(Arrahmah.com) – “Tidak adakah tempat di bumi ini di mana kami bisa berlindung, tidak adakah negara yang mau memberikan kami tempat untuk hidup?” Kami adalah satu-satunya orang di bumi ini yang tidak mendapatkan hak asasi manusia. Bagi mereka kami adalah binatang,” demikian ungkapan hati seorang pria Muslim Rohingya yang menjadi salah satu korban kekejaman di Arakan.
Muslim Rohingya di Arakan, hingga saat ini masih tertindas oleh pemerintah dan warga Buddha di sana yang menganggap bahwa orang-orang Rohingya adalah imigran ilegal yang datang dari Bangladesh. Selama ini kebanyakan media internasional juga turut membentuk opini bahwa etnis Rohingya di Myanmar adalah imigran Bengali yang terlibat bentrokan “sektarian” dengan warga Buddha Rakhine. Benarkah demikian? mari kita kenali sekilas tentang Muslim Rohingya di Arakan.
Agama Islam masuk wilayah Arakan tahun 788 masehi, dan etnis Rohingya adalah penduduk asli wilayah Arakan, Myanmar. Bahkan kerajaan Islam Arakan pernah berdiri di Arakan. Kata Arakan saja menunjukkan dia bearoma Islam, Arakan berasal dari bahasa Arab “arkaan,” bentuk jamak (plural) dari kata dasar “rukn” yang artinya rukun. Kita mengenal dalam Islam ada istilah “arkaanul islam, arkaanul iman, rukun islam , rukun iman,” nah seperti tulah gambarannya kata “arkaan,” yang tidak asing di telinga Muslim.
Lalu, benarkah istilah Rohingya baru muncul pada tahun 1950-an? Sejarawan Jacques P. Leider mengatakan bahwa pada abad ke-18 ada catatan seorang Inggris yang bernama Francis Buchanan-Hamilton yang sudah menyebutkan adanya masyarakat Muslim di Arakan. Mereka menyebut diri mereka “Rooinga”. Ada yang mengatakan bahwa istilah ini berasal dari kata “rahma” (rahmat) dalam bahasa Arab atau “rogha” (perdamaian) dalam bahasa Pashtun. Selain itu, ada pula yang mengaitkannya dengan wilayah Ruhadi Afghanistan yang dianggap sebagai tempat asal Rohingya.
Artinya ratusan tahun sudah etnis Muslim Rohingnya mendiami bumi Arakan, dalam kedamaian, saling kasih sayang dan keberkahan Allah (Subhanahu wa Ta’ala). Belakangan baru masuk etnis Burma Mongoloid di Arakan. Kemudian masuk pula penjajahan Inggris di sana.
Meskipun demikian, sikap pemerintah Myanmar sudah jelas seperti yang disampaikan Thein Sein selaku presiden negara tersebut bahwa Myanmar tak mungkin memberikan kewarganegaraan kepada orang Rohingya. Namun, Myanmar menawarkan solusi berupa pengiriman ribuan orang Rohingya ke negara lain atau tetap tinggal di Arakan, tetapi berada di bawah pengawasan PBB. Jadi, kelihatannya etnis Rohingya masih belum bisa bernapas lega sampai beberapa tahun mendatang.
Pemerintah Myanmar tidak mengakui kewarganegaraan etnis Rohingya karena menganggap masyarakat Muslim ini bukan merupakan kelompok etnis yang sudah ada di Myanmar sebelum kemerdekaan Myanmar pada 1948. Hal itu ditegaskan kembali oleh Thein Sein dalam laporan Al Jazeera pada 29 Juli 2012 bahwa Myanmar tidak mungkin memberikan kewarganegaraan kepada kelompok Rohingya yang dianggap imigran gelap dan pelintas batas dari Bangladesh itu, yang mereka sebut orang “Bengali.”
Dalam catatan PBB, Rohingya hanya disebut sebagai penduduk Muslim yang tinggal di Arakan atau Rakhine, Myanmar. Dari sudut kebahasaan, bahasa yang diklaim sebagai bahasa Rohingya sebenarnya termasuk ke dalam rumpun bahasa Indo-Eropa, khususnya kerabat bahasa Indo-Arya.
Parahnya, sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa bukan saja tidak diakui kewarganegaraannya tetapi Muslim Rohingya di Arakan juga mengalami berbagai macam kejahatan dari kelompok Buddhis Rakhine dan aparatnya yang sudah termasuk dalam pembersihan etnis. Masih sangat jelas di ingatan tragedi tahun lalu yang menimpa mereka, di mana desa-desa Muslim dibakar, masyarakat Muslim dibantai, para wanita Muslim diperkosa, harta mereka dijarah, dan yang selamat terpaksa untuk mengungsi ke negara-negara tetangga, yang malangnya mereka juga benar-benar ditolak dan diabaikan, hanya sebagian saja yang berhasil mengungsi. Dan hingga saat ini, penderitaan Muslim di sana belum juga berakhir.
Akar utama konflik adalah seperti yang sudah diungkapkan oleh Dr. Mumammad Yunus, pimpinan organisasi muslim Rohingnya, dalam sebuah acara penggalangan dana untuk Rohingya pada Sabtu (4/5) di Jakarta, adalah karena laa ilaha illa Allah, kebencian dan permusuhan terhadap umat Islam Rohingya. Sebab lain adalah adanya kecemburuan terhadap etnis Rohingya. Populasi etnis muslim Rohingya dalam beberapa dasawarsa ini terus meningkat. Tentu saja, hal ini menyebabkan kecurigaan dan kecemburuan pada etnis mayoritas Buddhis Rakhine. Bagi mereka, keberadaan etnis Rohingya pun sangat mungkin dianggap kerikil dalam sepatu, yakni sesuatu yang terus mengganggu. Keberadaan etnis Rohingya dianggap mengurangi hak atas lahan dan ekonomi, khususnya di wilayah Arakan, Rakhine yang menjadi pusat kehidupan etnis muslim ini.
(azmuttaqin/arrahmah.com)