KABUL (Arrahmah.com) – Sebuah drone (pesawat tak berawak) milik AS, pada Ahad (29/8/2021), dengan sengaja menabrak sebuah mobil di halaman rumah keluarga Afghanistan saat mereka tengah berkumpul dan menewaskan 10 orang, termasuk 6 anak-anak.
Ramal Ahmadi, salah seorang korban selamat dalam serangan itu, menceritakan bahwa ia tengah menonton kartun bersama keponakannya, saat drone itu menabrak halaman rumahnya.
Beberapa saat sebelum serangan itu terjadi, keluarga Ramal Ahmadi sedang berkumpul untuk merayakan kembalinya saudara sulung laki-laki di keluarga itu.
Dilansir Daily Sabah pada Jumat (3/9), Ahmadi menceritakan bahwa hal terakhir yang dia ingat adalah suara klakson mobil kakaknya dan jeritan suka cita dari anak-anak yang menyambut kedatangan kakaknya di halaman rumahnya.
Pejabat senior militer AS mengatakan serangan drone tersebut ditujukan untuk menyerang teroris Daesh (ISIS-K) dan melemahkan mereka untuk mengganggu proses akhir penarikan pasukan AS dari Afghanistan.
Tiga hari sebelum serangan drone tersebut, teroris Daesh (ISIS-K) melancarkan serangan bom bunuh diri di Gerbang Abbey, salah satu gerbang yeng berada di bandara internasional Hamid Karzai, Kabul, menewaskan 13 anggota militer AS dan 169 warga Afghanistan.
Jenderal Angkatan Darat Mark Milley, yang juga merupakan Ketua Kepala Staf Gabungan, mengatakan pada Rabu (1/9) bahwa salah satu dari 10 korban yang tewas akibat serangan drone AS adalah “fasilitator” Daesh.
Salah seorang pejabat Amerika mencatat bahwa ledakan berikutnya dihasilkan dari bom yang ada di mobil, sehingga menyebabkan korban semakin banyak. Namun, pernyataan tersebut dibantah oleh keluarga Ahmadi, bahkan mereka meminta bukti jika ada bom di dalam mobil.
“Mereka harus memberi kami jawaban. Apakah darah kami sangat tidak berharga, kami bahkan tidak mendapatkan penjelasan?” ujar Ahmadi.
Emal, saudara Ahmadi, baru-baru ini membongkar mobil Toyota Corolla yang hancur setelah ditabrak oleh drone AS. Di dalamnya, ia menemukan baju anak-anak yang berlumuran darah. Dia mengatakan bahwa beberapa anggota keluarga, termasuk anak-anak, sedang berada di dalam mobil saat drone AS menabrak mobil tersebut.
Emal berpendapat jika ada bom di dalam mobil, maka akan ada kerusakan yang jauh lebih parah di halaman dan di rumah. Namun, Emal menunjukkan dua tabung gas yang tidak rusak di sudut halaman.
“Jika mobil itu diisi bahan peledak seperti yang dikatakan orang Amerika, lalu mengapa gas ini tidak meledak,” tanya Emal. Dia juga menunjuk ke dinding bata yang dibangun dengan buruk di dekat mobil yang ditabrak. “Bagaimana mungkin tembok itu masih berdiri jika mobil ini penuh dengan bahan peledak?” imbuhnya.
Bagi Emal, tuduhan bahwa keluarga mereka terlibat dengan Daesh adalah hal yang menghancurkan.
“Jika Anda memiliki bukti, saya katakan ‘silahkan bunuh saya’ tetapi tunjukkan buktinya kepada saya,” ujar Emal, ayah dari Malika, seorang anak berusia tiga tahun yang tewas dalam serangan tersebut.
“Mereka memiliki teknologi yang tinggi sehingga mereka dapat melihat semut di tanah, tetapi mereka tidak dapat melihat halaman yang penuh dengan anak-anak?” tanya Emal dengan geram.
Sebelumnya, Jenderal Milley mengatakan bahwa serangan tersebut telah dilakukan dengan sangat teliti. “Kami memantau itu dengan berbagai cara dan semua keterlibatan dipenuhi. Kami juga melewati tingkatan ketelitian yang sama yang telah kami lakukan selama bertahun-tahun untuk kemudian kami melancarkan serangan”.
Emal menjelaskan bahwa kakak tertua mereka, Zamarai, dan keponakannya Nasir Haideri, telah bekerja untuk perusahaan sekutu pemerintah AS dan telah mengajukan permohonan visa imigrasi khusus yang diberikan kepada warga Afghanistan yang memiliki hubungan seperti itu dengan AS. Permohonan mereka sedang diproses saat serangan tersebut terjadi.
Emal juga mengatakan, bahwa Nasir (30), yang rencananya akan menikah beberapa hari lagi, bermimpi untuk bisa pergi ke Amerika. (rafa/arrahmah.com)