Ramadhan 1445 H. Menjalankan ibadah puasa di bawah kepungan brutal Zionis “Israel”, pastilah ujian keimanan yang berat. Rakyat Muslim Palestina yang telah dijajah “Israel” sejak 1948, memang sudah terbiasa dengan ‘puasa’. Mereka akrab dengan kelaparan dan kesengsaraan. Penyambung hidup mereka hanya bergantung pada bantuan kemanusiaan.
Kata orang bijak, ujian adalah suatu keniscayaan hidup, tanpa ujian berarti tak ada prestasi. Jika kita bisa memilih, apakah ujian keburukan ataukah ujian kebaikan yang akan kita lalui, kebanyakan orang cenderung memilih diuji dengan kebaikan saja. Ujian kebaikan seolah akan lebih ringan dijalani, dari pada ujian keburukan yang menakutkan.
Allah SWT berfirman,
كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۗوَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ
“Setiap makhluk yang bernyawa pasti mengalami kematian. Wahai manusia, kalian akan diuji dengan nasib baik dan buruk untuk menguji keimanan kalian. Kalian kelak pasti dikembalikan kepada Kami.” (QS Al-Anbiya’ (21) : 35)
Maksud dari ayat ini, bahwa Allah SWT akan menguji manusia, baik mukmin maupun kafir, dengan kesengsaraan dan kesejahteraan, sehat dan sakit, kekayaan dan kemiskinan, haram dan halal, ketaatan dan kemaksiatan, serta hidayah dan kesesatan. Sehingga tebukti siapa yang bersyukur dan sabar, dan siapa pula yang kufur dan berkeluh kesah.
Maka jangan pernah berburuk sangka dengan takdir Allah. Takdir bermakna, segala yang terjadi, sedang terjadi serta akan terjadi yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, hal baik maupun buruk. Setragis apapun nasib yang menimpa manusia, yakinlah pasti ada hikmah, sisi baik dan sisi buruk di baliknya.
Kebiadaban Zionis “Israel”, yang meluluh lantakkan rumah penduduk Palestina, membumi hanguskan warga sipil, membom RS, Masjid, dan sarana publik lainnya, memang tidak manusiawi, kejam melebihi perbuatan iblis. Kecaman demi kecaman tak cukup menyudahi kekejaman Zionis “Israel” terhadap Muslim Palestina.
Perdana Menteri “Israel” Benyamin Netanyahu berambisi memusnahkan Hamas dan mengusir warga sipil Gaza dari Rafah. Konon Netanyahu telah menugaskan kabinet militernya untuk segera melakukan operasi tersebut di Rafah.
Mengapa tragedi genosida ini tidak kunjung membuka mata para pemimpin dunia, para pemuja demokrasi, untuk menghentikan agresi “Israel”, selain hanya kata-kata dan retorika belaka? Namun ambisi jahat Netanyahu takkan berhasil, karena yang mematikan dan menghidupkan manusia adalah hak prerogatif Allah SWT.
اِنَّا نَحْنُ نُحْيِ الْمَوْتٰى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوْا وَاٰثَارَهُمْۗ وَكُلَّ شَيْءٍ اَحْصَيْنٰهُ فِيْٓ اِمَامٍ مُّبِيْنٍ
“Kamilah yang menghidupkan yang mati. Kamilah yang mencatat setiap perbuatan yang telah dilakukan oleh manusia dan pengaruh baik atau buruk dari perbuatan itu sepeninggalnya. Semuanya itu Kami catat dengan teliti pada buku catatan amal yang mudah dibaca oleh pelakunya kelak di akhirat.” (QS Yasin (36) : 12)
Hikmah di Balik Misi Genosida
Seorang wartawan bertanya kepada anak-anak Palestina: “Dimana ibu kota negara ‘Israel’?”
“‘Israel’ tak punya negara, ibu kotanya di neraka,” jawab mereka serentak.
“Israel”, memang dibangun berdasarkan kejahatan yang dilakukannya terhadap rakyat Palestina.
Hebatnya, segala kebiadaban Zionis “Israel”, tidak lantas meruntuhkan keimanan dan ketakwaan warga Palestina. Kenyataan ini menarik simpati masyarakat dunia dalam mempelajari Islam, agama yang dianut mayoritas warga Palestina. Sebagian besar mengutuk langkah “Israel” yang tanpa pandang bulu menyerbu Gaza dengan dalih memusnahkan milisi Hamas, namun menewaskan banyak warga sipil dan menimbulkan kerusakan total di wilayah itu.
Ketabahan dan kesabaran yang mereka tunjukkan jadi pelita yang memancarkan cahaya Islam ke berbagai belahan dunia. Keteguhan warga Gaza membawa hikmah bagi kebangkitan Islam. Bahkan ditengarai memicu perubahan persepsi terhadap Islam di dunia Barat. Ternyata agama Islam sangat berbeda dengan yang selama ini digemborkan media barat.
Banyak warga non-Muslim terkejut oleh fakta bahwa orang-orang Gaza yang sedang menjadi sasaran pembersihan etnis nampak begitu sabar dalam melawan barbarisme negara teroris “Israel”, baik dalam bentuk perkataan, ucapan dan doa.
Bahkan yang terbaru puluhan perempuan di Australia menyatakan diri memeluk Islam, setelah terinspirasi ketahanan warga Gaza di tengah kejinya agresi “Israel”. Ribuan warga non-Muslim di seluruh dunia menjadi muallaf. Mereka memeluk Islam, dan keluar dari agamanya, karena tergerak hati melihat ketegaran penduduk Gaza.
Di antara mereka yang telah memeluk Islam beralasan, “bahwa dia mengikuti konflik di Palestina, menangis hampir setiap hari, dan ketika dia meneliti, ketabahan mereka dipengaruhi oleh kepercayaan pada satu Tuhan dalam Islam. Saya ingin lebih dekat dengan Islam dan Allah,” katanya seperti dikutip media Turki Yeni Safak.
Dalam sebuah video yang beredar secara viral, seorang perempuan mengungkapkan kekagumannya atas ketabahan dan keimanan orang-orang Palestina. Hal ini telah menyentuh hatinya dan mendorongnya untuk melihat lebih jauh agama Islam, yang mempengaruhi mereka dan berujung tertarik untuk memeluk agama Islam.
Seorang blogger ternama Amerika, Abby Hafez, mengumumkan masuk Islam, menekankan bahwa tekad masyarakat di Gaza adalah titik balik dalam hidup dan transformasinya, seperti dilansir Al Jazeera. Blogger terkenal ini menegaskan bahwa ketabahan dan keyakinan yang ditunjukkan masyarakat Gaza membawanya untuk mencari sumber ketahanan tersebut, lalu dia mendalami Al-Qur’an.
Abby Hafez menekankan bahwa “umat Islam di Amerika mendukung dan berdoa untuk Gaza, dan Tuhan akan segera memberi mereka kebebasan, harapan, dan keamanan, Insya Allah,” katanya.
“Saya ingin berbicara tentang keimanan orang-orang Palestina, bagaimana iman mereka begitu kuat, dan mereka masih menemukan ruang untuk menjadikannya sebagai prioritas untuk berterima kasih kepada Tuhan, bahkan ketika segalanya telah diambil dari mereka,” katanya lagi dalam sebuah wawancara.
Yang menarik, warga Palestina, menjadikan Muslim Indonesia sebagai idola yang selalu mereka sebut.
Seorang putri dari Yordania bilang: “Negara kami Yordania selalu ada untuk Palestina, kenapa negara Indonesia yang selalu ada di benak orang Palestina?” keluhnya.
Ia pun bingung, warga Palestina ketika melihat orang Indonesia nampak senang dan bahagia sekali.
Menyaksikan fenomena ribuan mualaf dan simpati dunia atas kesabaran dan ketabahan Muslim Palestina, mengingatkan kita pada ucapan Habib Nurmagomedov dari Dagestan. Petarung UFC, kelahiran 28 September 1988 di Dagestan, Rusia, yang bukan ulama, bukan kyai, bukan ustadz ini mengatakan:
“Orang non-Muslim tidak membaca Al-Qur’an, mereka tidak membaca Hadist, yang mereka baca adalah dirimu. Maka jadilah cerminan Islam yang baik,” saran Khabib Nurmagomedov.
Hal ini tentu membuat kita yang mayoritas Muslim di negeri ini, harus bisa menjadi cerminan bagi non-Muslim. Bagaimana sikap, perilaku, dan tutur kata kita harus mencerminkan orang yang beragama Islam, yang dikenal dengan keramahannya, kebaikannya dan sikap saling tolong menolongnya.
Apabila jadi pemimpin, jadilah pemimpin yang adil, tidak zalim. Jadilah pemimpin yang jujur, bukan pembohong, pengkhianat, munafik. Jangan ajari rakyat jadi penipu, curang, yang hanya mementingkan keluarga dan oligarki.
Kata bijak dari Ali bin Abi Thalib patut direnungkan. “Suatu ketika kondisi umat Islam seperti unta yang mati kehausan di padang pasir, padahal dipunggungnya menyimpan kantong air.”
Masyarakat Muslim memiliki pusaka warisan Nabi SAW, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Tetapi warisan mulia itu diabaikan, syariat Islam ditinggalkan. Sebagai akibatnya umat Islam mudah terpedaya muslihat musuh-musuhnya.
Yogyakarta, 3 Ramadhan 1445 H/13/03/2024
IRFAN S. AWWAS