JAKARTA (Arrahmah.com) – Diiringi derai air mata, mantan juru kamera Global TV, Imam Firdaus menegaskan dirinya adalah seorang jurnalis bukan teroris. Hal itu dikatakannya ketika mengajukan nota pembelaan.
“Saya jurnalis bukan teroris,” kata Imam sembari menangis saat membacakan pledoi atau nota pembelaan di hadapan majelis hakim yang diketuai Supeno di PN Jakarta Barat, Jakarta, Senin (20/2).
Imam melanjutkan pembelaannya dengan mengaitkan pada hari pers yang jatuh pada 9 Februari. Ia pun menyampaikan selamat kepada insan pers.
“Semoga pers Indonesia semakin merdeka dari berbagai hegemoni dan keberpihakan,” kata Imam.
Menurut Imam, hari pers tahun ini agak berbeda karena ia terjerat dengan kasus besar. Namun, Imam mengaku permasalahan itu menjadi kado atas pengabdiannya di dunia pers.
Imam pun membantah bahwa terlibat dalam kasus bom buku dan bom gereja Christ Chatedral karena menyembunyikan informasi mengenai kegiatan teroris.
“Saya bukan pengkhianat serta tidak pernah menjual apapun baik informasi maupun ke gambar kepada Bobby Al-Jazeera,” ujar Imam.
Ia pun dengan tegas menolak tawaran wawancara pelaku bom buku. “Saya yang
menolak keras,” kata Imam.
Oleh karena itu, Imam meminta majelis hakim untuk membebaskan dirinya serta memberikan rehabilitasi agar dapat kembali ke masyarakat.
“Sekali lagi saya jurnalis bukan teroris,” tukasnya.
Imam Firdaus juga mengungkapkan rasa kecewanya terhadap perusahaan tempat dirinya bekerja, Global TV. Menurut Imam, perusahaan tempatnya bekerja tidak memberikan perlindungan hukum saat ia ditangkap oleh polisi.
“Kemana kalian para pengurus dan jajaran pimpinan koorporasi Global TV. Saya yakin kalian padah betul dalam melaksanakan tugas jurnalistik wartawan memperoleh perlindungan hukum dari negara dan masyarakat. Perlindungan apakah sudah kalian berikan ?” tanya Imam.
Ia pun menyesalkan keputusan Global TV yang justru memutuskan ikatan kerja dirinya saat ia menjalani masa tahanan dan proses penyidikan. Apalagi, kata Imam, saksi yang berasal dari perusahaan justru memberatkan dirinya.
“Kalian pecat saya secara sepihak pada saat saya menjalani masa tahanan dan proses hukum masih berjalan dan ketika fakta fakta persidangaan mengatakan dan memperjelas ketidakterlibatan saya dalam kasus terorisme. Kalian memberikan saksi yang dalam keterangannya ada yang memberatkan saya,” jelasnya.
Mantan juru kamera Global TV itu juga mengingatkan tempatnya bekerja bahwa ia telah membuat karya mengenai suku anak dalam Jambi yang berjudul “Sekolah Rimba”. Karya tersebut, lanjut Imam, membawa Global TV mendunia karena mendapatkan penghargaan di Mesir.
Selain itu, ia juga bercerita pengalamannya mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan berita meletusnya Gunung Kelud. Hal itu dilakukan saat awak jurnalis lainnya dilarang mendekati kawah gunung sebab berstatus siaga I.
“Tapi sudahlah sikap bapak-bapak Global TV memaksa saya agar tidak berharap banyak terhadap bapak-bapak sekalian. Tetapi yang penting bagi saya selama merenung di jeruji besi saya bisa belajar menghadapi kenyataan hidup,” katanya.
Imam melanjutkan ia rindu dengan seluruh teman-temannya di Global TV. Ia mengaku hampir setiap hari berdiskusi dan bekerja dalam satu tim. “Hampir satu tahun ini bumi seperti menelan hidung kalian pada saat saya kesusahan dan begitu membutuhkan kehadiran kalian,” tukasnya.
Dalam kesempatan itu, Imam juga memuji peranan yang dilakukan oleh istri dan ibunya saat ia mendekam di penjara.
“Dua srikandi ini seperti tak henti-hentinya membangun karang ketegaran dalam diri saya sejak pertama kali masa penangkapan hingga saya berada di hadapan majelis hakim,” puji Imam.
Ia pun mengungkapkan kerinduannya kepada anak-anaknya yang sampai saat ini belum ditemuinya.
“Tolong sampaikan kepada tiga buah hatiku di rumah bahwa ayahnya sedang meliput satu peristiwa yang sangat besar, hingga hampir satu tahun ini kita tidak bersua,” ungkapnya. (bilal/arrahmah.com)