JENEWA (Arrahmah.com) – Sejumlah LSM dunia melakukan pertemuan yang belum pernah dilakukan sebelumnya di luar Kantor Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia untuk membahas masalah Kashmir pertama kalinya, seperti dilansir Kashmir Media Service melaporkan, Minggu (10/3/2019).
Pertemuan ini diselenggarakan bersama oleh Asosiasi Hak Asasi Manusia Internasional untuk Minoritas Amerika (IHRAAM), Serikat Wanita Muslim Internasional (IMWU), Pusat Asia Selatan untuk Perdamaian dan Hak Asasi Manusia (SACFPHR) dan Komisi Internasional untuk Hak Asasi Manusia (ICHR) di Jenewa.
Berbicara pada kesempatan bersejarah itu, Pengacara Abdul Majeed Tramboo (IHRAAM) menyatakan perlunya menunjukkan solidaritas bersama rakyat Kashmir di setiap tingkat dan lokasi yang tersedia bagi diaspora untuk mengingatkan pihak berwenang di koridor kekuasaan tentang memburuknya kondisi warga Kashmir di wilayah yang diduduki India. Dia mencatat bahwa Palais Wilson, lokasi pertemuan itu, adalah gedung tempat Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) berpusat, kantor yang sama yang menghasilkan laporan penting PBB soal Kashmir yang diterbitkan pada Juni 2018.
Dia menyatakan bahwa kehadiran hari ini adalah untuk menekankan kepada OHCHR agar sejumlah rekomendasi telah dibuat dalam laporan tersebut ditindaklanjuti oleh India sesegera mungkin.
Laporan tersebut mengakui urgensi situasi di Kashmir dan mengarahkan India untuk mengakhiri penyiksaan, pembunuhan ekstra-yudisial, kekerasan seksual, penggunaan kekuatan berlebihan termasuk senjata pendek, pencabutan semua undang-undang yang dinilai represif, membebaskan tahanan politik dan tahanan nurani, serta menyelenggarakan investigasi yang independen dan tidak memihak tentang kuburan massal dan tanpa nama seperti yang disahkan oleh Parlemen Eropa 12 tahun yang lalu.
Tramboo mengulangi perlunya laporan tindak lanjut untuk mengenali sikap tak berperasaan India terhadap laporan tersebut dan kekerasan yang terus meningkat di Kashmir sejak dipublikasikannya laporan itu.
Dia menambahkan bahwa pemerintah India telah menahan dan memenjarakan para pemimpin pro-kemerdekaan, termasuk Mohammed Yasin Malik dari Front Pembebasan Jammu Kashmir – JKLF, dan meningkatkan kekhawatiran tentang keselamatan mereka serta tahanan lain yang mendekam di berbagai penjara India selama bertahun-tahun termasuk Farooq Ahmed Dar dari JKLF dan Shabbir Ahmad Shah dari Partai Kebebasan Demokrat Jammu dan Kashmir.
Tramboo juga menuturkan bahwa komunitas organisasi non-pemerintah akan mengatur dan mengajukan petisi kepada Presiden Dewan Hak Asasi Manusia dan negara-negara anggotanya untuk mengadakan diskusi panel tentang laporan paling awal mengingat bahwa situasi hak asasi manusia di Kashmir yang diduduki telah memburuk drastis.
Profesor Nazir Ahmad Shawl dari SACFPHR menghargai pertemuan itu sebagai ungkapan sentimen tentang laporan tersebut. Dia mengatakan semua warga Kashmir menyambut fakta yang digambarkan dalam laporan PBB yang mencerminkan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh India. Meski demikian ia tetap menekannya pentingnya dukungan internasional atas fakta bahwa India melakukan terorisme negara di Kashmir.
Dia menyoroti bahwa persepsi yang sama telah didukung oleh Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dalam resolusi baru-baru ini, dan berharap bahwa semua organisasi antar-pemerintah lainnya akan maju dan memastikan pelaksanaan rekomendasi yang dibuat dalam laporan PBB.
Dia menambahkan dukungan Sekretaris Jenderal PBB untuk laporan yang menyebutnya “suara PBB”, dan berharap bahwa setiap negara di dunia akan menggemakan sentimen pada hak-hak demokratis masyarakat. Dia berharap bahwa komunitas internasional akan membahas masalah lama masyarakat Kashmir, dan menyoroti perlunya dunia yang lebih luas untuk mengangkat suara mereka karena kebebasan berekspresi di Kashmir telah dikurangi dan perbedaan pendapat damai telah dipenuhi dengan kekerasan dan penahanan ilegal.
Profesor Shawl menyimpulkan dengan mengatakan bahwa Kashmir sedang diteror oleh apa yang disebut negara demokratis, yang menggunakan pemerkosaan sebagai senjata perang dan telah melarang organisasi dan pemimpin sosial-keagamaan.
Altaf Wani dari Institut Hubungan Internasional Kashmir (KIIR) menyayangkan reaksi India atas laporan tersebut. Menurut Wani, bukannya menerima rekomendasi untuk mempromosikan dan melindungi hak warga Kashmir, represi India semakin meningkat di wilayah yang disengketakan itu. Terorisme negara ini mencapai puncaknya pada tahun 2018 di Kashmir, yang seharusnya menjadi peringatan sendiri bagi OHCHR.
Sardar Mahmood Iqbal, seorang pemimpin komunitas terkemuka Belgia, mengutuk India karena telah menteror warga Kashmir lebih jauh, di Kashmir dan di daratan India. Dia mengimbau dunia yang lebih luas untuk mendorong India menyelesaikan masalah Kashmir sesuai dengan resolusi PBB, atau mengambil resiko perang nuklir, skenario yang mungkin terjadi mengingat peristiwa baru-baru ini antara Pakistan dan India. (Althaf/arrahmah.com)