Oleh : Abu Fadhilah (Aktivis Gerakan Kontemporer Indonesia)
(Arrahmah.com) – Di bulan suci Ramadhan yang mulia ini serangan terhadap kaum muslimin Palestine di Gaza sungguh menyayat hati. Dari lubuk nurani kemanusiaan siapapun dan dimanapun berada. Apa yang dilakukan Israel secara berulang-ulang dan bertahun-tahun lamanya itu tidak berdaya dibendung. Dunia seolah diam seribu basa melihat pemandangan genocide kaum muslimin oleh Israel laknatulloh alaihi yang melebihi perilaku binatang. Menambah deretan panjang deraan kedhaliman dan kesengsaraan kaum muslimin di dunia islam. Muslim Moro di Philiphina, muslim Patani di Thailand, muslim Suriah, Irak, Afghanistan dan hampir merata di seluruh negeri-negeri muslim baik di medan pergolakan jihad maupun medan pergolakan politik. Potensi semangat perlawanan terhadap Israel yang menduduki Palestine hampir mendapati momentumnya saat Mursi menjadi presiden Mesir. Hal itu terlihat jelas dari salah satu pidato Mursi yang menginspirasi gerakan jihad kaum muslimin Mesir dan potensial menggerakkan kaum muslimin sekitarnya untuk membebaskan Gaza. Tetapi nampaknya kaum muslimin perlu belajar banyak dan dituntut dewasa. Mengelola perbedaan menjadi sebuah potensi sinergi yang saling menguatkan satu sama lain. Menjadi kolaborasi kekuatan utuh untuk menghantam musuh. Perbedaan pandangan perjuangan antara IM dengan partai Keadilan di satu sisi, dan partai An Nuur yang di back up oleh Salafi di sisi yang lain juga kelompok gerakan islam yang berada di luar pusaran inti kekuatan masih perlu direkonsiliasi. Masih kuat dan pekatnya arogansi kelompok justru menjadi celah kelemahan untuk dihantam oleh kelompok-kelompok liberalis dan sekuleris. Sampai kemudian pupus sudah ancaman potensial perlawanan terhadap Israel dengan dikudetanya Mursi.
Belum lagi memetakan dukungan opini yang menguatkan perjuangan pembebasan Gaza secara solid. Ada dukungan opini yang sejalan dengan kepentingan penguatan para mujahidin Gaza yang berada di garda terdepan melawan Israel. Ada dukungan opini yang tanpa disadari justru menjadi wacana yang kering oleh urgensi kebutuhan riil karena hanya berisi seruan-seruan yang bersifat normatif dan diplomatis. Dalam bentuk harapan dan cita-cita semata. Sehingga seringkali muncul pertanyaan apa wujud dukungan riilnya. Dibutuhkan tidak saja harapan dan cita-cita untuk ikut terlibat mengambil peran membantu kaum muslimin Gaza. Melainkan bentuk dukungan riil yang diambil sebagai “tabanni mashalih umat” yang menjadi wujud kepedulian kaum muslimin di berbagai negeri termasuk negeri ini.
Perlu bangunan kedekatan komunikasi dan sinergi antara para mujahidin Gaza dengan seluruh elemen gerakan islam di berbagai penjuru dunia termasuk negeri ini untuk mendukungnya. Bukankah kaum muslimin dan mukmin itu bersaudara. Apa yang dirasakan oleh saudara muslim mukmin di berbagai negara wabil khusus di Gaza harusnya dirasakan oleh kaum muslimin di dunia. Pendiaman dalam bentuk apapun baik dengan dalih wacana atau diplomatis hanya akan membuat tidak terwujudnya rasa kebersamaan senasib dan sepenanggungan kaum muslimin Gaza. Perlu dukungan riil dana, obat-obatan, senjata atau bahkan para mujahidin yang siap berangkat untuk memenuhi panggilan Allah merapat ke jalur Gaza dengan akses khusus yang akan dirasakan sebagai kontribusi berarti. Karena jelas seruan kepada para tentara di negeri-negeri kufur saat ini hanya bersifat jargon-jargon belaka. Kecuali Allah tanamkan hidayah kepada para tentara itu untuk bergerak ke Gaza membantu Palestine. Wacana himbauan berharap bergeraknya para tentara ke Gaza seperti pepatah Jawa “Den koyo nguyahi segoro”. Kita menemukan persoalan struktural ketentaraan yang sudah dikooptasi oleh sistem pendidikan militer oleh negara kafir muharibban fi’lan AS bersama sekutu-sekutunya. Yang berhasil memutus akar sejarah ketentaraan di negeri ini dari cerita panjang perjuangan para mujahidin nusantara dari Sabang sampai Merauke. Para tentara itu seolah dilupakan bahwa mereka adalah keturunan para mujahidin Pangeran Diponegoro, Ali Basyah Sentot Prawirodirjo, Kyai Mojo, Sultan Ageng Tirtayasa, Fatahillah, Sultan Hasanuddin, Cut Nyak Din, Cut Nyak Meutia, Imam Bonjol, Sultan Gowa, dan banyak deretan nama para mujahidin tanah air yang darahnya harum semerbak wangi di bumi pertiwi.
Dalam sejarah perjuangan melawan penjajah telah diajarkan oleh para pendahulu kita tentang bagaimana sikap seharusnya kaum muslimin lakukan di negeri ini. Dan bergesernya medan perjuangan jihad ke medan perjuangan diplomatis di parlemen pada proses kemudian sesungguhnya cerminan terjebaknya kaum muslimin ke dalam medan pergolakan yang dibuat oleh musuh-musuh islam. Kekalahan demi kekalahan mendera kaum muslimin. Sampai sedemikian hingga kata penerapan syariat islam pun yang masif menjadi wacana perjuangan parlemen pada awalnya kemudian tenggelam di batu karam seolah tak ada yang mampu mengangkatnya. Di sisi lain prototype struktur kekuasaan yang hadir saat ini secara substansial tidak berbeda dengan struktur kekuasaan buatan penjajah Belanda yang dibentuk sebagai mantel perlindungan kepentingan penjajah asing. Di sinilah penting direnungkan rekontruksi perjuangan umat islam yang pada awalnya dipenuhi oleh dakwah dan jihad sebagai satu kesatuan tidak terpisah. Jihad sebagai kewajiban tertinggi dalam islam menjadi ujung tombak kemuliaan entitas muslim mukmin. Sementara dakwah sebagai kewajiban, membangun konstruksi kesadaran untuk membentuk keyakinan yang kuat, utuh dan komprehensif akan islam.
Tetap dipakainya struktur dan sistem kekuasaan sekarang sebagai jalan perjuangan hanya akan menciptakan ulama dan umara yang umala. Yang tidak memiliki keberdayaan politik. Salah satu faktornya adalah tercerabutnya ruhul jihad di dalam tubuh mereka sedemikian jauh. Hingga tercermin dari kecintaan pada dunia yang tinggi dan ketakutan kematian karena putus dari kenikmatan duniawi yang melenakan. Sebuah kenyataan yang hinggap secara sistematis dan menggurita di dalam kehidupan kaum muslimin saat ini. Kecaman keras yang keluar dari mulut para penguasa dan calon para penguasa terhadap Israel sejalan dengan kecaman keras dari berbagai elemen masyarakat tidak akan pernah merubah keadaan. Karena kebutuhan persoalan Gaza tidak selesai dalam bentuk edukasi, diplomasi, wacana atau cita-cita. Kaum muslimin Palestine di Gaza butuh uluran tangan yang nyata. Tidak cukup dengan kata-kata dan retorika. Mewujudkan wacana menjadi realita. Butuh semangat yang telah ditanamkan oleh nenek moyang kita para mujahidin yang mulia. Yang mestinya menginspirasi dan menyatu ke dalam relung darah daging para keturunannya. Yang pantang mundur rawe-rawe rantas malang-malang putung. Tercermin pada pekikan takbir Bung Tomo ketika memimpin pertempuran rakyat Indonesia di Surabaya. Dan medan pergolakan yang dihadapi kaum muslimin di berbagai negeri muslim sesungguhnya harus dipahami sebagai medan pertempuran global. Linear dengan keyakinan AS, Israel bersama sekutu-sekutunya sebagai polisi dunia. Seperti tercermin dalam filem-filem yang dibuatnya. Hal ini harusnya memantik kesadaran kaum muslimin di manapun berada bahwa telah terjadi pertempuran dalam bentuk invasi global secara militer, politik dan ekonomi di berbagai negeri-negeri muslim. Di antara berbagai kekuatan politik negara yang lain seperti China dan India.
Hal yang penting awal dilakukan adalah bagaimana mewujudkan kesadaran kaum muslimin untuk merancang kesatuan kekuatan dengan menonjolkan kesatuan dalam keberagaman potensi dan jalan perjuangan seluruh elemen gerakan islam. Meninggalkan dan membuang jauh-jauh perasaan ta’ashub berlebihan yang muncul secara vulgar maupun halus. Mengedepankan saling pengertian dan saling menghormati antara sesama saudara mukmin. Bukan hanya sekedar menyampaikan seruan solusi global yang menjadi mahkota kewajiban dan janji dari Allah semata. Tanpa dibarengi dengan kepedulian kongkret sebagai wujud perasaan sesama saudara yang diikat oleh satu kesatuan aqidah. Sebagaimana yang sering terlontar di mulut para pengemban dakwah sebuah hadits : “Barangsiapa yang pada pagi harinya hasrat dunianya lebih besar maka itu tidak ada apa-apanya di sisi Allah, dan barangsiapa yang tidak takut kepada Allah maka itu tidak ada apa-apanya di sisi Allah, dan barang siapa yang tidak perhatian dengan urusan kaum muslimin semuanya maka dia bukan golongan mereka” (HR. Al-Hakim dan Baihaqi).
Perlu kontruksi gerakan yang mengakar dan menyentuh secara lokal meski di atas basis pemikiran global. Perlu dukungan aktifitas riil tanpa harus menunggu datangnya solusi dari segala solusi yang sistemik dan komprehensif. Tidak perlu menunggu tegaknya khilafah untuk menjalankan kewajiban jihad. Tidak harus menunggu tegaknya khilafah untuk mengirim dukungan dana, obat-obatan bahkan persenjataan. Tidak mesti menunggu tegaknya khilafah untuk mengirim bantuan para mujahidin yang siap berangkat. Tidak mesti menunggu tidak bergeraknya para tentara negeri-negeri kaum muslimin sampai dengan khilafah tegak dan menyerukan. Semua kewajiban itu bisa dilakukan secara parallel sebagaimana kewajiban terikatnya kaum muslimin terhadap seluruh hukum syara’ tanpa membedakan satu ketetapan hukum dengan yang lain. Bukankah Allah Subhanahu Wa Taalla telah mengancam kepada kita semua tentang pengikatan diri terhadap sebagian hukum dan meninggalkan sebagaian hukum yang lain. “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud membedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.” (QS. an-Nisa: 150-151).
Keimanan kita akan kewajiban untuk menegakkan khilafah islamiyah sama kedudukannya dengan keimanan kita terhadap kewajiban akan jihad baik sebelum khilafah tegak maupun pasca tegaknya khilafah. Sama kedudukannya dengan kewajiban menopang hal-hal yang diperlukan untuk membantu meringankan beban penderitaan saudara kita di Gaza Palestina secara kongkret dalam bentuk dana, obat-obatan dan persenjataan yang diperlukan. Salah satu kewajiban di antaranya tidak akan menghapus keberadaan kewajiban yang lain. Begitulah kesempurnaan Islam. Apalagi ketika seruan jihad dan khilafah sebagai seruan wajib untuk memecahkan problem invasi Israel laknatulloh alaihi ke Gaza dipahami hanya sebagai dorongan dan himbauan moral kepada para penguasa untuk menggerakkan bala tentaranya an sich. Sementara tidak sedang berjuang untuk mempersiapkan diri dengan segala sesuatunya untuk berangkat jihad. Hal ini bisa dipahami sebagai pengingkaran terhadap kaedah “mã layatimu al-wajib illâ bihi fa huwa al-wajib”. Atau bahkan merupakan bentuk pengingkaran terhadap kontradiksinya antara ucapan dengan apa yang dilakukan. Di satu sisi menyerukan jihad namun di sisi lain seruan itu hanya sekedar jargon tidak dipahami dalam bentuk sepenuhnya untuk mempersiapkannya. Allah murka kepada orang yang hanya pandai berkata saja, tidak melaksanakan apa yang diucapkannya, sebagaimana firman-Nya yang diabadikan dalam Al-Qur’an [QSAsh Shaff (61) : 3] : “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” Namun Allah menyukai orang yang mewujudkan atau mempraktekkan apa yang diucapkannya yaitu orang-orang yang berperang pada jalan Allah dalam satu barisan (Ash Shaff), tersurat dalam Al-Qur’an [QS Ash Shaff (61) : 4] : “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.”
Akhirnya begitu pentingnya mengedepankan persaudaran dan persahabatan di antara kaum muslimin dan mukmin dari berbagai latar belakang gerakan islam. Allah sangat suka kepada Muslim yang mau membina persahabatan, persaudaraan dan persatuan layaknya bangunan yang kokoh, lebih-lebih dalam upaya membela agama Allah (QS. 61 : 4). Apabila hal itu terwujud, maka jaminan Allah akan menyertai kehidupan umat Islam. Rasul bersabda, “Allah akan terus menolong seorang hamba selama hamba itu senantiasa menolong saudaranya.” (HR. Bukhari). Wallahu a’lam bis shawab.
(azm/arrahmah.com)