Oleh Rudini (Lajnah Siyasiyah HTI Surabaya)
(Arrahmah.com) – Miris rasanya mendengar pemberitaan akhir-akhir ini.Kekacauan politik sampai kekacauan sosial. Tak terfikir sebelumnya bahwa pemerkosaan saat ini terjadi pada anak-anak. Pernahkah terbayangkan sikecil usia 18 bulan ternyata diperkosa ayahnya sendiri? Bahkan, kerisauan sebagai orang tua tidak hanya pada anak perempuan,namun saat ini, pemerkosa anak laki-laki pun sudah menjadi ancaman yang mengerikan.
Pada awal tahun 2014, kasus pedofilia terjadi di sekolah bertaraf internasional, telah sedikit membuka mata masyarakat bagaimana bejatnya perilaku sebagian orang dewasa terhadap anak-anak. Berita tersebut sangat menyita perhatian publik dan media massa. Karena sekolah elit itu terdapat predator anak dari dalam dan luar negeri. Ditengarai pelakunya William James Vahey yang pernah mengajar di 10 sekolah Amerika dan intenasional 40 tahun. Semenjak ditetapkan sebagai buronan FBI, William ditemukan bunuh diri.
Tak cuma itu, Emon nama seorang pemuda Indonesia, juga memiliki perilaku keji ini.Tak tanggung-tanggung korbannya mencapai 110 anak, sungguh data yang sangat membuat hati semkin miris. Bisa dibayangkan bagaimana perilaku anak-anak yang telah menjadi korban kebiadaban predator anak kelak?
Kasus pedofilia yang terjadi di JIS sebenarnya memperkuat data yang beberapa tahun telah kita miliki tentang bagaimana kondisi daruratnya negeri ini terhadap predator anak. Komnas anak mencatat, jenis kejahatan anak tertinggi sejak tahun 2007 adalah tindak sodomi. Dari 1.992 kasusu kejahatan anak yang masuk ke komnas Anak, 61,8 persen adalah kasus sodomi anak (Kompas.com, 10/4/2008). Pada tahun 2009 ada 1.998 kekerasan meningkat pada tahun 2010 menjadi 2.335 kekerasan (tempointeraktif.com, 25/3/2011).
Menurut data laporan kepada Komnas Perlindungan Anak, pada tahun 2011 ada 2.509 laporan kekerasan dan 59 persen nya adalah kekerasan seksual. Dan pada tahun 2012 Komnas PA menerima 2.637 laporan yang 62 persennya kekerasan seksual (bbc,18/1). Tahun 2013, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Bareskrim Mabes Polri mencatat sepanjang tahun 2013 sekurangnya terjadi 1600 kasus asusila mulai dari pencabulan hingga kekerasan fisik pada anak-anak.
Pelecehan seksual terhadap anak dapat mengakibatkan dampak negatif jangka pendek dan jangka panjang, termasuk penyakit psikologis. Dampak psikologis, emosional, fisik dan sosial, bahkan dampa yang lebih mengerikan lainnya yaitu siklus pedofilia, abused-abuser cycle yaitu berasal dari korban (abused) pelecehan seksual dimasa kecil, lalu tumbuh dewasa jadi orang yang memakan korban (aboser). Orang yang jadi korban pelecehan seks saat kecil, saat dewasa akan berfikir melampiaskan seks dapat dilakukan pada anak kecil.
Buah busuk sistem rusak
Pornografi, merupakan salah satu sumber yang menjadi pemicu munculnya pedofolia, masalah pornografi atau porno aksi setua umur manusia. Namun permasalahan ini semakin akut ketika pornografi dan pornoaksi dianggap biasa saja bahkan dijadikan sebagai budaya.
Perlu solusi tuntas dari akar untuk memutus kerusakan yang melahirkan warisan bagi generasi kita. Tidak cukup hanya dengan himbauan agar orang tua semakin ketat dalam menjaga anak, atau mendorongpihak sekolah untuk waspada. Hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual pada anak-anak yang diatur dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu minimal tiga tahun, dan maksimal 15 tahun penjara. Pemerintah menganggap hukuman ini tidak menimbulkan efek jera (BBC.com, 15/12/14)
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan pemerintah akan mengusulkan hukuman yang lebih berat kepada pelaku kekerasan terhadap anak (BBC.com, 15/12/14).Pemerintah mempertimbangkan untuk merevisi sanksi bagi pelaku kejahatan seksual yang selama ini dianggap terlalu ringan. Salah satu yang dikaji adalah sanksi kebiri kimia.Menurut Psikolog Elly Risman dari Yayasan Kita dan Buah Hati justru meyakini akar kekerasan terhadap anak, khususnya kekerasan seksual, akibat masyarakat yang sudah terpapar pornografi akut. “potnografi sudah ada sejak berabad silam. Namun, harus diakui beberapa tahun terakhir dengan adanya internet yang makin murah, pornografi merangsek dengan sangat agresif kesemua lapisan masyarakat, Di era sekarang. Pornografi itu mengejar kita, bukan kita mengejar dia. Salah input kata saja, mesin pencari bisa membelokkan kita ke situs-situs porno,” (kompas, 13/5/14).
Pemerintah seharusnya berani mengakui terlebih dahulu bahwa Indonesia mengalami kondisi darurat pornografi. Beberapa waktu yang lalu di sebuah stasun televisi Nasional Menkoinfo Tiffatul Sembiring menyampaikan bahwa sekitar satu juta konten pornografi dan perjudian online diblokir pemerintah. Tentu jumlah yang fantastis namun satu juta yang di blokir pemerintah tersebut bahkan tidak semua konten pornografi kacepatannya jauh dari jumlahnya yang ada yakni sekitar 429 juta situs porno.
Negara anomi
Senang atau tidak senang secara jujur kita harus mengakui negara kita, saat ini sedang mengalami terjun bebas masuk ke lingkaran anomi. Kondisi anomi adalah kondisi masyarakat yang tidak stabil akibat runtuhnya nilai dan norma sehingga individu kehilangan pegangan dalam kehidupan masing-masing.
Memberantas tindak pedofilia dan kekerasan seksual secara tuntas, dengan melihat beragam faktor penyebabnya itu, maka tidak bisa dilakukan secara parsial. Akan tetapi hanya bisa dilakukan secara sistemis ideologis. Hal itu tidak lain dengan menerapkan syariah islamiyah secara total melalui negara.
Secara mendasar, syariah Islam mengharuskan negara untuk senantiasa menanamkan akidah Islam dan membangun ketakwaan pada diri rakyat. Negara pun juga berkewajiban menanamkan dan memahamkan nilai-nilai norma, moral, budaya, pemikiran dan sistem Islam kepada rakyat. Hal itu ditempuh melalui semua sistem, terutama sistem pendidikan baik formal maupun non formal dengan beragam institusi, saluran dan sarana. Dengan begitu, maka rakyat akan memiliki kendali internal yang menghalanginya dari tindakan kriminal termasuk kekerasan seksual dan pedofilia. Dengan itu pula, rakyat bisa menyaring informasi, pemikiran dan budaya yang merusak. Penanaman keimanan dan ketakwaan juga membuat masyarakat tidak didominasi oleh sikap hedonis, mengutamakan kepuasan materi dan jasmani. Begitupun dengan semua itu rakyat banyak juga bisa terhindar dari pola hidup yang mengejar-ngejar dunia dan materi yang seringkali membuat orang lupa daratan, stres dan depresi yang membuatnya bersikap kalap.
Negara juga tidak akan membiarkan penyebaran pornografi dan pornoaksi di tengah masyarakat. Sebaliknya di masyarakat akan ditanamkan kesopanan dan nilai-nilai luhur.Disamping itu melalui penerapan sistem ekonomi Islam, jaminan pemenuhan kebutuhan pokok akan diberikan oleh negara melalui mekanisme syar’i. Setiap rakyat juga bisa mendapat peluang yang sama untuk mengakses berbagai pelayanan publik dan sumberdaya ekonomi. Kekayaan juga akan bisa didistribusikan secara merata diantara rakyat. Dengan itu maka faktor himpitan dan tekanan ekonomi menjadi minimal.
Ringkasnya, penerapan sistem Islam akan meminimalkan seminimal mungkin faktor-faktor yang bisa memicu terjadinya kekerasan seksual, pedofilia, sodomi dan perilaku seksual menyimpang lainnya. Namun jiak masih ada yang melakukannya, maka sistem ‘uqubat Islam akan menjadi benteng yang bisa melindungi masyarakat dari semua itu. Hal itu dengan dijatuhkannya sanksi hukum yang berat yang bisa memberikan efek jera bagi pelaku kriminal dan mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa. Pelaku pedofilia dalam bentuk sodomi akan dijatuhi hukuman mati. Begitupun pelaku homoseksual. Sehingga perilaku itu tidak akan menyebar di masyarakat.
(azm/arrahmah.com)