JAKARTA (Arrahmah.com) – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan bahwa seluruh buoy pendeteksi tsunami di Indonesia tidak ada yang beroperasi karena rusak. Oleh karenanya, Indonesia tidak lagi memiliki buoy untuk mendeteksi tsunami sejak sejak 2012 silam.
“Sejak 2012 enggak ada yang beroperasi, padahal dibutuhkan untuk peringatan dini. Bisa ditanyakan ke BMKG, mengapa 2012 sampai sekarang enggak diadakan, mungkin ya soal dana,” kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwonugroho, dalam konferensi pers di Jakarta mengenai penanganan gempa Palu dan Donggala, Minggu (30/9).
Dalam konferensi pers itu, ia juga mengeluhkan mitigasi bencana yang terkendala masalah anggaran.
“Pendanaan bencana itu terus turun tiap tahun. Ancaman bencana meningkat, kejadian bencana meningkat, anggaran BNPB justru turun. Ini berpengaruh terhadap upaya mitigasi. Pemasangan alat peringatan dini terbatas anggaran yang berkurang terus,” ungkap Sutopo.
Pada Desember 2017, Sutopo juga pernah menyatakan hal serupa bahwa Indonesia memiliki total 22 buoy yang tersebar di perairan nusantara yang kondisinya rusak total.
Buoy sendiri merupakan sistem pelampung yang diletakkan di tengah laut untuk mendeteksi gelombang pasang dan tsunami. Buoy ini adalah salah satu opsi teknologi pendeteksi dini tercepat atas peluang terjadinya tsunami di wilayah Indonesia.
Pernyataan Sutopo mengenai kerusakan pada buoy ini dikonfirmasi oleh Kepala Pusat Gempa dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono.
“Ya, ya, memang tidak ada lagi, dan sudah tidak men-support data ke BMKG,” kata Rahmat, sebagaimana dilansir CNN Indonesia.
Rahmat menjelaskan, buoy masuk ke dalam grand design Indonesia Tsunami Early Warning System yang dirancang sejak tsunami Aceh 2004 silam. Buoy dipasang di beberapa titik di laut lepas, mulai Samudra Hindia sampai Sumatera, Selatan Jawa dan seterusnya.
“Karena di samudra lepas, enggak ada yang mengawasi. Pada kenyataannya hilang semua. Hilang oleh nelayan, ada yang diambil, ditarik jangkar, digeret pakai kapal,” kata Rahmat. “Bahkan ada yang ditemukan di Muara Angke, karena diambil nelayan. Karena ada GPS-nya, maka termonitor. Ketika didatangi, sudah dikanibal, dibongkar-bongkar.”
Rahmat sendiri menyatakan bahwa dulu lembaga yang bertanggung jawab terhadap pengadaan buoy adalah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi BPPT, dan bukan BMKG.
“Setahu saya mulai 2007-2009 sudah mulai ter-install di laut lepas. Tapi sejak awal tidak sempat men-support data ke kami ke BMKG. Yang jelas 2011 sudah terpasang dan mestinya data masuk ke BMKG untuk men-support modelling,” ujarnya.
Rahmat menyatakan, BMKG masih bisa melakukan fungsi peringatan dini tanpa buoy, karena sistem yang mereka miliki berdsarkan permodelan tsunami.
“Jadi menggunakan modelling tsunami, skenario-skenario. Saat ini ada sekitar 18 ribu modelling tsunami yang kami miliki,” ujarnya. “Tapi kalau ada data dari buoy masuk, tentunya skenario akan lebih akurat, karena ada data observasi.”
sumber: CNN Indonesia
(ameera/arrahmah.com)