JAKARTA (Arrahmah.com) – Tsunami di Mentawai yang terjadi pada Senin Malam, 25 Oktober 2010 menelan 450 korban jiwa. Banyaknya korban jatuh pada bencana tersebut antara lain disebabkan karena tak berjalannya sistem pendeteksian tsunai di daerah tersebut.
Menurut Kepala Proyek Tsunami Buoy Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Wahyu Pandoe, salah satu penyebab kerusakan adalah vandalisme yang dialami oleh alat-alat tadi.
“Dari 23 tsunami buoy yang ada di seluruh Indonesia, praktis cuma 2 tsunami buoy yang bisa berfungsi dengan baik,” ujar Wahyu kepada VIVAnews, Selasa (2/11/2010).
Menurut dia, kebanyakan dari alat tadi mengalami kerusakan karena dirusak orang yang tak bertanggung jawab. Baik karena dijadikan tambatan perahu, dirusak antenanya, atau kabelnya dipotong.
Tsunami buoy di Mentawai, misalnya, mengalami kerusakan pada dua antena satelitnya serta kabel sistem komunikasi bawah air.
“Sudah dua kali kami menggantinya, dua kali alat itu dirusak,” ujar Wahyu. Bahkan kata dia, tsunami buoy di Laut Flores dirusak hingga 5 kali. Bahkan suatu saat ada suatu komponen alat yang dilepas dan kemudian dibawa-bawa sampai ke rumah warga.
BPPT, kata Wahyu, tentu saja tidak memiliki kemampuan untuk meng-cover seluruh alat yang tersebar di wilayah yang luas. Menurut dia, agak sulit juga bila melibatkan pihak polisi air untuk menjaga alat-alat itu, mengingat alat tersebut banyak yang dipasang jauh di tengah laut, hingga 60 km dari pantai.
Wahyu meminta agar semua pihak menjaga dan merawat alat tersebut, mengingat perannya yang sangat penting bagi keselamatan banyak orang. “Saya menghimbau, kalau ada benda yang mengambang (sensor tsunami) di laut, sama-sama kita jaga. Sebab alat seperti ini sangat bernilai bagi banyak orang.”
Dalam waktu dekat, BPPT hendak mengganti pendeteksi tsunami yang telah rusak di Mentawai, Selatan Pulau Jawa, dan perairan Sulawesi. Total tahun ini BPPT berencana mengganti 6 alat tsunami buoy yang telah rusak dengan alat baru seharga sekitar Rp2 miliar. (viva/arrahmah.com)