KABUL (Arrahmah.com) – Serangan mematikan terhadap tentara Afghanistan telah melonjak pada kuartal pertama tahun ini dengan serangan orang dalam meningkat 82 persen, karena pasukan AS dan NATO mulai menarik diri dari negara itu setelah 20 tahun, menurut pengawas AS.
Dalam laporan triwulanan yang diterbitkan pada Jumat (30/4/2021), Inspektur Jenderal Khusus untuk Rekonstruksi Afghanistan (SIGAR) menemukan bahwa serangan terhadap pasukan keamanan Afghanistan, terutama oleh kelompok pemberontak Taliban, melonjak 37 persen selama periode Januari-Maret dari tahun sebelumnya.
Serangan penyusup melonjak 82 persen, dan korban dari mereka berlipat ganda, baca laporan itu tanpa menyebutkan secara spesifik.
“Penarikan lengkap pasukan AS dan kontraktor pertahanan AS dari Afghanistan akan menguji apakah Pasukan Pertahanan dan Keamanan Nasional Afghanistan dapat mempertahankan diri mereka sendiri dan mempertahankan pemerintah Afghanistan tanpa dukungan langsung militer AS dan Koalisi,” lanjut laporan itu.
Presiden AS Joe Biden mengumumkan pada pertengahan April keputusan untuk menarik pasukan AS pada September, menunda tenggat waktu 1 Mei yang dicapai dalam kesepakatan oleh pemerintahan Donald Trump dan Taliban sebelumnya.
Laporan SIGAR tidak merinci jumlah keseluruhan korban, dengan mengatakan bahwa data tersebut bersifat rahasia.
Tetapi menurut angka koalisi militer pimpinan AS, dikatakan, 115 personel militer Afghanistan tewas dan 39 luka-luka dalam 31 serangan orang dalam dalam tiga bulan pertama tahun ini.
Sejak invasi pimpinan AS pada 2001 dan penggulingan pemerintah Taliban, aktivitas kelompok bersenjata menyusut, kemudian mulai tumbuh lagi seiring konflik yang berlangsung selama sekitar 20 tahun. Sekarang, karena tanggal penarikan semakin dekat, bahkan pejabat Amerika mengakui secara terbuka tidak tahu apa-apa tentang kekuatan Taliban.
“Dengan banyak ukuran, Taliban berada dalam posisi militer yang lebih kuat sekarang daripada di titik mana pun sejak 2001,” baca laporan itu.
Ini menghitung bahwa pemerintah Afghanistan menguasai hanya 54 persen dari distrik-distrik tersebut pada Oktober 2018, jumlah terendah yang tercatat sejak pelacakan publik dimulai pada November 2015. Dari distrik yang tersisa, pemerintah AS menggambarkan 34 persen sebagai yang diperebutkan dan 12 persen ada di bawah kontrol pemberontak. (Althaf/arrahmah.com)