TRIPOLI (Arrahmah.com) – Pemberontak Libya melaporkan pada Jumat (5/8/2011) bahwa putra bungsu Muammar Gaddafi, yang mengomandoi salah satu brigade militer terkuat pro-rezim terbunuh oleh serangan udara yang dilancarkan salibis NATO di kota selatan Zlitan.
NATO mengetahui kabar tersebut namun belum memberikan konfirmasi resmi terkait kematian Khamis Gaddafi. Salibis NATO hanya menyatakan bahwa pihaknya pada Kamis malam (4/8) berhasil menghancurkan gudang amunisi dan fasilitas kepolisian di Zlitan yang merupakan pos utama pertempuran antara pemberontak melawan pasukan Gaddafi.
Mohammed al-Rajali, salah seorang juru bicara pemberontak di Benghazi, menyatakan bahwa ada laporan yang belum bisa dikonfirmasi lebih lanjut mengenai kematian Khamis bersama dengan 32 tentara lainnya saat NATO membombardir pusat operasi pemerintah Jumat pagi (5/8).
“Kami ingin menangkap seluruh penjahat ini dan membawa mereka ke pengadilan. Namun jika pembunuhan mereka adalah satu-satunya jalan untuk menghentikan pertumpahan darah ini, saya kira hal itu bisa kami pertimbangkan,” ungkap al-Rajali pada AP.
Pemerintah Libya hingga saat ini belum memberikan komentar mengenai hal tersebut.
Kematian Khamis Gaddafi (27), jika memang benar, akan menjadi pukulan telak bagi rezim otoriter Gaddafi untuk memerangi pemberontakan. Khamis mengomandoi Brigade ke-32 yang dikenal juga dengan nama Brigade Khamis, salah satu unit yang terlatih dengan cukup baik serta dilengkapi dengan perlengkapan militer yang cukup maju.
Laporan ini bukan yang pertama kalinya diklaim oleh pemberontak. Pada akhir Maret lalu, rumor beredar mengenai kematian Khamis dalam serangan udara. Namun kemudian, Khamis muncul beberapa hari setelahnya melalui televisi milik pemerintah saat ia menghadiri perayaan ayahnya di Bab al-Aziziya di Tripoli.
Khamis pernah cedera dalam pemboman AS tahun 1986 sesaat setelah Libya disalahkan dengan tuduhan merencanakan aksi pemboma di Berlin Barat yang menewaskan seorang tentara salibis AS dan seorang perempuan. Saat itu, ia baru berusia 2 atau 3 tahunan.
Bulan Februari, delapan hari sebelum pemberontakan di negara Afrika Utara itu dimulai, Khamis Gaddafi diberi tiket VIP untuk mengunjungi Akademi Angkatan Udara di Colorado saat ia bertandang ke negeri Paman Sam. Setelah ia kembali ke kampung halamannya, ia langsung ditugaskan untuk memimpin pasukan yang loyal pada ayahnya dalam memerangi pemberontakan di Zawiya. (althaf/arrahmah.com)