ALEPPO (Arrahmah.com) – Aleppo merupakan kota terbesar kedua di Suriah. Kota ini adalah pusat industri dan keuangan negara.
Pada tahun pertama perlawanan terhadap rezim Nushairiyah, tidak terlihat di Aleppo protes dalam skala besar maupun kekerasan mematikan.
Namun, hingga akhirnya pada Juli 2012 kota ini menjadi ajang pertempuran utama, ketika para Mujahidin melancarkan serangan untuk menggulingkan pasukan rezim Nushairiyah untuk mendapatkan kontrol atas Suriah utara.
Namun, perlawanan tersebut tidak serta merta dapat menggulingkan rezim Asad. Aleppo terbagi menjadi wilayah oposisi dan sektor loyalis yang dikontrol, dengan beberapa bagian kota berpindah tangan setiap hari.
Pasukan oposisi mengontrol timur, sementara rezim Nushairiyah mengontrol wilayah barat.
Pada akhir 2013, pasukan rezim Asad melancarkan pemboman udara ke wilayah yang dikuasai mujahidin, hingga menyebabkan ribuan korban.
Dan kini, rezim Asad yang didukung oleh Rusia sejak tahun 2015, terus melancarkan serangan walaupun telah menyepakati gencatan senjata.
Aleppo, atau dalam bahasa Arab adalah Halab, merupakan salah satu kota tertua di dunia. Kota ini disebutkan dalam teks-teks Mesir dari abad ke-20 SM.
Aleppo berkembang secara politik dan ekonomi selama abad ke-18 SM sebagai ibu kota kerajaan Yankhad, hingga jatuh ke tangan bangsa Het.
Kota ini kemudian menjadi sebuah kota penting dari periode Helenistik dan sebuah pos perdagangan utama bagi pedagang yang lewat di antara Mediterania dan terbentang hingga ke timur. Aleppo akhirnya masuk ke dalam Kekaisaran Romawi dan menjadi jalur lalu lintas kafilah di bawah kekuasaan Byzantium.
Pada tahun 636, Aleppo ditaklukan oleh pasukan Muslim Arab. Sekitar 80 tahun kemudian, pada masa pemerintahan Bani Umayyah oleh Khalifah Sulaiman, Masjid Agung dibangun.
Pada abad ke-10, Aleppo menjadi ibukota dinasti Hamdani, tetapi kemudian mengalami masa perang oleh Kekaisaran Bizantium, Tentara Salib, Fatamids, dan Seljuk untuk mendapatkan kontrol daerah tersebut.
Aleppo terus berguncang hingga pertengahan abad ke-12. Pada Abad ke-13, Aleppo merasakan periode kemakmuran yang besar dan ekspansi.
Namun, pada tahun 1260, Aleppo ditaklukan oleh bangsa Mongol. Kota ini kemudian mengalami wabah pada tahun 1348 dan sebuah serangan yang menghancurkan oleh Timur pada tahun 1400.
Pada tahun 1516, Aleppo menjadi bagian dari Kekaisaran Ottoman. Ia segera menjadi ibukota provinsi sendiri dan muncul sebagai nexus perdagangan antara Timur dan Eropa.
Peran Aleppo sebagai pusat transit untuk perdagangan menurun pada akhir abad ke-18 dan diblokade oleh Prancis dan Inggris yang memotong kota dari Turki Selatan dan utara Irak, hingga menyebabkan hilangnya pelabuhan Meidetrania di Alexandretta (kini Iskenderun), di Turki, pada tahun 1939.
Setelah kemerdekaan Suriah, kota berkembang menjadi pusat industri utama, menyaingi ibukota Damaskus, dan penduduknya berkembang secara besar-besaran dari 300.000 jiwa menjadi sekitar 2,3 juta pada tahun 2005.
Ketika protes anti-rezim Asad meletus di Suriah pada Maret 2011, rezim Nushairiyah melakukan segala cara untuk memastikan wilayah mereka tidak direbut hingga Aleppo terjebak dalam kerusuhan.
Pada Februari 2012, Aleppo diguncang dua serangan bom yang menyebabkan 28 orang tewas. Kemudian, bentrokan terhadap rezim Nushairiyah dilaporkan terus meningkat dari daerah terdekat dari provinsi Aleppo.
Sejak akhir 2013, pasukan rezim Nushairiyah telah melancakan serangan udara mematikan di Aleppo dengan menggunakan bom barel. Hingga akhirnya pada tahun 2015, Rusia secara resmi melakukan intervensi untuk mendukung rezim Nushairiyah.
Rusia mengklaim hanya menargetkan Mujahidin, namun kenyataannya, banyak warga sipil yang menjadi korban.
Pada Februari 2016, rezim Nushairiyah merebut kembali kota-kota utara Aleppo, dan mengancam akan mengepung wilayah itu dari tangan oposisi.
Kini, Aleppo tengah dirundung duka, serangan bertubi-tubi oleh rezim Nushairiyah laknatullah telah merenggut nyawa lebih dari 200 orang dalam sepekan dengan salah satunya menargetkan rumah sakit.
(fath/bbc/arrahmah.com)