BEKASI (Arrahmah.com) – Stigma dan tudingan radikalisme kepada media-media Islam dibantah oleh Shodiq Ramadhan, Sekretaris Umum Forum Jurnalis Muslim (Forjim) saat menjadi narasumber pada diskusi “Peran Media Dakwah Membendung Paham/Gerakan Radikalisme di STMIK Bani Saleh Kota Bekasi, Jawa Barat yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengembangan Kemandirian Nasional (LPKN) berkerjasama dengan Radio Dakta 107 FM, Kamis (27/4/2017)
“Radikalisme itu muncul karena ketidakadilan yang dilakukan pemerintah. Ketidakadilan di bidang hukum, sosial, politik maupun ekonomi,” kata Shodiq.
Dia mencontohkan apa yang terjadi baru-baru ini dalam penegakan hukum. Pada kasus penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, penegakan hukum tumpul. Ahok sama sekali tidak dipenjara. Sementara dalam kasus dugaan makar yang dituduh kepada KH Muhammad Al Khaththath, Sekjen FUI, penegakan hukum langsung tajam. Kyai Al Khaththath dipenjara hingga kini belum dibebaskan.
“Masih banyak contoh ketidakadilan yang dilakukan pemerintah yang menyebabkan tak sedikit masyarakat melakukan perlawanan,” tegas Shodiq.
Sementara pembicara lainnya, Mustofa Nahrawardaya, Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah mengungkapkan bahwa selama ini tidak ada kesepakatan terkait definisi radikalisme.
“Orang yang memahami Islam secara paripurna adalah radikal. Apakah radikal itu diukur dari pemahaman nya atau perilaku melakukan kekerasan? Selama ini tidak ada kejelasan,” ungkapnya.
Selama ini, stigma radikal selalu disematkan kepada kelompok-kelompok Islam. Media mainstream dinilai Mustofa memiliki kontribusi yang kuat dalam penyebaran definisi radikalisme yang keliru.
“Dari hasil riset yang saya lakukan, 88 persen masyarakat meyakini jika media mainstream memiliki kontribusi menyebarkan definisi radikalisme yang salah kaprah,” ujar Mustofa.
Sebetulnya, kata Mustofa, fenomena radikalisme ini bisa diminimalisir jika keadilan ditegakkan. “Radikalisme dengan sendirinya akan hilang jika keadilan ditegakkan,” tegas Mustofa.
Tak bisa dipungkiri memang, saat ini ada gejolak radikalisme dan terorisme memanfatkan situasi politik dalam negeri. Misalnya pada event tahunan hari buruh nasional pada 1 Mei 2017. Kelompok yang ingin mengacaukan negara juga saat ini sangat memungkinkan masuk sebagai penumpang gelap dalam aksi buruh nanti. Sehingga nama kelompok buruh akan tercoreng dan kemurnian suara buruh ikut ternodai.
(azmuttaqin/arrahmah.com)