SOLO (Arrahmah.com) – Diskusi dan perbincangan seputar aksi maupun definisi terorisme sepertinya tidak akan pernah habis dan tidak pernah ada ujungnya. Hal ini bisa dimaklumi bersama karena definisi terorisme sendiri yang diterapkan dan ditetapkan oleh para penegak hukum dalam memberantas aksi tindak pidana terorisme masih sangat kabur dan terkesan tebang milih serta sarat muatan politis.
Untuk mencari solusi alternatif dan penanganan yang tepat dan jitu dalam mengurai berbagai masalah tentang kasus terorisme yang terjadi di Indonesia, Forum Silaturahmi Mahasiswa Islam Fakultas Hukum Universitas Negeri Solo (FOSMI FH UNS) mengadakan Seminar Hukum Islam bertajuk “Teror Is (NOT) Me” yang bertempat di Aula Gedung 3 FH UNS Solo.
Menurut panitia pelaksana, tema tersebut dipilih karena sampai saat ini, pemberantasan tindak pidana terorisme yang ditangani oleh aparat penegak hukum seperti BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) dan Densus 88 hanya berkutat pada kegiatan-kegiatan yang berbau islam dan para pelakunya semuanya yang dituduh sebagai teroris notabenya adalam seorang muslim.
“Kan sudah menjadi rahasia umum lagi bahwa sekarang ini masyarakat beranggapan bahwa setiap kali ada kasus terorisme mesti dikaitkan dengan islam, dan setiap teroris pasti muslim. Nah ini kan sebuah anggapan yang tidak kita inginkan bersama,” kata salah satu panitia seusai seminar berlangsung, Sabtu Pagi (1/12) seperti rilis yang dikirim ishlahnews kepada arrahmah.com.
Maka dari itu, seminar ini diadakan sebagai upaya untuk meniadakan pikiran-pikiran bahwa teroris itu adalah seorang muslim dan terorisme adalah kegiatan yang terkait dengan islam. Sebab, aksi-aksi teror yang terjadi belakangan ini jika dilihat dalam konteks yang lebih luas lagi, baik dari segi sosial masyarakat maupun dari segi hukum, bisa dilakukan oleh berbagai kalangan.
Aksi teror dan penyerangan kepada polisi misalnya, tidak hanya dilakukan oleh kalangan aktivis islam, namun kalangan dan kelompok-kelompok kristen semisal OPM maupun RMS juga melakukan hal yang sama sebagaimana yang terjadi di Maluku dan Papua beberapa hari yang lalu.
Kalangan pejabat yang melakukan korupsi, secara tidak langung juga telah melakukan aksi teror dan meresahkan masyarakat. Aksi tawuran pelajar, juga telah meresahkan warga masyarakat. Buktinya, masyarakat yang ebrada disekitar lokasi terjadinya tawuran biasanya marah dan ikut membubarkan aksi tawuran pelajar tersebut.
“Harapannya seperti itu, bahwa teroris itu bukan kita (muslim-red). Sebab, banyak juga kalangan dan kelompok lain diluar islam maupun aktivis islam yang melakukan tindakan teror dan meresahkan masyarakat. Jadi kalau pemerintah konsisten dengan undang-undang terorisme, mereka kan ditindak,” tambahnya.
Seminar itu menghadirkan 4 narasumber antara lain, Irjen Pol. (Purn) Ansyad Mbai Kepala BNPT, Budhi Kuswanto, SH. anggota Tim Pengacara Muslim (TPM) Jawa Tengah, Noor Huda Ismail, S.Kom. Direktur Yayasan Prasasti Perdamaian dan Burhanuddin Harahap, SH. MH. M.Si Ph.D Ahli Hukum Islam FH UNS Solo.
Jalannya Seminar Diwarnai sikap tidak “Sportif” dari BNPT
Meski secara global acara seminar berjalan lancar, namun ada beberapa kejadian yang seharusnya tidak patut terjadi dalam forum diskusi yang diklaim sebagai tempat para intelektual dan akademisi untuk mengadakan tukar fikiran dan tempat mengemukakan perbedaan pendapat serta tempat mencari solusi dari sebuah masalah.
Beberapa kejadian tidak “Sportif” itu antara lain, ketika pemateri kedua yakni Budhi Kuswanto sedang memaparkan materinya, pengawal Ansyad Mbai membisiki panitia. Ternyata bisikan kepada salah seorang panitia tersebut diteruskan kepada moderator. Setelah sampai kepada moderator, para peserta kemudian baru tau kalau Budhi diminta untuk segera mengakhiri pemaparannya.
Padahal Budhi baru menyampaikan materinya sekitar 20 menit, sedangkan waktu yang diberikan kepda masing-masing pemateri yakni 25 menit sampai 30 menit. Hal ini tidak aneh karena dalam pemaparannya, Budhi memang mengetengahkan beberapa fakta terkait ketidak konsistenan Densus 88 maupun BNPT dalam menangani aksi dan kasus terorisme khususnya dalam segi hukum.
Banyak undang-undang tindak pidana terorisme menurut Budhi yang tidak diindahkan oleh Densus 88 maupun BNPT. Diapun memberikan contoh bagaimana Jaksa Penuntut Umum (JPU) ada yang sama sekali tidak memahami kasus terorisme.
“Pernah dalam sebuah persidangan, Jaksa itu salah menyebutkan sebuah istilah, ini kan fatal. Dalam islam ada istilah Gamis (baju gamis-re). Tapi Jaksa waktu itu malah mengucapkan kata Gamis dengan Games. Ini kan membuktikan kalau aparat yang menyidangkan kasus terorisme tidak menguasai bahan dakwaan yang ia dakwakan kepada tersangka,” ucapnya dengan nada sedikit menyindir Ansyad Mbai.
Kedua, waktu sesi tanya jawab, listrik diruangan yang ber-AC tersebut tiba-tiba padam hampir 15 menit. Hal ini terjadi setelah 2 penanya menyampaikan pertanyaannya yang sangat memojokkan Densus 88 dan BNPT dan pada saat penanya ke-3 sedang menggebu-gebu “menghabisi” pemaparan Ansyad Mbai yang dianggap tidak akan menyelesaikan permasalahan terorisme.
Kejadian sportif yang ketiga yakni ketika Budhi hendak memberikan kata penutupnya, tiba-tiba Ansyad Mbai menyela pemaparan Budhi. Padahal setiap pemateri sudah diberi waktu sendiri-sendiri oleh moderator dalam menyampaikan closing statemen.
Keempat, dalam kesepakatan awal bahwa termin tanya jawab akan dibagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama 3 penanya, dan bagian 3 penanya. Tapi, melihat para peserta yang harusnya dalam skenario BNPT diharapkan dan harusnya mendukung aksi-aksi brutal Densus 88 dalam memberantas tindak pidana terorisme malah berbalik 180 derajat. Akhirnya moderator mengakhiri seminar hanya dengan 1 termin tanya jawab.
Dan yang terakhir, kejadian tidak sportif yang dilakukan Ansyad Mbai pada seminar tersebut adalah tidak dijawabnya pertanyaan para penanya yang mungkin menurut Ansyad Mbai bisa menguliti dan membuka topeng busuk Densus 88 dan BNPT.
“Ya, terus terang saya kecewa lah. Katanya forum diskusi dan tukar fikiran, tapi pertanyaan kita tidak dijawab semua dan terkesan pak Ansyad tadi ada yang ditutup-tutupi. Dan yang paling penting tadi, apa yang dia katakan tadi tidak konsisten sekali dengan apa yang dia ucapkan dan realita yang ada”, ujar Ika, salah satu aktivis islam UNS yang merupakan penanya kedua dalam tanya jawab tersebut. (bilal/arrahmah.com)