![Tentara Niger berpatroli di gurun Iferouane pada 12 Februari 2020. [Souleymane Ag Anara/AFP]](https://i0.wp.com/www.arrahmah.id/wp/images/stories/2023/08/niger2.jpg?fit=770%2C513&ssl=1)
NIAMEY (Arrahmah.id) – Setidaknya 17 tentara Niger tewas dalam serangan oleh kelompok bersenjata di dekat perbatasan dengan Mali, kata Kementerian Pertahanan negara itu.
Menurut sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada Selasa malam (15/8/2023), “Sebuah detasemen Angkatan Bersenjata Niger (FAN) yang bergerak antara Boni dan Torodi menjadi korban penyergapan teroris di dekat kota Koutougou [52km barat daya Torodi]”.
Ia menambahkan bahwa 20 tentara lainnya terluka, semuanya dievakuasi ke Niamey.
Lebih dari 100 penyerang “dilumpuhkan” selama retret mereka, kata tentara.
Dalam dekade terakhir, daerah perbatasan di mana Mali tengah, Burkina Faso utara, dan Niger barat bertemu telah menjadi pusat kekerasan oleh kelompok bersenjata yang terkait dengan Al-Qaeda dan ISIL (ISIS) di wilayah Sahel.
Kemarahan atas pertumpahan darah telah memicu pengambilalihan militer di ketiga negara tersebut sejak 2020, dengan Niger yang terbaru jatuh ke kudeta pada 26 Juli ketika Presiden Mohamed Bazoum dicopot.
Niger Tenggara juga menjadi sasaran kelompok bersenjata yang menyeberang dari timur laut Nigeria – tempat lahir kampanye yang diprakarsai oleh Boko Haram pada 2010.
Para pemimpin kudeta mengatakan pemecatan Bazoum disebabkan ketidakamanan di negara itu “karena situasi keamanan yang memburuk dan pemerintahan yang buruk”.
Tetapi Ahmed Idris dari Al Jazeera, melaporkan dari Abuja di dekat Nigeria, mengatakan pencabutan perjanjian pemerintah militer Nigeria dengan militer Prancis dan penangguhan bantuan oleh mitra Niamey lainnya “membuat hidup lebih sulit”.
“Sekarang akan sulit bagi Niger untuk mencari peralatan, persenjataan, dan menangani meningkatnya kasus serangan oleh kelompok-kelompok bersenjata ini di Sahel… mungkin harus bergantung pada negara-negara seperti Mali dan Burkina Faso untuk keahlian dan juga dari tentara bayaran. kelompok yang selama ini beroperasi di dua negara tersebut,” ujarnya, pada Rabu (15/8).
“Tapi berapa banyak yang bisa mereka berikan? Berapa lama lagi? Mereka juga menghadapi masalah yang sama,” tambah Idris. (zarahamala/arrahmah.id)
