Penyebaran virus-virus pemikiran yang menyimpang yang dilakukan oleh agen-agen orientalis di Indonesia juga dilakukan melalui media-media, seperti, majalah, text book, dan bahkan buku pegangan untuk mahasiswa IAIN (sekarang Universitas Islam Negeri, UIN). Selain itu, juga melalui seminar, kuliah, artikel-artikel di koran, majalah, dan jurnal, bahkan mereka mendirikan lembaga khusus sebagai ajang berkumpul dan merancang gagasan dengan program pendidikan dalam studi Islam untuk kalangan elit dan eksekutif. Cara penyajiannya pun cukup menarik bagi mereka yang masih awam terhadap Islam. Mereka menggunakan istilah-istilah asing sehingga mengesankan sebagai pemikiran yang ilmiah dan berbobot. Mereka bermain di kancah logika, yang bagi orang-orang awam sepertinya sulit untuk dibantah. Pemikiran yang berbahaya ini disebarkan dengan dalil kebebasan berbicara, berpikir, dan berpendapat. Padahal, dalam fase ini, para mahasiswa sangat membutuhkan bimbingan dan arahan dalam studi ilmu-ilmu Islam. Mereka atau kelompok yang memiliki spesialisasi sekuler dan tidak memiliki dasar dan latar belakang ilmu-ilmu Islam ini memaksakan diri berbicara tentang dan atas nama Islam dalam kuliah dan tulisannya. Mereka bertindak seolah-olah punya kapasitas dan otoritas ilmiah sehingga seenaknya melontarkan kritik dan menyerang ajaran dan syariat Islam. Ini adalah musibah besar yang menimpa umat dan karenanya harus dihadapi.
Jika sempat hadir dalam salah satu seminar mereka, Anda akan mendengarkan pemikiran yang nyeleneh (aneh). Mereka berbicara dengan pandangan dan hawa nafsunya, tidak bersandar pada dalil apa pun. Seorang dari mereka berkata, misalnya, “Iblis sangat kokoh memegang akidah tauhid karena menolak sujud kepada Adam. Adam seorang manusia dan Iblis hanya sujud kepada Allah.”
Lihatlah kesesatan ini, sekilas menurut logika sepertinya benar, padahal tidaklah demikian halnya, tetapi mereka menjadikan agama sebagai mainan dan gurauan. Allah SWT telah mencela perilaku seperti ini dan menyebutnya sebagai perilaku orang kafir. Allah SWT berfirman, yang artinya, “Dan penghuni neraka menyeru penghuni surga: ‘Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu.’ Mereka (penghuni surga) menjawab: ‘Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir, (yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka’.” (Al-A’raf: 50-51).
Sebagai seorang mukmin, Allah telah menetapkan sikap yang harus kita ambil jika menjumpai orang yang memperolok-olokkan ayat-ayat Allah. Yaitu, Allah SWT berfirman, “Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan itu), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (Al-An’am: 68).
Dalam ayat lain, Allah berfirman, “Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia.” (Al-An’am: 70).
Kemudian, seorang dari mereka mengatakan bahwa agama adalah sebab utama perselisihan, konflik, dan perang berdarah di dunia belakangan ini, di Timur maupun Barat. Ia juga menuduh bahwa kebangkitan Islam yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini merupakan gejala fundamentalise Islam yang harus diwaspadai. Ini harus dilakukan sebelum menjadi seperti di Timur Tengah.
Orang-orang seperti itu juga menuduh bahwa jilbab, potong tangan, rajam, dan qishah sebagai warisan budaya Arab yang harus dibuang. Mereka juga menyerukan agar perempuan Muslimah dibolehkan untuk dinikahi oleh pria non-Muslim. Bahkan, ada yang mengklaim bahwa tidak ada yang namanya “Hukum Tuhan”. Ia mengajak umat bersikap kritis terhadap Nabi Muhammad. Alasannya, kata mereka, beliau adalah manusia biasa.
Tampak bahwa pemikiran-pemikiran merusak ini berkembang turun-temurun dan diwariskan lintas generasi. Inti gagasan mereka sejatinya tidak berbeda dengan apa yang pernah dilontarkan pendahulunya. Hal yang berubah hanyalah personal atau retorikanya.
Isu Perempuan
Hadits-hadits tentang perempuan merupakan objek paling banyak dicecar kaum sekuler dan orientalis. Mereka menuduhnya berisi penghinaan terhadap perempuan atau menganggap hukum-hukumnya tidak lagi relevan dalam konteks modern.
Artikel pertama ditulis oleh peneliti wanita berkebangsaan Pakistan, hasil seminar di sebuah sekolah tinggi teologi Kristen Amerika. Artikel kedua ditulis peneliti wanita asal Indonesia. Mari kita simak artikel-artikel itu.
Artikel pertama, dari Riffat Hasan. Peneliti asal Pakistan ini menulis artikel berjudul “Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam, Sejajar di Hadapan Allah?” Dalam artikel ini ia mencela hadits “nasihat dan penciptaan perempuan”. (Makalah tersebut dimuat dalam Harvard Divinity Bulletin, edisi Jan-May 1987. Kemudian diterjemahkan oleh Wardah Hafizh ke dalam bahasa Indonesia dan dimuat dalam jurnal Ulumul Qur’an, no. 4, tahun 1990, hlm. 48-55).
Hadits yang dimaksud adalah riwayat Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Nasihatilah perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk. Dan tulang rusuk paling bengkok adalah bagian paling atas. Jika kau luruskan dengan paksa, ia akan patah. Dan jika kau biarkan, ia akan tetap bengkok. Karenanya, nasihatilah perempuan.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Nasihatilah perempuan dengan baik.” (Shahih Bukhari, Kitab Al-Hadits al-Anbiya’, Bab Khalq Adam wa Zurriyatih, juz 2, hlm. 451, no. hadits 3331; Kitab An-Nikah, Bab Al-Washah bin Nisa’, juz 3, hlm. 383, no. hadits 5186; Shahih Muslim, Kitab Ar-Ridha’, Bab Al-Washiyyah bin Nisa’, juz 2, hlm. 1091, no. hadits 61; Sunan Tirmizi, Kitab Ar-Ridha’, Bab Ma Ja’a fi Haq al-Mar’ah ‘ala Zaujiha, juz 3, hlm. 458, no. hadits 1163; Sunan Ibnu Majah, Kitab An-Nikah, Bab Haq al-Mar’ah ‘ala az-Zauj, juz 1, hlm. 594, no. hadits 1851). Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari, muslim, Tirmidzi, dan Ibnu Majah.
Dalam satu kesempatan, Riffat berpendapat bahwa hadits ini diambil dari Injil dan pada kesempatan lain, ia mengatakan bahwa hadits ini bertentangan dengan penciptaan manusia dalam Al-Qur’an dan sangat sesuai dengan Injil. Riffat menulis, “Hadits ini sangat bertentangan dengan keterangan dalam Al-Qur’an tentang penciptaan manusia. Tetapi, sangat jelas kemiripannya dengan Kitab Kejadian 2/18-33, dan 3/20.” (Ulumul Qur’an, no. 4, tahun 1990, hlm. 53).
Ia mengkritik dari dua segi: matan dan sanad. Nampak bahwa kritik ini berangkat dari kebencian yang mendalam serta emosi yang meluap-luap, lalu melakukan kritik hadits sembarangan dan mengatakan pernyataan sesuka hatinya tanpa dasar kebenaran dan tanpa dalil. Riffat menyerang matan hadits berdasarkan kesimpulan yang ia pahami sebagai berikut. 1. Dongeng tulang rusuk berasal dari Kitab Kejadian 2 dan semua hadits soal ini tidak pernah menyebut nama Adam. 2. Unsur-unsur misogini (kebencian terhadap perempuan) dalam hadits, yang tidak ada dalam Kitab Kejadian, bertentangan dengan ajaran dalam Al-Qur’an yang menyatakan bahwa semua umat manusia telah diciptakan fi ahsani taqwim (dalam bentuk kreasi terbaik). 3. Riffat tidak bisa memahami relevansi pernyataan bahwa bagian paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian atasnya. 4. Anjuran mengasihi akan masuk akal jika perempuan dilahirkan cacat dan karenanya membutuhkan belas kasihan. Apakah “kebengkokan yang tidak bisa diperbaiki” merupakan cacat semacam itu? 5. Anjuran bersikap belas kasih terasa merendahkan perempuan, bernada hedonistik, oportunis, dan tidak bisa dihargai bahkan jika pun perempuan memang “bengkok tak tersembuhkan. (Ulumul Qur’an, no. 4, tahun 1990, hlm. 53).
Selanjutnya, Riffat menyerang sanad dengan menulis sebagai berikut, “Dalam kaitannya dengan isnad, beberapa hal berikut perlu dikemukakan. 1. Semua hadits tersebut diriwayatkan dari Abu Hurairah, shabat Nabi yang dianggap kontroversial oleh banyak ilmuwan Islam pada masanya, termasuk Imam Abu Hanifah, pendiri aliran Sunni. (Di sini perlu kiranya dinyatakan bahwa pada masa awal Islam, sikap yang kritis terhadap hadits dan perawi hadits merupakan hal yang umum, namun pada masa-masa selanjutnya sikap kritis terhadap sahabat dianggap sebagai “kejahatan besar”). 2. Semua hadits tersebut gharib (terlemah dalam klasifikasi hadits) karena terdapat beberapa perawi yang merupakan perawi tunggal. Para ahli hadits terkemuka menganggap satu hadits dipandang shahih, pertama jika diceritakan oleh seorang sahabat; kedua, jika diceritakan oleh dua orang pengikut Nabi; dan ketiga, jika diceritakan oleh banyak orang. 3. Semua hadits tersebut dha’if (lemah) karena semuanya mempunyai sejumlah perawi yang tidak terpercaya.”
Artikel ini merupakan serangan paling keras terhadap hadits soal perempuan, khusunya terhadap hadits ini. Kritik ini bahkan lebih keras dibanding serangan yang dilontarkan kaum orientalis. Riffat sangat membenci hadits ini dan mengungkapkan kalimat yang tidak pantas keluar dari seorang muslimah.
Dilatari kritik keras terhadap hadits ini, sebuah lembaga sekuler Indonesia mengundangnya sebagai pembicara sebuah seminar dengan dukungan publikasi media yang gencar. Demikianlah, terdapat sebuah konspirasi dalam menyebarkan racun pemikiran.
Tendensi kebencian ini tampak ketika Riffat menutup makalahnya dengan menuliskan hal berikut. “Melihat betapa pentingnya masalah ini, maka sangat perlu bagi setiap aktivis hak asasi perempuan Islam untuk mengetahui keterangan dalam Al-Qur’an bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan sama telah diubah oleh hadits. Dengan demikian, satu-satunya cara agar anak cucu perempuan (Hawa) dapat mengakhiri sejarah penindasan yang dilakukan oleh anak cucu Adam ini adalah dengan cara kembali ke titik mula dan mempertanyakan keshahihan hadits yang menjadikan perempuan hanya makhluk kedua dalam ciptaan, tetapi pertama dalam kesalahan, dosa, cacat moral, dan mental. Mereka harus mempertanyakan sumber-sumber yang menganggap mereka bukan sebagai dirinya sebagaimana seharusnya mereka ada, tetapi hanya alat untuk kepentingan dan kesenangan laki-laki.” (Ulumul Qur’an, no. 4, tahun 1990, hlm. 55).
Tampaknya, dalam menghina hadits penciptaan perempuan, Riffat mengikuti langkah dua peneliti wanita dari Amerika, yaitu Jane I Smith dan Yvonne Y. Haddad. Keduanya menulis dalam majalah Women’s Studies International Forum (Lembaga Internasional untuk Studi-Studi Wanita) dengan judul Eve: Islamic Image of Women (Hawa: Pandangan Islam tentang Wanita). (Ket: Jane I Smith adalah pembantu dekan dan pengajar dalam mata kuliah sejarah agama (Islamic Studies) di Harvard Divinity School; Yvonne Y. Haddad adalah Associate Professor di Duncan Black MacDonald Center, Seminari Hartford dan Associate Editor The Muslim World. Makalah tersebut dimuat dalam Women’s Studies International Forum, vol. 5, no. 2, hlm. 135-144, 1982, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dimuat dalam jurnal Ulumul Qur’an, no. 1, tahun 1990, hlm. 28-36).
Dalam tulisannya, ia mengkritik sebagian hadits yang berkaitan dengan penciptaan Hawa. Menurut penulis, serangan peneliti Pakistan ini lebih keras dibanding apa yang dilakukan kaum orientalis.
Sebelum mengulas kritik dan tuduhan seputar hadits ini, penulis memandang perlu menguraikan sekilas kedudukan perempuan pra dan pasca-Islam. Dengan demikian, kita bisa mengerti bagaimana Islam memuliakan, mengangkat keudukan, dan membebaskan perempuan dari kehinaan dan perbudakan yang tak terbayangkan, pada masa-masa umat sebelumnya.
Posisi Wanita Pra-Islam
Perempuan dalam masyarakat Yunani berada pada titik terendah. Mereka dikucilkan masyarakat dan tinggal di rumah sebagai hiasan. Tugas mereka adalah melahirkan anak dengan posisi tidak lebih dari seorang pembantu dan tak memiliki hak waris.
Dalam masyarakat Romawi, laki-laki adalah segalanya dan perempuan sama sekali tak dianggap. Jika dinikahi seorang pria, perempuan masuk ke dalam perintahnya dan memiliki status hukum seperti anaknya. Wanita tak lagi memiliki hubungan dengan keluarganya. Suami berhak mengadili dan menghukumnya jika dituduh berbuat kriminal. Bahkan, suami punya hak untuk membunuhnya.
Agama Yahudi memosisikan wanita seperti pembantu. Sang ayah berhak menjualnya dan ia tidak mendapat warisan. Bagi mereka, warisan khusus bagi naak-anak. Sedikit pengecualian, sang ayah dibolehkan menyumbang sedikit hartanya. Yahudi menganggap anak perempuan sebagai laknat. Menurut mereka karena perempuanlah yang menggoda Adam. Mereka menganggap bahwa wanita lebih pahit dari kematian dan hanya orang baiklah yang dapat selamat.
Adapun perempuan menurut Kristen, hasil kesimpulan dari pertemuan di Paris pada tahun 586 M, wanita adalah makhluk yang diciptakan untuk melayani pria.
Perempuan menurut masyarakat Arab pra-Islam tak kalah hina dari masyarakat sebelumnya. Sebagian besar hak-hak perempuan dihapuskan. Orang Arab pra-Islam bersedih dengan kelahiran anak perempuan, karena merupakan bencana dan aib bagi ayah dan keluarganya, sehingga mereka membunuhnya, tanpa undang-undang dan tradisi yang melindunginya. (Lihat Dr. Abu Sarie Muhammad Abdul Hadi, Wa ‘Asyiruhunna bil Ma’ruf, Maktabah at-Turats al-Islami, Kairo, cet. pertama, tahun 1988, hlm. 4-8).
Al-Qur’an mencatat sikap jahiliah mereka terhadap perempuan sebagai berikut. “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menaggung kahinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl: 58-59). Demikianlah posisi perempuan dalam masyarakat sebelum Islam.
Posisi Wanita Menurut Islam
Ketika datang, Islam memuliakan, menjaga, dan memberi perempuan hak-hak yang tidak dinikmati sebelumnya. Islam menetapkan bahwa dalam soal kemanusiaan, laki-laki dan perempuan adalah sama. Allah SWT berfirman, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya.” (An-Nisa’: 1).
Allah menetapkan bahwa perempuan adalah saudara pria karena berasal dari satu ayah dan satu ibu. Allah berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.” (Al-Hujarat: 13).
Oleh karena itu, Islam memberi perempuan sejumlah hak, menugasinya dengan sejumlah kewajiban, memberinya kesempatan untuk beribadah, dan tugas-tugas syariat lainnya. Perempuan dan laki-laki diberi kesetaraan dalam pahala. Allah berfirman, “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): ‘Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain’.” (Ali Imran: 195).
Allah juga memerintahkan mereka untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari yang mungkar seperti halnya laki-laki. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar.” (At-Taubah: 71).
Hal yang tak dapat dipungkiri oleh siapa pun adalah bahwa Allah menciptakan perempuan dengan karakter dan tabiat yang berbeda dengan laki-laki. Oleh karena itu, syariat datang dengan hukum-hukum yang sesuai dengan kondisinya. Islam menetapkan hak dan kewajiban perempuan sesuai fitrahnya dan oleh karena itu batas-batas itu tidak boleh dilanggar.
Selain itu, Islam menetapkan hukum tertentu yang tidak boleh dilanggar perempuan karena hal itu akan menimbulkan masalah dan merusak keseimbangan. Hal serupa berlaku bagi laki-laki. Allah SWT Mahatahu tentang kondisi hamba-hamba-Nya.
Rasulullah datang membawa hadits yang menjelaskan dan merinci keterangan umum dalam Al-Qur’an. Jika hadits itu benar, mustahil ia akan kontradiktif dengan Al-Qur’an. Tak satu pun hadits–jika benar bersumber dari Rasul–bertentangan dengan Al-Qur’an. Jika seseorang melihatnya bertentangan dengan Al-Qur’an, berarti ada yang salah dalam pikirannya sehingga keliru memahami.
Koreksi Seputar Matan Hadits
Pertama, harus kita pahami bahwa sikap Islam terhadap perempuan tidak bisa disimpulkan dari satu atau dua hadits. Kesimpulan harus diambil dari nash-nash Al-Qur’an dan hadits secara umum, termasuk praktik Rasulullah saw.
Dalam kasus hadits di atas, kesimpulan tidak bisa diambil begitu saja tanpa membandingkannya dengan banyak hadits lain soal perempuan. Metode yang keliru akan mengantarkan seseorang pada kesimpulan yang tidak sesuai dengan sikap Islam yang sebenarnya.
Pastinya, Islam memuliakan perempuan, seperti dijelaskan sebelumnya, dengan memberinya seluruh tanggung jawab kewanitaan yang prinsipil. Salah satunya adalah tanggung jawab mengasuh anak. Secara logika, tugas ini mustahil diamanahkan Allah pada manusia yang tidak lurus. Adalah tidak aman bagi kaum pria menyerahkan putra-putrinya ke dalam asuhan manusia yang tidak berdaya dan “bengkok” secara psikologis. Atas dasar ini, mustahil jika pemahaman hadits ini bernada miring dan meremehkan perempuan.
Di antara peran perempuan yang persis sama dengan kaum lelaki adalah sebagai berikut. 1. Tanggung jawab sebagai manusia, yaitu bertanggung jawab atas perbuatannya untuk dievaluasi di akhirat. Hal ini ditegaskan Al-Qur’an. 2. Tanggung jawab pidana. Ia menanggung hukuman pidana di dunia atas perbuatannya yang melanggar. Ini juga ditetapkan dalam Al-Qur’an. 3. Hak aktivitas sipil. Hak mengatur harta, melakukan akad dan perwalian terhadap anak yang masih di bawah umur. Ini ditetapkan oleh mayoritas para ahli fikih dengan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. 4. Hak dalam pengadilan yang berhubungan dengan harta. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. 5. Hak meriwayatkan sunnah yang berfungsi menjelaskan Al-Qur’an. Ini disepakati oleh seluruh ulama.
Dari sini, tuduhan bahwa Islam merendahkan martabat atau melecehkan perempuan amat sulit dipahami. Oleh karena itu, hadits tersebut harus dipahami secara benar, berdasarkan nash-nash lain dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kedua, dalam hadits ini tak ada keterangan yang mengisyaratkan kebencian terhadap perempuan. Tampaknya, yang membuat Riffat risih adalah kisah penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam. Ia menganggap ini adalah penghinaan dan bertentangan dengan nash Al-Qur’an bahwa manusia diciptakan dalam bentuk terbaik. Dalam hal ini, Riffat keliru.
Sebenarnya tidak ada pertentangan antara penciptaan manusia sebagai sebaik-baik penciptaan dengan penciptaan perempuan dari tulang rusuk. Pasalnya, yang dimaksud dengan sebaik-baik penciptaan adalah bentuk fisik manusia dengan organ dan anatomi yang sempurna. Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk, susunan, dan rangkaian yang terbaik. Hal ini terkait dengan bentuk fisik dan bukan pada asal penciptaan manusia. Tak dapat dipungkiri bahwa secara fisik, perempuan diciptakan cantik dan menarik sehingga dapat membuat pria tergoda. Ini berlaku untuk seluruh wanita, baik berkulit putih maupun hitam, karena mereka mempunyai struktur fisik yang sama.
Jika peneliti Pakistan ini melihat penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki adalah penghinaan, kenyataannya laki-laki diciptakan dari tanah. Dari dua sumber ini, unsur manakah yang lebih baik dan mulia? Penulis yakin, Riffat sepakat bahwa penciptaan perempuan dari tulang rusuk lebih mulia dan lebih tinggi dari penciptaan pria yang berasal dari tanah. Selanjutnya, kenyataan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam mengandung bakna keserasian dengan peran saling melengkapi. Satu jenis tak dapat lepas dari jenis lainnya. Wanita membutuhkan pria dan begitu juga sebaliknya.
Ketiga, “bengkok” dalam hadits ini tak disertai penjelasan tentang konteksnya. Rasul hanya mengisyaratkan pengaruh bengkok tulang rusuk pada sebagian perilaku perempuan yang membuat pria merasa terganggu. Barangkali, berdasarkan realita umum, yang dimaksud ungkapan “bengkok” adalah sikap emosional, reaktif, sensitif, dan inkonsistensi perilaku yang dominan.
Pengertian dasar bengkok kontradiksi dengan konsistensi. Jika kematangan sikap atau kemampuan mengendalikan emosi adalah sebuah konsistensi, dominasi emosi adalah suatu kebengkokan. Jika kemampuan manusia menguasai perasaannya adalah konsistensi, dominasi perasaan jelas merupakan suatu kebengkokan. Secara khusus, perempuan kerap dikuasai perasaan yang membuatnya hilang keseimbangan dalam mengambil keputusan. Atau, karena faktor emosi, lahir sikap ketergesaan, yang melahirkan sikap inkonsistensi serta sikap kurang simpatik lainnya lewat tindakan dan ucapan.
Benarlah Rasulullah saw. ketika bersabda, “Ia (wanita) tak akan tetap padamu dalam satu sikap.” Inkonsistensi inilah yang mengganggu pikiran pria dan memancing kemarahannya. Interpretasi ini dikuatkan dengan apa yang disbdakan Rasul dalam salah satu nasihatnya pada kaum wanita: “Kalian memperbanyak laknat (celaan) dan mengingkari (kebaikan) suami.” Sikap ini biasanya terjadi pada saat marah, atau merupakan buah dari perasaan cepat terusik dan tersinggung.
Jika bengkok dimaknai bahwa wanita memiliki tabiat penipu dan curang, penulis yakin ini sangat berlebihan. Ini merupakan penghinaan terhadap perempuan secara umum dan kontras dengan berbagai informasi tentang kehidupan para sahabat perempuan yang tidak memiliki sifat ini. Tuduhan ini juga tak sesuai dengan realitas yang kita saksikan dari ibu, sudari, dan istri kita. Masuk akalkah menyerahkan pendidikan kepada penipu? (Abd al-Halim Abu Syuqqah, Tahrir al-Mar’ah fi Ashr ar-Risalah, Dar al-Qalam, Kuwait, cet. pertama, tahun 1410 H, juz 1, hlm. 288-289).
Keempat, hadits ini membimbing agar kaum lelaki bersikap sabar terhadap tabiat perempuan akibat faktor ini. Maksudnya, di sini adalah sabda Rasulullah saw., “Jika engkau luruskan ia, engkau mematahkannya, dan mematahkannya adalah dengan menceraikannya.” (Shahih Muslim, juz 2, hlm. 1091, no. hadits. 59). Kaum pria hendaknya tidak menjadikan hal ini alasan rasa kesal dan kecewanya karena merupakan karakter yang khusus Allah ciptakan untuk perempuan. Pria dituntut sabar, pemaaf, dan sadar bahwa karakter ini sangat dibutuhkan dalam peran-peran khusus, seperti hamil, menyusui, dan mengasuh karena butuh persaan yang dalam dan sensitivitas yang tinggi. (Abd al-Halim Abu Syuqqah, Tahrir al-Mar’ah fi Ashr ar-Risalah, Dar al-Qalam, Kuwait, cet. pertama, tahun 1410 H, juz 1, hlm. 289).
Kaum pria hendaknya sadar bahwa istrinya memiliki kelebihan dan keistimewaan yang dapat menggantikan kekurangan ini. Benarlah sabda Rasul tentang bagaimana menyikapi perilaku wanita, “Janganlah seorang mukmin cepat menceraikan seorang mukminah; jika benci pada satu perangai, ia akan menyukai perangai yang lainnya.” (Shahih Muslim, Kitab Ar-Ridha Bab Al-Washiyyat bin Nisa’, juz 2, hlm. 1091).
Kelima, tidak ada kontradiksi antara nash-nash Al-Qur’an dan hadits jika benar shahih dari Rasulullah. Hadits merinci dan menjelaskan apa yang secara umum dijelaskan Al-Qur’an. Jika hadits shahih merinci penciptaan Hawa, ini tidak bertentangan dan merupakan penjelasan terhadap Al-Qur’an. Alasannya, Al-Qur’an hanya membicarakan garis besar masalah ini dan hadits bertugas merincinya. Inilah yang berlaku dengan kisah Adam dan Hawa.
Apa yang menghalangi Allah untuk menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam seperti tertuang dalam hadits Abu Hurairah ini?
Keenam, kemiripan Injil dan nash-nash hadits tentang penciptaan Hawa bukan merupakan aib. Kemiripan ini bukan menunjukkan bahwa hadits terpengaruh oleh Injil dan kitab samawi lainnya. Informasi dari Injil merupakan sisa teks-teks yang selamat dari penyimpangan. Seperti diketahui, banyak nash yang terdapat dalam Taurat dan Injil diselewengkan oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Mungkin saja ini termasuk yang selamat dari penyimpangan.
Sumber informasi ini, jika benar adalah dari Allah. Apa yang menghalangi kemiripan antara keduanya? Bagaimanapun, sumbernya adalah satu. Dia yang menurunkan Taurat dan Injil, juga yang memberitahukan kepada Nabi Muhammad saw. tentang masalah gaib. Al-Qur’an telah menegaskan bahwa Allah mengutus Rasulullah saw. untuk membenarkan risalah para nabi sebelumnya. Allah berfirman, “Dia menurunkan al-kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil.” (Ali Imran: 3).
Ketujuh, tidak benar bahwa kisah penciptaan perempuan dari tulang rusuk adalah dongeng. Dongeng adalah cerita yang disebarkan oleh manusia tanpa bukti. Informasi penciptaan perempuan ini didasarkan pada hadits shahih yang tidak mungkin diragukan lagi. Tuduhan Raffat bahwa hadits ini adalah dongeng, bukan saja tidak benar, melainkan juga menodai kesucian hadits dan mengingkari keshahihannya.
Kedelapan, dugaan bahwa nama Adam tidak disebut dalam hadits ini dapat dijawab bahwa ini adalah pendapat para ahli fikih. Imam Nawawi berkata, “Di dalamnya terdapat dalil terhadap apa yang ditegaskan para ahli fikih atau sebagian mereka bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Allah Ta’ala berfirman, ‘Ia menciptakan kalian dari satu diri.’ Nabi menegaskan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk.” (An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 10, hlm. 311).
Sebagai tambahan, terdapat hadits lain yang dikemukakan As-Suyuthi dalam tafsirnya, di antaranya: “Abusy Syaikh meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang firman Allah, ‘Ia mencpitakan kalian dari satu diri.’ Ia berkata, ‘Dari Adam. Dan menciptakan darinya pasangannya.’ Ia berkata, ‘Hawa diciptakan dari tulang rusuknya yang pendek.’ Seperti halnya dikeluarkan oleh Abd bin Humaid dan Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim dari Mujahid yang serupa dengan ini.” (As-Suyuthi, Al-Dur al-Nabtsur, Tafsir surah An-Nisa’, juz 2, hlm. 116).
Berbagai riwayat ini telah dikemukakan As-Suyuthi dalam kitab tafsirnya, meskipun riwayatnya mauquf pada Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbad, Mujahid, dan lainnya, semoga Allah meridhai mereka. Akan tetapi, riwayat ini dikuatkan oleh hadits Abu Hurairah yang terdahulu.
Sumber: Diadaptasi dari Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hurgronje hingga Harun Nasution, Dr. Daud Rasyid, M.A. (Bandung: Syaamil, 2006), hlm. 115-136).
Oleh: Abu Annisa
Sumber: www.alislamu.com
Sumber: Alislamu