LONDON (Arrahmah.com) – Pemboman oleh koalisi pimpinan AS yang intensif di kota Raqqa, Suriah, menewaskan lebih dari 1.600 warga sipil selama empat bulan pada tahun 2017, menurut sebuah laporan yang dirilis pada Kamis (25/4/2019).
Temuan ini dikompilasi setelah berbulan-bulan penelitian lapangan dan analisis data yang luas, termasuk melalui proyek yang menyaksikan 3.000 aktivis digital memindai citra satelit secara online, lansir AFP.
Pada pertengahan 2017, Raqqa telah menjadi kubu ISIS dan koalisi pimpinan AS melancarkan kampanye militer untuk menghancurkan kelompok tersebut.
Investigasi yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang dilakukan oleh Amnesti Internasional dan kelompok pemantau Airwars, mendesak anggota koalisi terkemuka untuk menunjukkan transparansi dan akuntabilitas yang lebih besar.
“Banyak dari pengeboman udara tidak akurat dan puluhan ribu serangan artileri tidak pandang bulu,” kata Donatella Rovera, penasihat respon krisis di Amnesti.
Korban tewas sipil untuk kampanye koalisi, yang mendukung pasukan darat yang dipimpin Kurdi melawan ISIS, berjumlah lebih dari 1.600, menurut laporan itu.
Koalisi hanya mengakui sekitar 10 persen dari kematian itu, katanya.
“Pasukan koalisi meruntuhkan Raqqa, tetapi mereka tidak bisa menghapus kebenaran,” kata Rovera.
“Amnesti Internasional dan Airwars menyerukan pasukan Koalisi untuk menyudahi penolakan mereka mengenai skala mengejutkan kematian warga sipil dan kehancuran yang disebabkan oleh ofensif mereka di Raqqa.”
Rovera mengatakan sejumlah alasan menjelaskan tingginya korban di kalangan warga sipil, termasuk kegagalan intelijen dan pengawasan, dan penggunaan persenjataan yang tidak pantas.
Dalam banyak kasus, bangunan di Raqqa menjadi sasaran setelah pengawasan jarak jauh yang tidak memadai, kata Rovera, menewaskan seluruh keluarga yang masih tinggal atau berlindung di dalamnya.
Rovera yang menghabiskan waktu selama berbulan-bulan di Raqqa sejak kota tersebut direbut SDF yang didukung AS, juga mengatakan pilihan senjata koalisi adalah masalah.
“Itu mungkin ada hubungannya dengan uang,” ungkapnya.
“Ada, yang lebih mahal, misil radius dengan dampak yang lebih kecil, tetapi koalisi sering menggunakan bom jenis MK yang menghancurkan seluruh bangunan. Itu jauh lebih murah,” katanya.
Amnesti juga mengkritik penggunaan artileri dalam pertempuran Raqqa, yang dibanggakan oleh seorang pejabat militer AS, adalah yang tertinggi di AS sejak perang Vietnam.
“Dengan margin kesalahan lebih dari 100 meter, artileri tanpa arah tidak tepat dan penggunaannya di daerah-daerah berpenduduk merupakan serangan sembarangan,” kata kelompok hak asasi yang berbasis di London itu.
“Banyak kasus yang didokumentasikan oleh Amnesti Internasional kemungkinan merupakan pelanggaran terhadap hukum kemanusiaan internasional dan memerlukan penyelidikan lebih lanjut,” lanjut Amnesti. (haninmazaya/arrahmah.com)