JAKARTA (Arrahmah.com) – Lembaga kemanusiaan kegawatdaruratan medis Medical Emergency Rescue Committee (MER-C), mengecam keras tindakan represif pemerintah dan aparat dalam menangani massa pada 21-23 Mei 2019, khususnya terhadap tim medis dan anak dibawah umum.
Lembaga tersebut menilai, sejumlah tindakan yang dilakukan tidak mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan dan Konvensi Internasional.
Oleh karena itu, MER-C berencana melaporkan aparat Kepolisan Indonesia ke Mahkamah Internasional.
Saat ini, MER-C mengumpulkan sejumlah berkas dan alat bukti yang ada, di antaranya berupa peluru tajam yang diduga digunakan oleh aparat di lapangan.
“Jadi, ada peluru tajam dan ini belum terpakai, ini ditemukan oleh tim kami di lapangan,” kata Pendiri dan Dewan Penasehat MER-C, Joserizal Jurnalis, di kantornya, Jalan Kramat Lontar, Senen, Jakarta Pusat, Sabtu (25/5/2019).
Alat bukti lainnya berupa selongsong peluru karet yang sudah terpakai. Selain itu, ditemukan juga timah yang diduga bekas peluru yang berasal dari senjata laras pendek.
“Ini ada timah, biasanya dari senjata genggam atau revolver. Nah, ini selongsongnya, sepertinya peluru karet. Ini diambil dari pasien yang dioperasi, ini diambil dari relawan,” jelas Jose.
MER-C juga tengah mengumpulkan keterangan dari saksi yang ada untuk menguatkan laporan yang akan diajukan.
Dengan ditemukannya beberapa alat bukti tersebut, Jose menduga Kepolisian juga menggunakan peluru tajam dalam mengamankan aksi unjuk rasa.
Jose menilai, ini tak tepat. Sebab, pihak yang dihadapi adalah rakyat yang tak memiliki senjata dan hanya menyuarakan aspirasinya.
“Ini hanya sebuah demonstrasi, orang tak pakai senjata, cuma batu. Jadi, saya rasa ini tak seimbang dengan senjata api yang dipunyai aparat,” tegasnya.
Selain itu, Jose menekankan, penyerangan terhadap petugas medis dan para pendemo itu sangat melanggar aturan dan bertentangan dengan Konvensi Jenewa.
Berdasarkan Konvensi Jenewa, apabila kondisi berat seperti perang saja, relawan medis, sipil, dan wanita itu dilindungi. Apalagi, hanya aksi demonstrasi yang tak seberat peperangan.
“Perang saja ada etika, apalagi hanya demo. Tak bisa, perang bunuh orang sembarangan. Ini dinyatakan dalam Geneva Convention, meski terjadi kericuhan, tak begitu penanganannya. Menghadapi sipil, tidak dengan cara militer,” jelasnya.
Ia juga menyebut, harga dari penyelenggaraan Pemilu Presiden 2019 ini teramat mahal. Sebab, belum usai dan terungkap masalah tewasnya lebih dari 600 petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) dan ribuan lainnya yang mengalami sakit, kini rakyat Indonesia kembali harus berduka atas tragedi pada 21-23 Mei.
(ameera/arrahmah.com)