(Arrahmah.id) Syeikh Abdullah Azzam, yang meninggal secara misterius pada tahun 1989, masih dianggap sebagai “pelopor” yang memimpin Mujahidin Afghanistan melawan penjajahan Soviet.
Dilahirkan pada tahun 1941 di kota Jenin, Tepi Barat, Syeikh dengan nama lengkap Abdullah Yusuf Azzam tersebut juga merupakan salah seorang da’i yang sangat terkemuka di Palestina.
Dia diingat oleh sebagian besar kaum Muslimin karena keberhasilannya dalam merekrut dan mengorganisir sukarelawan Arab untuk bergabung dalam “jihad” Arab-Afghanistan melawan penjajah Soviet dari tahun 1979 hingga 1989.
Dia dikabarkan meninggal secara misterius pada tahun 1989 ketika berusia 48 tahun.
Dalam sebuah wawancara eksklusif yang dilakukan Anadolu Agency, istri Syeikh Abdullah Azzam, Samira Mohyeddin (71), menceritakan tentang almarhum suaminya, yang “sama sekali tidak bersalah atas tuduhan ekstremisme dan terorisme.”
“Saya menantang siapa pun untuk membuktikan bahwa almarhum suami saya adalah seorang teroris,” tambahnya. Dia juga mengatakan bahwa media telah “merusak” citra almarhum suaminya.
Saat ditemui di Istanbul, Mohyeddin mengatakan suaminya “tidak pernah mengizinkan para Mujahidin untuk melancarkan serangan terhadap warga sipil baik yang berkebangsaan Rusia atau lainnya”.
“Dia selalu berkata, ‘Kami hanya memerangi mereka yang memusuhi kami dan yang menjajah tanah kami’,” kenang Mohyeddin. “Kami bahkan tidak pernah tahu dari mana kata ‘terorisme’ berasal.”
“Kami memerangi musuh-musuh Islam,” kenangnya, “mereka yang menyerang kaum Muslimin di negara mereka sendiri.”
Mohyeddin, yang pernah mengepalai komite perempuan untuk Kantor Layanan Mujahidin di Peshawar, menekankan bahwa di bawah kepemimpinan suaminya, masyarakat sipil yang tidak bersalah tidak pernah menjadi sasaran.
Dia juga menambahkan bahwa suaminya tidak pernah sekalipun memerintahkan untuk menargetkan orang-orang Kristen atau Amerika.
“Jihad Afghanistan yang berlangsung selama almarhum suami saya terlibat di dalamnya adalah murni untuk memerangi penjajah Soviet yang berusaha menguasai Afghanistan,” kata Mohyeddin, yang memuji “jihad” karena berhasil menjaga Afghanistan dari penjajahan Soviet.
“Jihad tentu memiliki kekurangan, dan kekurangan itulah yang menjadi celah musuh untuk melakukan sabotase, tetapi suamiku Azzam tidak pernah melakukannya,” katanya.
“Sebagai ‘Komando Jihad’, dia tidak pernah memerintahkan atau mengizinkan siapa pun untuk melakukan ‘operasi sabotase’,” tambahnya.
Istri dari almarhum Syeikh Abdullah Azzam tersebut mengaitkan “kemurnian” dari “jihad” Afghanistan adalah tumbuhnya perjuangan yang didasari atas “kecintaan terhadap syahid – bukan karena uang, gelar, atau ketenaran.”
Dia kemudian menegaskan bahwa sebenarnya “jihad” akan melahirkan efek yang hampir seluruhnya bernilai positif.
“Banyak kaum Muslimin datang ke Afghanistan dari seluruh dunia untuk mengambil bagian dalam jihad Afghanistan,” katanya. “Dan alhamdulillah, atas karunia Allah mereka mampu menjaga keutuhan negara dari rongrongan penjajah Soviet.”
Mohyeddin menceritakan seorang wanita Muslim dari Tajikistan, yang mengatakan: “Kami tidak tahu apa-apa tentang Islam – bahkan tentang shalat – sebelum lahirnya jihad di Afghanistan. Lalu, bagaimana mungkin jihad bisa menjadi hal yang buruk? Jihad sejati selalu dikenal oleh para Mujahidin.”
“Mengapa anak muda Muslim saat ini masih membaca buku-buku Abdullah Azzam?” Mohyeddin bertanya. “Mengapa mereka mengatakan kita dibesarkan oleh buku-bukunya? Mengapa para syuhada’ dan mujahidin Palestina mengatakan bahwa mereka dibesarkan oleh pemikiran Azzam?”
“Sejarah tidak akan pernah melupakan mereka,” katanya, seraya menambahkan bahwa Azzam dan para “mujahidin” telah menjadi sasaran “ketidakadilan yang licik karena kami gagal mengklarifikasi ide-ide mereka, terutama media-media Muslim di dunia.”
Menurut Mohyeddin, Syeikh Abdullah Azzam pertama kali memutuskan untuk menjadi seorang “mujahid” di Palestina.
“Syeikh Abdullah Azzam adalah salah satu pendiri jihad di Palestina,” katanya. “Dia mempersiapkan diri untuk berjihad di Yordania dengan sesama mujahidin untuk memerangi pendudukan Zionis.”
“Para perempuan juga membantu perjuangan mereka dengan mengumpulkan dana untuk membiayai kebutuhan jihad mereka di Yordania utara,” tambahnya.
Syeikh Abdullah Azzam ikut serta dalam “jihad” di Yordania selama tiga setengah tahun, sampai akhirnya pemerintah Yordania melarangnya untuk melanjutkan kegiatannya.
Mohyeddin ingat bagaimana almarhum suaminya mengajar di Universitas Amman di Yordania saat itu, di mana dia membantu “mempersiapkan dan mengorganisir para pemuda, serta melatih mereka dalam kelompok pramuka”.
Syeikh Abdullah Azzam juga sering pergi ke Arab Saudi, ia sempat tinggal di sana selama satu tahun sebelum pindah ke Universitas Islam Islamabad “dan dari situlah ia mulai mengenal jihad Afghanistan”.
“Dia mengamati peristiwa yang terjadi di Afghanistan sampai dia menyadari bahwa jihad Islam yang sesungguhnya sedang terjadi di sana,” kenangnya.
“Pada saat itu, umat Islam sangat dibutuhkan untuk memerangi penjajah, jadi dia dengan cepat bergabung dengan jihad Afghanistan,” kata Mohyeddin.
“Dia terjun ke medan jihad di berbagai tingkatan,” tambahnya. “Musuh-musuh Islam segera menyadari ancaman yang dia berikan.”
Setelah mengikuti sepak terjang Syeikh Abdullah Azzam di Palestina dan Afghanistan, baik agen intelijen Mossad milik “Israel” ataupun Badan intelijen AS dilaporkan telah beberapa kali mencoba untuk membunuhnya. (Rafa/arrahmah.com)