BAMAKO (Arrahmah.id) — Presiden Prancis, Emmanuel Macron, pada Kamis (17/2/2022) mengumumkan penarikan pasukannya dan Eropa dari Mali. Pasukan Prancis telah berada di Mali selama sembilan tahun untuk memerangi kelompok militan Islamic State (ISIS) dan Al Qaeda.
Ia menuduh pihak berwenang Mali mengabaikan perang melawan kelompok militan dan menurutnya logis bagi Prancis untuk mundur.
“Saya sepenuhnya menolak istilah itu,” jawab Macron saat ditanya apakah penarikan pasukan menandai kegagalan Prancis dan kebijakannya memerangi kelompok militan di Afrika barat.
Dilansir The Guardian (18/2), Prancis mulai mengerahkan pasukan melawan jihadis di Mali pada 2013 di bawah kepemimpinan Presiden François Hollande.
Intervensi dari negara Eropa ini berhasil membendung kemajuan pemberontak dan mengembalikan kota-kota utama seperti Timbuktu ke tangan pemerintah sipil.
Namun, kelompok militan ini dengan cepat berkumpul dan kembali melakukan perlawanan.
Dalam beberapa tahun terakhir, para militan mengambil alih sejumlah wilayah, mengeksploitasi gejolak politik, kemiskinan, dan kelemahan otoritas lokal.
Macron mengatakan pasukan Prancis akan tetap berada di wilayah itu, tetapi akan berbasis di negara tetangga, Niger.
Prancis akan tetap membantu negara-negara lain yang terdampak aktivitas para jihadis.
“Jantung dari operasi militer ini tidak lagi di Mali, tetapi di Niger dan mungkin dengan cara yang lebih seimbang di semua negara di kawasan yang menginginkan (bantuan) ini,” katanya.
Terlepas dari pernyataan Macron, pengamat melihat penarikan militer sebagai hal yang memalukan bagi misi luar negeri Prancis.
“Ini adalah akhir yang memalukan dari intervensi bersenjata yang dimulai dengan euforia dan yang berakhir, sembilan tahun kemudian, dengan latar belakang krisis antara Mali dan Prancis,” tulis surat kabar harian Le Monde.
Sejak lama, para pembuat kebijakan di Paris dituding hanya fokus pada kekuatan militer dengan mengorbankan politik.
Hubungan antara Prancis dan Mali memburuk setelah dua kudeta dan keengganan rezim militer baru untuk menyetujui transisi langsung ke pemerintahan sipil.
Duta Besar Prancis untuk bekas jajahan itu diusir awal bulan ini.
Kehadiran tentara bayaran Rusia dari kelompok militer swasta Wagner telah meningkatkan ketegangan dengan Paris.
Uni Eropa juga menuduh rezim militer Mali menggunakan mereka untuk menopang kekuatannya.
Penarikan ini berlaku untuk 2.400 tentara Prancis di Mali dan beberapa ratus personel pasukan Eropa lainnya.
Sementara itu, sekitar 18.000 penjaga perdamaian PBB akan tetap berada di Mali.
Pasukan PBB dan ratusan personel dalam misi pelatihan EUTM dan EUCAP Uni Eropa mengandalkan pasukan Prancis untuk dukungan medis, udara, dan darurat.
Sekitar 300 tentara Inggris juga telah dikirim ke Mali.
Juru bicara militer Prancis, Pascal Ianni, mengatakan Paris akan melanjutkan dukungan itu selama pemerintah setempat mengizinkannya.
Dengan relokasi ke Niger dan reorganisasi militer yang didirikan di kawasan itu, Prancis dan sekutunya berharap bisa menghindari kekacauan seperti penarikan pasukan AS dari Afghanistan tahun lalu.
Masalah ini penting bagi Macron, yang diperkirakan akan mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua dalam pemilihan presiden Prancis 10 April. (hanoum/arrahmah.id)