(Arrahmah.com) – Inna lillahi wa inna ilaihi roji’uun, salah satu dari empat Muslimah etnis Uighur di Xinjiang, Cina, dipaksa untuk melakukan aborsi ketika ia sedang dalam kondisi sakit, menurut keterangan dari suaminya, seperti dilansir Radio Free Asia (RFA).
Helchihan Mettursun (36), yang menjadi perempuan Xinjiang kelima yang baru-baru ini dipaksa aborsi oleh otoritas kafir Cina, tengah memasuki umur kehamilan 6 bulan. Ia dibawa ke rumah sakit di wilayah Hotan pada pekan akhir Desember tahun kemarin, termasuk di antaranya seorang wanita yang tengah hamil 9 bulan, berdasarkan laporan para pejabat setempat.
Suami Mettursun, Abdurrahman Metturdi, mengatakan kepada RFA cabang Uighur bahwa isterinya dibawa oleh para petugas pemerintah lokal dari rumahnya dengan taksi ketika ia dalam keadaan pingsan.
Hari sebelumnya, para petugas pemerintah itu datang ke rumah Metturdi untuk membawa isterinya yang sedang sakit jantung ke rumah sakit untuk melakukan aborsi paksa, namun mereka tidak berhasil membawa Mettursun dikarenakan Mettursun kejang-kejang.
Tetapi, hari berikutnya para petugas itu datang kembali dan membawa Mettursun dengan taksi.
Metturdi mengungkapkan bahwa di rumah sakit Mettursun disuntik dalam keadaan diikat di tempat tidur, dan dibiarkan begitu selama sehari hingga staf rumah sakit memberitahunya bahwa janinnya telah meninggal.
“Mereka mengatakan bayinya akan keluar dalam 24 jam, tetapi saat itu butuh waktu 28 jam dan selama itu isteri saya merasa kesakitan, ia menangis. Saya tidak tahan lagi dan Saya keluar,” ujar Metturdi.
Kesedihan keluarga Metturdi bertambah dengan meninggalnya ayah Metturdi ketika mendengar kabar kematian bayi puternya itu.
“Ketika ayah saya mendengar kabar duka tentang bayi saya, ia meninggal dunia karena sakit,” kata ayah dari tiga puteri yang sekarang tengah merawat isterinya di rumah.
Mettursun dan tiga perempuan Uighur lainnya, yang diaborsi paksa di rumah sakit Nurluq di daerah Keriya (Yutian dalam bahasa Cina) merupakan di antara enam Muslimah yang awalnya dijadwalkan untuk aborsi pada pekan itu, menurut pejabat lokal kepada RFA pada bulan lalu.
Di bawah undang-undang baru yang disahkan pada akhir Desember lalu, pasangan menikah di Cina hanya akan diizinkan untuk memiliki anak kedua jika salah satu pasangannya adalah anak tunggal.
Kebijakan tersebut juga berlaku bagi warga Muslim etnis Uighur. Padahal, karena etnis Muslim Uighur adalah minoritas seharusnya dikecualikan dari kebijakan seperti ini.
Aborsi paksa menjadi penderitaan tambahan bagi Muslim Xinjiang yang telah lama mengalami diskriminasi dan penindasan oleh otoritas Cina. Puluhan Muslim bahkan telah meninggal dunia dalam beberapa bulan terakhir akibat ditembak mati oleh polisi Cina dengan dalih terlibat “terorisme” atau “ekstremisme agama.”
Kelompok-kelompok Hak Asasi Manusia telah mengecam penindasan seperti itu terhadap etnis Uighur, mengatakan bahwa otoritas Cina telah membesar-besarkan isu “terorisme” untuk melegalisasi penindasannya terhadap Muslim Uighur. (siraaj/arrahmah.com)