(Arrahmah.id) – Kita selalu belajar dari sejarah, layaknya sebagai cahaya penuntun di mana kita membuat keputusan berdasarkan kesalahan dan kesuksesan masa lalu. Oleh karena itu, penting untuk mempelajari sejarah, terutama sejarah sendiri, sejarah dunia Islam.
Amnesia kolektif sejarah Islam telah membawa kita ke tahap di mana kita mencari jawaban di media sosial, terpikat oleh orientalis dan akademisi dan percaya pada informasi palsu yang disebarkan melalui aplikasi pesan instan yang menggambarkan masa lalu. Padahal, mempelajari sejarah kita dari sumber asli atau dari akademisi terpercaya akan membantu kita mendapatkan kepercayaan diri dan melawan narasi serta masalah kontemporer dengan mudah.
Salah satu dari banyak topik penting sejarah yang terlupakan adalah kereta api Hijaz, sebuah pencapaian besar bagi Utsmaniyah, terutama mengingat keadaan yang sulit pada saat itu. Ini jarang dibahas, dan jika pernah, hanya mengacu pada Letnan Inggris, TE Lawrence, yang tugasnya adalah menyabot jalur kereta api strategis yang menghubungkan provinsi-provinsi Utsmaniyah yang jauh.
Bayangkan naik kereta api di Istanbul dan turun di Sana’a, di Yaman, melewati Damaskus, Yerusalem, dan Madinah. Bayangkan memiliki gerbong terpisah yang terbuat dari kaca untuk salat, dan kompartemen khusus wanita. Bayangkan sebuah masjid hadir di setiap stasiun besar dan dengan waktu kereta yang selaras, selaras dengan waktu salat. Bayangkan pergi dari Damaskus ke Madinah untuk menunaikan haji dalam waktu yang dipersingkat menjadi 2 hari, bukan 40 hari, dengan nyaman dan mudah, jauh dari bahaya perampokan. Bayangkan memiliki rumah sakit dan pusat karantina di lokasi strategis di sepanjang jalan, siap untuk mencegah wabah penyakit apa pun dan membantu merawat orang yang jatuh sakit selama perjalanan. Bayangkan memiliki kemampuan untuk bepergian secara gratis jika Anda tidak dapat menanggung biayanya (ada kuota orang yang diizinkan bepergian secara gratis).
Meskipun kedengarannya seperti mimpi, visi pragmatis ini benar-benar diimplementasikan, di masa-masa yang penuh gejolak, oleh Sultan Abdul Hamid II yang visioner dan karismatik. Proyek tersebut tidak dilakukan untuk keuntungan finansial. Faktanya, proyek ini bahkan menghasilkan keuntungan finansial yang sangat kecil. Sebaliknya, tujuan utamanya adalah untuk mencegah penyakit nasionalisme merajalela di antara penduduk dengan menggunakan Islam sebagai kekuatan pengikat (dengan keuntungan tambahan memberikan dukungan militer ke provinsi-provinsi Arab bila diperlukan).
Nama asli rel tersebut adalah Kereta Api Hamidiye Hijaz, Turki sekuler, juga dikenal sebagai Turki Muda, mengganti namanya menjadi Kereta api Hijaz setelah mengambil kendali pada 1909.
Sultan Hamid II menggunakan “Pan Islamisme” untuk menyatukan bagian-bagian kekhilafahan yang agak longgar selama sepertiga abad dengan rencana pembuatan jalur kereta api ini. Beliau berkata:
Yang penting bagi kami adalah dapat segera membangun rel kereta api antara Damaskus dan Mekkah; sehingga memungkinkan pengerahan tentara yang cepat pada saat terjadi kekacauan. Tujuan penting kedua adalah untuk memperkuat ikatan di antara umat Islam sedemikian rupa sehingga akan menghancurkan kejahatan dan penipuan Inggris. [Özyüksel, M. (2014). The Hejaz Railway and the Ottoman Empire: Modernity, Industrialisation and Ottoman Decline]
Meskipun pembicaraan tentang perkeretaapian telah dimulai pada 1891, akan tetapi, perkembangan sebenarnya dimulai pada 1900. Hal itu mendapat banyak kritik dan komentar negatif dari seluruh dunia karena Utsmaniyah secara finansial dan politik tidak begitu stabil. Di antara masalah lainnya, pemerintah masih membayar kembali pinjaman dari pemerintahan Sultan sebelumnya, dan banyak wilayah telah diambil oleh Rusia.
Awalnya, Sultan berencana untuk secara eksklusif memanfaatkan materi, orang, dan keahlian dari tanah Utsmaniyah sendiri, tetapi dia tidak dapat melakukannya. Sebaliknya, mereka mengandalkan Jerman untuk memberikan bantuan bahan mentah untuk rel dan pembuatan lokomotif. Nyatanya, pemerintah akhirnya mengirim siswa setiap tahun ke Jerman, di mana mereka belajar perdagangan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk proses rekayasa dan manufaktur.
Hingga hari ini kita bisa melihat bahwa lokomotif (yang rusak) yang dipajang di museum-museum di padang pasir Hijaz adalah milik Jerman.
Dalam banyak hal, jalur kereta api Hijaz merupakan upaya kolektif Muslim global. Sepertiga dari total dana dikumpulkan dari tanah di luar kekhilafahan Utsmaniyah. Muslim di seluruh dunia menyadari pentingnya jalur kereta api ini dan berdonasi dengan murah hati. Ada kampanye di Lahore dan Mumbai untuk pengumpulan sumbangan, dipimpin oleh Inshaullah, editor Al Watan (sebuah surat kabar yang berbasis di Lahore). Dia menggunakan korannya untuk menyebarkan panggilan, yang mengarah ke lebih dari 150 komite donasi yang beroperasi di India dengan kantor pusat mereka yang berbasis di Hyderabad. Mereka yang menyumbang di atas jumlah tertentu juga dianugerahi medali dan pengakuan.
Jalur kereta api ini diresmikan pada 1908. Pembangunan berlanjut hingga sekitar 1915, dan jalur kereta api ini terbukti sangat penting dalam melestarikan Madinah selama Perang Dunia 1. Pembangunan jalur kereta api sepanjang 1.464 km bahkan berhasil mengubah beberapa kota yang sebelumnya lebih kecil dan tidak dikenal menjadi lebih besar dan juga menghidupkan pasar.
Kereta api Hijaz adalah kereta api pertama dan mungkin satu-satunya yang tidak dibuat hanya untuk memberi manfaat bagi warga biasa, tetapi lebih dari itu, untuk memberi mereka kelegaan. Perjalanan 40 hari dengan unta dikurangi menjadi 27-54 jam setelah kereta api diluncurkan.
Namun, selain masalah tenaga ahli dan material untuk membangun rel kereta api. Pembuatan Kereta api ini menghadapi banyak hambatan dari Inggris, Prancis, dan Muslim di Hijaz (Arab).
- Muslim di Arab
Muslim Arab menganggap rel kereta api sebagai ancaman bagi diri mereka sendiri. Banyak Muslim di Arab memperoleh pendapatan mereka dengan memberikan perlindungan kepada kafilah dagang dari para penjarah. Karena kereta api menyediakan moda transportasi yang aman, yang akan mengakhiri kebutuhan akan perlindungan semacam itu, pemberontakan pecah di wilayah tersebut dan pengunjuk rasa menghentikan “suriye,” atau upeti tahunan untuk Sultan, untuk memasuki Madinah.
Mereka juga menyerang banyak bagian rel kereta api selama pembangunannya dan Utsmaniyah terpaksa meningkatkan keamanan yang diberikan kepada para pekerja di daerah tersebut. Karena masalah ini, jalur kereta api Madinah ke Makkah tidak pernah selesai. Dengan demikian, Kereta Api Hamidiye Hejaz tidak dapat mewujudkan potensi penuhnya.
- Intervensi Inggris di Aqaba – Krisis Tabah
Karena Inggris menguasai Terusan Suez, Mesir, dan India selama pembangunan rel kereta api, proposal Aqaba ke Cabang Laut Merah diajukan dan disepakati untuk mendukung pergerakan cepat barang dan pasukan ke Madinah. Karena itu, jumlah tentara Utsmaniyah bertambah di daerah itu.
Hal ini membuat Inggris merasa terancam karena mereka khawatir cengkeraman mereka akan dikompromikan tidak hanya di Mesir tetapi juga di India. Akibatnya, Kedua pasukan saling berhadapan dengan jarak hampir 12 km di antara mereka. Sultan Abdul Hamid II ingin menghindari konfrontasi dengan Inggris dan akhirnya menarik kembali pasukan, ia sangat ingin pengembangan jalur Kereta Api berlanjut tanpa ada masalah.
- Perlawanan Prancis di Damaskus
Prancis sudah mengoperasikan jalur kereta api mereka di wilayah Suriah sebelum pengembangan jalur kereta api Hijaz. Kereta api Hijaz akan dibangun sejajar dengan jalur Prancis yang membentang dari Damaskus ke Muzeirib. Hal ini menimbulkan protes dari Prancis yang berpendapat bahwa mereka menganggap kesepakatan dengan pemerintah Utsmaniyah untuk tidak membiarkan entitas lain beroperasi dan membangun rel kereta api di wilayah itu. Protes di tingkat diplomatik berlanjut hingga 1905 ketika pemerintah Utsmaniyah setuju untuk membayar kompensasi yang sangat besar.
Kompleksitas dan dampak kereta api Hijaz dengan mudah menjadikannya salah satu dari banyak pencapaian besar dunia Muslim. Di pinggiran Madinah, kita dapat melihat rel kereta api yang menembus jauh ke dalam gurun Hijaz, membawa kita kembali ke satu abad yang lalu bersama mereka. Stasiun kereta api itu kini telah menjadi Museum Madinah dan beberapa gerbong diubah menjadi restoran. Di Yordania dan Suriah, jalur kereta api ini masih digunakan sampai sekarang. Pada akhir pekan di Amman, kereta api digunakan sebagai hiburan.
Kereta api Hijaz masih menjadi sumber kegembiraan bagi orang-orang, bahkan setelah seratus tahun. (zarahamala/arrahmah.id)