JAKARTA (Arrahmah.id) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengaku kesulitan untuk mendatangi Lembaga Pendidikan Al-Zaytun di Kabupaten Indramayu. Beberapa kali surat sudah dikirimkan, namun tak pernah mendapat respon yang positif.
Meski begitu, pada 21 Juni mendatang, MUI akan mencoba kembali mendatangi para pengurus A-Zaytun.
Surat ajakan pertemuan itu dalam rangka mengklarifikasi, sekaligus bagian dari penyelidikan yang dilakukan mengenai kontroversi yang terjadi. Di antaranya dari dugaan pelecehan seksual hingga paham sesat.
Sekretaris MUI Jabar, Rafani Achyar menyatakan upaya ini bukan baru pertama kali dilakukan. Dari sejak muncul kontroversi pernyataan-pernyataan pimpinan Al-Zaytun, MUI pusat sudah membentuk tim untuk melakukan kajian.
“Tim ini memang dibentuk pusat tapi anggotanya ada yang dari Jabar maupun Kabupaten Indramayu. Sudah melakukan beberapa langkah, pengumpulan informasi data fakta kemudian tim ini akan melakukan kunjungan ke Al-Zaytun, dialog, tapi ditolak oleh pihak Al Zaytun, alasannya sibuk,” jelas Rafani, Jumat (16/6).
“Pihak Al-Zaytun tidak kooperatif. Kemudian nanti tanggal 21 Juni MUI pusat akan berkunjung lagi. kita tidak tau apakah nanti ditolak apa tidak,” lanjutnya.
Disinggung mengenai desakan mengeluarkan fatwa, Rafani menyatakan hal itu tidak bisa dilakukan dengan sederhana. Ada beberapa tahapan dan proses yang mesti dilalui.
“Mengeluarkan fatwa itu tidak mudah, ada prosedurnya yaitu ketemu dengan bersangkutan, dialog, investigasi, nah kendalanya ketika tim ketika akan berkunjung, pihak Al-Zaytun tidak bersedia, malah surat dari tim dibalasnya oleh al Zaytun itu surat yang ditangani oleh sekretaris DKM,” terang Rafani.
Hal ini tentu sangat disayangkan. Pasalnya, jika informasi yang simpang siur ini terus berlanjut, maka ada keresahan yang dirasakan masyarakat. Terbaru, kelompok masyarakat melakukan unjukrasa yang salah satu tuntutannya adalah membubarkan Lembaga Pendidikan.
Padahal, ruang untuk memberikan klarifikasi di tengah kontroversi sudah disiapkan dan diupayakan oleh pemerintah.
“Banyak kontroversi, yang terakhir itu zinah boleh asal ditebus, komunisme, menganggap Indonesia tanah suci disamakan dengan tanah haram di Mekah, salat idul Fitri perempuan diletakkan di shaf terdepan, jadi imam khatib,” ujarnya.
“Dulu yang ramainya isu afiliasi dia NII, kemudian banyak yang melakukan penelitian tapi susah, mengetahui keterlibatan dia secara konkret, walaupun indikasi sudah ada. Dulu belum kontroversi pemahaman agama, baru sekarang, muncul kontroversi pemahaman agama, MUI cepat merespons,” pungkas Rafani.
(ameera/arrahmah.id)