XINJIANG (Arrahmah.id) – Etnis Muslim Uighur, yang merupakan minoritas Muslim di Cina, sering menjadi korban kekerasan dan penangkapan sewenang-wenang pemerintah Cina.
Pemerintah Cina menilai Muslim Uighur merupakan bagian dari teroris dan mulai menindas kaum itu. Penindasan ini terlihat dari pengakuan sejumlah masyarakat Uighur yang berhasil melarikan diri ke negara lain.
Etnis Uighur kebanyakan beragama Islam dan beraliran sunni. Mayoritas dari mereka tinggal di Xinjiang, Cina.
Sebelum dikuasai Cina, Xinjiang merupakan tempat berpopulasi kecil yang dipenuhi oleh penggembala dan petani. Mereka membentuk kerajaa kecil dan aliansi suku.
Sebagaimana dilansir Britannica, Xinjiang ditemukan oleh komando militer bersama Xiyu saat masa dinasti Han pada tahun 60 Sebelum Masehi.
Namun, kekuasaan dinasti itu melemah pada abad ke-3 Masehi, membuat Xinjiang berada dalam kekuasaan pemimpin Uighur.
Setelah itu, berbagai perubahan kekuasaan terjadi. Mulai kemunculan dinasti Tang, sampai pada masuknya Arab dan ajaran Islam.
Pada 1644, dinasti Qing berhasil menguasai Xinjiang. Pemerintahan itu mengalahkan perlawanan suku dari utara dan mengirim kaum Muslim yang setia ke Xinjiang pada abad ke 17 dan 18.
Di era Qing ini pula nama Xinjiang disematkan yang berarti perbatasan baru di wilayah barat.
Dinasti Qing sendiri merupakan bagian dari sejarah kerajaan Cina. Pada 1884, pemerintahan Qing kemudian menciptakan provinsi Xinjiang.
Pada 1955, pemerintah Cina menjadikan Xinjiang sebagai daerah otonom. Keputusan ini diambil oleh pemerintah pusat yang kala itu bersikap moderat terhadap kaum minoritas.
Kini, tempat tinggal kaum Uighur diduga berubah menjadi ‘kamp penyiksaan.’
Seorang mantan polisi yang sempat bekerja di kamp Uighur di Xinjiang mengatakan, setiap masyarakat yang baru ditahan sering dipukuli kala diinterogasi.
“Semua orang menggunakan metode yang berbeda. Beberapa bahkan menggunakan palang penghancur, atau rantai besi yang dilengkapi kunci,” kata mantan polisi itu kepada CNN menggunakan nama samaran Jiang.
“Tendang mereka, pukul mereka [hingga] mereka terluka dan bengkak. Hingga mereka berlutut di lantai sambil menangis,” cerita Jiang pada Oktober 2021.
Selain itu, Jiang mengatakan banyak masyarakat dari rumah-rumah Uighur ditangkap dan dibawa ke kamp tersebut secara paksa.
“Kami membawa [mereka] semua secara paksa semalaman. Jika ratusan orang berada di satu wilayah ini, Anda harus menangkap ratusan orang itu,” ceritanya lagi.
Tak hanya itu, seorang perempuan Uighur juga dikabarkan ditangkap karena mengajarkan Islam dan menyimpan salinan Al-Quran pada Januari lalu.
Sang perempuan, Hasiyet Ehmet, kemudian dijatuhi hukuman 14 tahun penjara, dikutip dari Radio Free Asia.
Selain itu, Pemerintah Cina membatasi Muslim Uighur yang boleh melaksanakan puasa. Hanya mereka yang sudah tua dan tidak memiliki anak yang bisa berpuasa di bulan Ramadhan.
Administrator yang mengawasi 10 keluarga di kota Atush di Prefektur Otonomi Kizilsu Kirghiz mengatakan dia menerima pemberitahuan tentang pembatasan puasa dari otoritas setempat.
“Dari 10 keluarga yang saya pimpin, dua – Tahir dan Ahmet – diidentifikasi sebagai keluarga yang bisa berpuasa,” katanya.
“Keduanya sudah tua dan tidak punya anak di rumah,” pungkasnya sebagaimana dilansir Radio Free Asia pada Rabu (30/3/2022).
Pemerintah Cina juga menahan 170 Muslim Uighur yang mengikuti shalat Idul Adha.
Perwira polisi senior di Aykol mengungkapkan bahwa lebih dari 170 Muslim Uighur telah ditahan, atas tuduhan melanggar peraturan tentang shalat Idul Adha.
“Saya yakin ada lebih dari 170 orang,” katanya, sebagaimana dilansir RFA pada Jumat (30/7/2021).
“Kami memberitahu bahwa orang tua yang berusia di atas 50 tahun dapat mengikuti shalat Idul Adha, tetapi bagi mereka yang berusia di bawah 50 tahun tidak bisa mengikutinya,” ujarnya.
Sebagaimana dilansir CFR, beberapa pejabat Cina khawatir Muslim Uighur mengemban nilai ekstremis dan separatis. Ini membuat pemerintah Cina disebut membangun kamp-kamp di Xinjiang untuk ‘menghapus ancaman’ atas kedaulatan Cina.
Bahkan, Presiden Xi Jinping sempat mewanti-wanti racun dari ekstremisme agama dan mendukung ‘kediktatoran’ untuk menghapuskan ‘ekstremis’ Islam di Cina. Bagi pemerintah Cina, kaum itu dipandang sebagai teroris atau simpatisan teroris.
Etnis Uighur merupakan salah satu kelompok yang berbicara bahasa Turki di pedalaman Asia. Kebanyakan dari mereka tinggal di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang, Cina.
Mengutip Britannica, sekitar 10 juta masyarakat Uighur tinggal di Cina. Namun, beberapa dari mereka berada di Uzbekistan, Kazakhstan, dan Kirgistan.
Mayoritas warga Uighur merupakan penduduk desa yang hidup di lembah Tien Shan, Pamirs, dan wilayah pegunungan lain. Banyak juga dari mereka yang bekerja di pabrik minyak bumi, pertambangan, dan manufaktur di pusat kota.
Dosen Senior Politik dan Hubungan Internasional Universitas James Cook, Anna Hayes, menyebutkan Cina mencaplok Xinjiang pada 1949. Kala itu, etnis Uighur diprediksi menguasai 76 persen populasi Xinjiang, dikutip dari The Conversation.
Namun, etnis Han Cina melakukan migrasi ke Xinjiang. Ekspansi ini membuat jumlah populasi Uighur di daerah itu mencapai 42 persen, sementara Han 40 persen.
Pemerintah Cina telah lama menilai Xinjiang dan minoritas Muslim, salah satunya Uighur sebagai daerah dan etnis yang tertinggal.
Dalam Lompatan Jauh Partai Komunis Cina pada 1958-1962, etnis dan agama dinilai sebagai penghambat kemajuan dan kebiasaan yang terbelakang.
Pemerintah Cina juga melakukan tindakan keras pada 1980 dan 1990-an, membuat banyak warga Uighur mencari perlindungan ke luar negeri.
Sementara itu, muncul bentrok yang melibatkan etnis Uighur pada 2009. Hampir 200 orang, yang mayoritas adalah etnis Han, meninggal dalam bentrok tersebut, dan sekitar 1.700 orang terluka.
Pihak berwenang Cina kemudian mengatasi masalah ini dengan menindak warga Uighur yang dicurigai sebagai pembangkang. Penindakan itu dilakukan dengan cara menembak dan memenjarakan mereka.
Pada 2017, Cina memutuskan menindak Uighur secara lebih sistematis. Pemerintah memasang kamera pengawas, pos pemeriksaan, dan patroli yang menjadi tempat tinggal warga Uighur.
Bahkan, organisasi hak asasi manusia menyebut pemerintah Cina menahan satu juta warga Uighur dalam kamp pelatihan politik. Meski demikian, tudingan ini dibantah oleh pejabat negara itu. (rafa/arrahmah.id)