JAKARTA (Arrahmah.com) – Rancangan Undang-undang tentang Pornografi yang masih diperdebatkan oleh beberapa kalangan, dibuat bukan untuk mengkaitkan dengan satu agama, aliran, adat, kebudayaan, kepercayaan tertentu. Namun, sebuah UU di negara Indonesia tersebut dirancang atas kesepakatan yang sama (common agreement).
Rancangan Undang-undang tentang Pornografi yang masih diperdebatkan oleh beberapa kalangan, dibuat bukan untuk mengkaitkan dengan satu agama, aliran, adat, kebudayaan, kepercayaan tertentu. Namun, sebuah UU di negara Indonesia tersebut dirancang atas kesepakatan yang sama (common agreement).
“Termasuk UU Pornografi adalah kesepakatan bersama dari elemen bangsa, kesepakatan ini mungkin tidak pernah seratuspersen semua orang mengatakan iya, tapi paling tidak itulah, kalau dikatakan sebagai common agreement dia adalah batas-batas yang sama dari semua orang yang menyepakati tidak terkait dengan kesepakatan yang mendominasi yang satu dengan yang lain, itulah posisi UU,” kata Sekjen Departemen Agama Bachrul Hayat dalam acara silaturahmi dan buka puasa bersama wartawan, di Kantor Departemen Agama, Jakarta, Selasa (23/9) sore.
Oleh karena itu, Ia meminta agar pihak-pihak yang akan memberikan tanggapannya terhadap RUU tersebut, untuk membaca draf terakhir yang sudah diujipublikan, dan jangan membaca draf-draf sebelumnya. Sehingga masukan yang diberikan bisa lebih fokus dengan apa yang akan menjadi masuk untuk perbaikan baik oleh panitia kerja (panja) di DPR maupun pemerintah.
“Saya melihat ini sudah kristalisasinya, sudah mengerucut dan semakin membaik dari kaca mata kami, mudah-mudahan masukan dari semua pihak lebih fokus hal-hal yang mana yang perlu disempurnakan,” ujarnya.
Dari sisi substansi, Bachrul menilai, RUU Pornografi sudah mengakomodasi prinsip-prinsip yang seharusnya ada dalam pembuatan UU, seperti non-diskriminasi, keadilan, dan menjunjung tinggi keragaman budaya.
Sedangkan, dari segi proses penyusunan RUU tersebut, lanjutnya, sudah melalui berbagai tahapan yang panjang. Pemerintah menyiapkan RUU itu dalam jangka waktu yang cukup lama disertai public sharing dengan berbagai kalangan masyarakat seperti tokoh agama, ormas, organisasi keagamaan, budayawan, artis, dan kalangan media baik cetak maupun elektronik.
Untuk kemudian, diteruskan dengan menyiapkan daftar inventarisasi masalah (DIM) yang kemudian diserahkan dan dibahas bersama DPR. Sementara, mengenai tanggal kapan akan disahkan oleh paripurna di DPR, menurut Bachrul, bagi pemerintah ini bukan sesuatu hal yang harus dipastikan.
“Yang penting kita mencapai sebuah proses dimana pemerintah diminta untuk memberikan tanggapan dan membahasnya mudah-mudahan tidak terlalu, karena kesibukan DPR yang luar biasa menjelang masa pemilu tahun depan,” imbuhnya. (Hanin Mazaya/Eramsulim)