SEMARANG (Arrahmah.id) – Seorang warga Kelurahan Purwosari, Kecamatan Mijen, Kota Semarang, Jawa Tengah, Darso (43) tewas diduga dianiaya oleh polisi lalu lintas.
Keluarga korban sudah melaporkan peristiwa itu ke Polda Jawa Tengah dan kini menuntut keadilan.
Kuasa hukum keluarga Darso, Antoni Yudha Timor mengatakan, Darso tewas seusai dijemput oleh polisi. Dia diduga mengalami penganiayaan hingga mengembuskan napas terakhir.
Sebelum dijemput polisi, Darso yang mengemudikan mobil bersama dua rekannya sempat menabrak seseorang di Kota Yogyakarta. Namun, itu hanya kecelakaan ringan dan Darso telah bertanggung jawab.
“Tetapi korban ini sudah bertanggung jawab, artinya membawa korban lakalantasnya ke klinik. Namun, karena enggak punya uang, korban meninggalkan KTP,” kata Antoni di rumah mendiang Darso, Sabtu (10/1/2025), dikutip dari Beritasatu.
Antoni menuturkan, Darso dijemput oleh beberapa orang diduga polisi lalu lintas pada 21 September 2024 setelah menabrak seorang perempuan di Yogyakarta. Kemudian ia dianiaya hingga harus dirawat di rumah sakit dan meninggal dunia pada 29 September 2024.
Antoni menambahkan, sebelum dijemput oleh oknum polisi, Darso sempat menjaga korban kecelakaan itu di klinik.
“Darso ditinggal di klinik, dua temannya yang bernama T dan F itu melanjutkan perjalanan, enggak tahu ke mana, dan kabarnya terjadi kecelakaan lagi, menabrak orang lagi. Mungkin yang parah itu, enggak tahu juga,” ujarnya.
Darso yang sempat pulang ke Semarang menggunakan angkot kemudian pergi ke Jakarta untuk mencari uang ganti mobil rental yang rusak sebagai bentuk tanggung jawab.
Namun, saat kembali dari Jakarta, tiba-tiba Darso dijemput oleh beberapa orang yang datang menggunakan mobil pada 21 September 2024 sekitar pukul 06.00 WIB. Kemudian Darso dibawa ke salah satu lapangan sepak bola di Kelurahan Purwosari.
“Dua jam kemudian datanglah tiga orang tadi bersama Pak RT setempat mengabarkan keluarganya, Pak Darso ada di Rumah Sakit Permata Medika. Tentu istri korban menjadi kaget dan diminta ke rumah sakit,” tuturnya.
“Akhirnya ketika sampai rumah sakit ternyata ada enam orang menjaga, yang ketiga adalah orang yang menjemput itu, yang tiga temannya yang di mobil itu kemungkinannya,” sambungnya.
Usai enam orang yang diduga anggota Polresta Yogyakarta itu pergi, Darso bercerita ke istrinya kalau ia baru dipukuli oleh mereka. Ia juga menunjukkan luka yang ada di sekujur badannya.
Darso yang sempat tiga hari dirawat di ICU pun kemudian meninggal pada 29 September 2024. Ia sempat meminta agar peristiwa itu diproses hukum sehingga keluarga melapor ke Polda Jawa Tengah seusai beberapa kali melakukan mediasi dengan para oknum polisi terduga pelaku dan tidak menemukan titik terang.
“Awalnya kami minta jerat pakai Pasal 355 KUHP tentang penganiayaan berencana yang mengakibatkan maut, tetapi gelar perkara awal kemarin polisi beraninya Pakai 351 KUHP, itu pun saya memaksakan pakai ayat (3), ancamannya tujuh tahun. Kalau awalnya kami kemarin ancaman 15 tahun,” paparnya.
Ia juga berencana akan melaporkan terduga pelaku, I, kepada Bidang Propam Polda Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurutnya, tindakan yang dilakukan oknum kepolisian itu merupakan pelanggaran etik berat karena telah menghilangkan nyawa seseorang.
“Almarhum Pak Darso ini salah apa? Keluarga juga masih penasaran kenapa kok korban sampai diburu seperti itu, dijemput, dipukuli, kalau cuma sekadar lakalantas yang kata korban luka ringan, dibawa ke klinik. Kok sampai diburu seperti itu,” tuturnya.
Sementara istri korban, Poniyem mengaku suaminya mengalami luka di sekujur tubuh setelah dihajar oleh pelaku.
“Saya lihat ada luka lebam-lebam di kepala bagian pipi kanan,” ungkapnya.
Poniyem mengaku oknum pelaku sempat datang kepadanya menawarkan uang Rp 5 juta, tetapi dia menolak karena teguh ingin menuntut keadilan seperti yang diamanahkan oleh suaminya, Darso.
“Pernah dikasih uang Rp 5 juta, tetapi saya tolak, saya sesuai amanah suami saya minta dipertanggungjawabkan dan keadilan,” pungkas Poniyem.
(ameera/arrahmah.id)