Oleh: Harits Abu Ulya-Dir.CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)
(Arrahmah.com) – Tahun silam rakyat Indonesia dihadapkan pada kasus substansi RUU yang terkait penyadapan (intersepsi) oleh badan Intelijen.Pro-kontra tidak bisa dihindari,karena rakyat menjadi obyek dari operasi intersepsi.Dalam konteks yang sedikit berbeda, kasus terbaru penyadapan dilakukan oleh pihak asing terhadap individu-individu penting dari pejabat negara.Pihak Australia menyadap komunikasi Presiden RI dan beberapa orang dilingkaran dekatnya.Bagaimanakah sejatinya penyadapan dalam perspektif Islam? Berikut sekilas penjelasannya.
Dalam perhelatan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32 di, di Asrama Haji Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan, (25/3/2010) telah dibahas mengenai hukum mengintip dan mengintai pembicaraan orang lain melalui sadap telepon adalah tidak boleh atau haram. Keputusan itu merupakan salah satu hasil tim bahsul masail diniyah waqiiyah (pembahasan masalah tematik).
“Hukum (penyadapan telepon, red) itu tidak boleh, kecuali kalau untuk kepentingan penegakan hukum dan benar-benar ada gholabatuzh zhan (dugaan kuat) melakukan maksiat atau pelanggaran aturan,” kata KH Saifuddin Umar, ketua Tim Materi Bahsul Masail Diniyah Waqiiyah NU.
Bagi kita kaum muslimin yang perlu diketahui adalah apa hukum penyadapan? Apakah ia terkategori tindakan mata-mata atau spionase (tajassus)? Apa hukum tajassus terhadap kaum muslimin, baik rakyat maupun penguasa? Bagaimana kalau tajassus itu dilakukan terhadap pihak lawan, yakni negara atau rakyat kafir harbi?
Hukum penyadapan telepon
Penyadapan telepon merupakan kasus yang “lazim” dalam arena dan pertarungan politik dalam negara-negara demokrasi modern. Dalam kasus di sejumlah negara, penyadapan telepon dilakukan aparat pemerintah terhadap pesawat-pesawat telepon milik politisi dan wartawan terkemuka di negeri-negeri masing-masing. Ini biasanya dilakukan untuk mengontrol aktivitas para politisi dan wartawan. Kasus bocornya dokumen-dokumen oleh Wikileaks mengungkap aktifitas ini.
Oleh karena itu, dari segi fakta penyadapan telepon, yang tidak lain adalah untuk mengetahui isi pembicaraan rahasia antara dua orang yang sedang menelpon, dapat kita kategorikan bahwa penyadapan telepon itu adalah salah satu jenis kegiatan mata atau spionase atau tajassus.
Sebab, tajassus itu, menurut An Nabhani dalam kitab As Syakhshiyyah al Islamiyyah Juz 2 hal 211, adalah kegiatan menyelidiki atau mengusut suatu kabar untuk menelitinya lebih lanjut. Selain kegiatan spionase oleh badan intelejen, tajassus bisa terjadi pada wartawan yang melebihi tugasnya sebagai reporter (pengumpul dan penyebar berita), yakni melakukan investigasi untuk mendapatkan laporan-laporan yang sensasional. Termasuk dalam hal ini adalah apa yang dilakukan oleh paparazi yang mencuri-curi momen-momen rahasia untuk difotonya.
Dalam hukum Islam, kegiatan tajassus memiliki hukum sesuai dengan fakta kegiatannya. Jika aktivitas itu ditujukan kepada kaum muslimin, baik rakyat maupun penguasa, hukumnya haram. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian sebagian besar dari rasa curiga kepada sesama mukmin, karena curiga sesama mukmin itu dosa. Janganlah kalian memata-matai sesama mukmin…” (QS. Al Hujurat 12).
Menurut As Shaabuni dalam tafsirnya Shafwatut Tafaasiir Juz 3 hal 218, kalimat “walaa tajassasuu” berarti janganlah mencari-cari aurat (rahasia) kaum muslimin dan jangan memonitor aib-aib mereka. Ketika ditanya tentang kejadian menetesnya khamer (minuman keras) dari jenggot seorang yang bernama Walid bin Uqbah bin Abi Mu’ith, Ibnu Mas’ud r.a. dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Abi Syaibah mengatakan : “Kita dilarang melakukan tajassus, jika sesuatu telah nyata bagi kita, kita akan ambil (atasi)” (lihat Imam Az Zamakhsyari, Tafsir Al Kasysyaf Juz 4 hal 363).
Larangan tajassus terhadap kaum muslimin dalam ayat di atas bersifat umum, berlaku bagi perorangan, kelompok, maupun negara. Baik tajassus itu dilakukan untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Hukum larangan tajassus terhadap kaum muslimin itu berlaku pula terhadap warga negara non muslim (kafir dzimmi). Sebab, seorang kafir yang tunduk kepada negara Islam dan berstatus sebagai warga negara yang dilindungi, terhadapnya belaku seluruh hukum Islam kecuali hukum-hukum yang berkenaan dengan aqidah dan ibadah, dan masalah tajassus ini tidak termasuk dalam hal itu (An Nabhani, idem, hal 212).
Namun jika sasaran tajassus adalah negara lawan atau warga negaranya yang statusnya adalah orang kafir harbi (baik kafir must’min maupun kafir mu’ahid) yang memasuki negeri-negeri Islam atau berada di negeri mereka sendiri, maka tajassus terhadap mereka hukumnya boleh (jaiz) dilakukan oleh kaum muslimin dan wajib bagi negara khilafah. Seperti dalam kasus Rasulullah saw. pernah mengutus serombongan pasukan yang dipimpin oleh Abdullah bin Jahsy dengan membawa surat yang isinya adalah:
“Jika anda melihat suratku ini, maka berjalanlah terus hingga sampai ke kebun korma antara Makkah dan Thaif, dari situ intailah orang-orang Quraisy dan sampaikan- lah kepada ku informasi tentang mereka”.
Dari riwayat hadits itu dapat kita ketahui hukum tajassus terhadap orang-orang kafir harbi musuh kaum muslimin (baik secara de facto maupun de jure) adalah wajib bagi negara Islam dan boleh (jaiz) mubah bagi kaum muslimin. Mengingat kegiatan tajassus merupakan perkara yang harus dilakukan oleh tentara kaum muslimin dalam rangka jihad fi sabilillah menghadapi tentara musuh, dan tidak sempurna struktur angkatan bersenjata kaum muslimin tanpa adanya badan pelaksana kegiatan tajassus (intelejen maupun kontra intelejen), maka pembentukan badan intelejen untuk angkatan bersenjata hukumnya wajib atas negara Islam. Ini berdasarkan kaidah syara: “Tidak sempurna suatu kewajiban tanpa adanya sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib”.
Maka jika dilihat dari sasaran kegiatan tajassus yang dilakukannya. Jika sasarannya adalah kaum Muslimin, maka haram. Apapun alasannya. Bahkan jika dikhawatirkan rakyat (atau aktivis) melakukan perbuatan makar. Penanganan terhadap mereka cukup dengan polisi yang menjaga ketertiban umum dan mengambil tindakan untuk aktivitas yang nyata melanggar hukum. Namun jika sasarannya adalah pihak asing yakni warga maupun staf kedubes negara adikuasa yang ingin menguasai kaum muslimin, maka hukumnya adalah wajib atas negara dan petugas intelejen negara.
Jadi dalam kasus penyadapan oleh pihak Australia terhadap pejabat RI harusnya dipandang sebagai bentuk ancaman dan pelanggaran terhadap kedaulatan negara.Langkah kontra intelijen harus dilakukan, dan pemerintah harus tegas dengan mengambil keputusan-keputusan politik keamanan,politik ekonomi,maupun aspek lain yang menjadikan negara RI punya kedaulatan seutuhnya bukan lagi menjadi negara sahabat yang sejatinya adalah negara “satelit” mengorbit sesuai kepentingan negara kapitalis seperti Australia maupun sekutunya seperti Amerika. Wallahu a’lam. (azm/arrahmah.com)