Kemajuan yang dialami oleh pasukan rezim Nushairiyah pimpinan Bashar Asad telah memicu ribuan warga mengungsi ke perbatasan Turki.
Pasukan pro-Asad yang mendapat dukungan serangan udara oleh Rusia, sedang berupaya merebut kembali kota terbesar kedua di Suriah yang berada di bawah kendali pejuang Suriah. Aleppo terbagi menjadi dua antara wilayah yang dikendalikan oleh Mujahidin dan wilayah yang dikendalikan oleh rezim Nushairiyah.
Banyak sekolah di Aleppo yang masih terus beroperasi di tengah perang. Beberapa telah pindah ke bawah tanah untuk perlindungan dari bom.
Namun, jumlahnya yang sangat sedikit, kurikulum seadanya, kurangnya dana dan serangan udara terus-menerus, menjadi hambatan utama bagi siswa dan guru.
Samir Atrash yang berusia enam belas tahun, seorang siswa SMA di lingkungan Mashdad, Aleppo yang dikuasai oleh Mujahidin, berjalan ke sekolah di tengah puing-puing dan reruntuhan akibat bombardir dalam perang yang telah berlangsung selama lima tahun. Meskipun ia kesulitan dalam pelajaran sejarah dan geografi, dia sangat suka kelas akuntansi dan gym.
Di lingkungan Sukri, yang juga dikendalikan oleh Mujahidin, Shadi Al-Agha, remaja yang berusia 15 tahun, bekerja dengan ayahnya di sebuah kedai kopi. Meskipun ia ingin menjadi seorang guru bahasa Arab suatu hari nanti, ayahnya melarang dia untuk pergi ke sekolah karena khawatir akan diserang.
Beberapa orang tua terus menyekolahkan anak-anak mereka sejak perang meletus pada tahun 2011, dan warga di Aleppo mengatakan sekolah telah menjadi target serangan oleh rezim.
Sebuah studi oleh LSM Save the Children mengatakan lebih dari 30 sekolah Suriah telah diserang pada bulan September 2015, termasuk beberapa di Aleppo. Serangan udara Rusia yang dimulai pada akhir tahun 2015 juga dilaporkan telah memukul sekolah.
Al-Agha berhenti sekolah sejak tahun 2012 ketika keluarganya mulai sering berpindah-pindah, yang membuatnya sulit untuk melanjutkan studinya.
“Tentu saja saya ingin kembali ke sekolah secepat mungkin. Tapi ayah saya terus mengatakan bahwa sekolah ditargetkan oleh bom Asad,” ujar Agha kepada Al Jazeera.
“Dia menimbulkan ketakutan dalam diri saya, ke titik yang saya pikir tinggal di jalan lebih aman daripada pergi ke sekolah.”
Sekolah Atrash, seperti banyak lainnya di Aleppo, telah ditutup selama bertahun-tahun sebagai akibat dari perang.
“Sekolah sangat sulit karena teman sekelas saya dan saya harus berhenti pergi ke sekolah selama lebih dari dua tahun,” ujarnya kepada Al Jazeera.
Sekolahnya ditutup antara tahun 2012 sampai 2014.
“Sekarang semuanya lebih baik karena sekolah telah dibuka, ada bom namun lebih baik (kurang) dari sebelumnya,” lanjutnya.
Menurut Zaid Muhammad dari LSM Kesh Malek, Aleppo adalah rumah bagi 130 sekolah yang saat ini beroperasi atau dalam proses untuk dibuka kembali.
Sementara itu, para guru dan administrasi masih meratapi kerusakan di sekolah-sekolah di Aleppo karena pemboman.
Majid Marai memiliki sekitar 50 siswa di empat kelas bahasa Inggris di sekolah Sakhar Halaq di Aleppo.
Sejauh ini sekolahnya belum pernah diserang, namun ia mengatakan perilaku siswanya telah berubah sejak perang.
“Banyak dari mereka berperilaku seperti laki-laki. Ini bagus pada pandangan pertama, tapi itu beresiko untuk masa kecil mereka,” ungkapnya.
Beberapa siswa telah meninggalkan sekolah sama sekali.
“Sekitar setahun lalu ada kampanye pengeboman terhadap sekolah dan beberapa siswa meninggalkan sekolah,” katanya.
Namun seperti Atrash, Marai mengatakan situasi semakin lebih banyak dan bahwa sebagian besar siswa telah kembali ke sekolah.
Selain itu ia mengklaim bahwa sekolah lebih aman saat ini karena banyak dari mereka dipindahkan ke ruang bawah tanah sejak 2015.
Namun sekolah di Aleppo terus menderita kerusakan fisik, kurangnya dana dan kurikulum yang tidak memadai, tambah Marai.
“Ada masalah organisasi. Kurikulum kami dikembangkan dengan tergesa-gesa oleh pemerintah sementara (oposisi Suriah-red). Kami perlu kembali mengembangkannya.”
Ayman Amr Hashem, direktur dinas pendidikan untuk Aleppo yang menguasai sebagian Aleppo setuju bahwa kurikulum perlu direformasi dan bahwa sekolah yang rusak harus diperbaiki.
“Kita perlu lebih banyak mengorganisir dan merehabilitasi pusat-pusat pendidikan,” ujarnya kepada Al Jazeera.
“Karena bom telah memukul sekolah, guru telah kehilangan banyak pengalaman karena terus-menerus kelas ditutup.”
Hashem mengakui bahwa sekolah di Aleppo menerima dana dari luar negeri. Namun ia mengkritisi dana yang berasal dari negara Barat dan Timur Tengah ini karena telah dipolitisasi dan menginginkan dana-dana tersebut digunakan untuk memperbaiki sekolah-sekolah tidak mengembangkan kurikulum.
Meskipun ada resiko, namun para siswa dan guru tetap pergi ke sekolah di Aleppo.
“Saya ingin menjadi seorang insinyur,” ujar Atrash.
“Kenapa aku mengambil resiko pergi ke sekolah? Seperti yang ayahku katakan, ‘masa depan membutuhkan kerja keras dan pengorbanan’,” ujarnya. (haninmazaya/arrahmah.com)