(Arrahmah.id) – Bagi sebagian orang, menyeduh kopi sama pentingnya dengan bernapas. Tapi tidak semua orang tahu dari mana asal secangkir kopi yang mereka seduh setiap hari. Minuman panas berkafein ini konon berasal dari Yaman pada abad ke-15. Di sanalah buah kopi pertama kali dipanggang dan diseduh dengan cara yang mirip dengan penyajian kopi hari ini.
Jika Anda memesan kopi di Mesir atau Suriah, Anda harus menyebutkan berapa banyak gula yang Anda inginkan karena kopi disiapkan dengan air manis. Anda dapat memesannya manis (arriha), manis sedang (mazboot) atau sangat manis (ziyada). Kopi tanpa pemanis (sada) hanya untuk mereka yang tengah bersedih.
Lain lagi dengan qahwe, kopi versi Somalia dengan susu, dibumbui dengan kapulaga dan kayu manis, qahwe sangat cocok diminum dengan kurma manis.
Di Sudan, kopi spesial yang disebut guhwah disiapkan dan disajikan dalam teko tanah liat merah tradisional yang disebut jebena. Untuk menyiapkan guhwah, “upacara kopi” khusus dilakukan sebelum pembuatannya. Biasanya, kapulaga, lada hitam, dan jahe dijadikan sebagai bahan tambahan.
Berbeda dengan Sudan, di Oman, kopi diracik dengan bahan tambahan seperti kunyit, air mawar dan kapulaga untuk memberikan rasa yang unik. Beberapa orang juga kadang menambahkan cengkeh dan kayu manis. Kesemua bahan-bahan ini direbus jadi satu dalam air mendidih.
Di Ethiopia yang konon asal tanaman kopi, biji kopi dipanggang di depan para tamu, kemudian digiling hingga aromanya menguar mengharumkan ruangan, lalu diseduh dalam teko kopi tanah liat atau jebena. Kopi disajikan dalam cangkir kecil yang disebut si’ni.
Di Qatar, kopi adalah simbol keramahan. Disajikan dalam teko tradisional yang disebut dallah dalam cangkir mini elegan yang disebut finjaan. Satu hal yang unik, cangkir tidak diisi dari atas. Bahkan, dianggap sebagai penghinaan jika melakukannya.
Di Morroco, Nous-Nous Coffee adalah pilihan yang populer. Seperti namanya, ‘Nous Nous’ yang berarti setengah-setengah, adalah setengah susu-setengah kopi. Kombo susu setengah espresso setengah berbusa ini biasanya disajikan dalam gelas dan rasanya sangat enak.
Kopi putih Libanon yang biasanya disebut ahweh bayda biasanya ditawarkan setelah makan. Anehnya, kopi putih ini sebenarnya bukan kopi, melainkan campuran air panas, air bunga jeruk, dengan gula atau madu sebagai pemanis.
Sementara di Aljazair, mazagran biasa disebut kopi es asli. Es kopi ini dibuat dengan perasan lemon segar.
Adapun di Turki, negara yang menjadi jembatan penyebaran kopi ke Eropa, kopi biasanya disajikan dalam sebuah cangkir kecil seukuran espresso lalu diteguk secara perlahan-lahan. Gula pada kopi Turki ikut dimasak bersama bubuk kopi bukan ditambahkan ke dalam cangkir setelah kopi disajikan.
Sebenarnya, kopi Arab dan Turki sangat mirip. Kopi Arab dan Turki disajikan dalam warna hitam, dibuat dengan kopi yang digiling halus, dengan ampas yang disajikan bersama kopi. Perbedaan utamanya adalah kopi Turki biasanya tidak mengandung kapulaga.
Kopi Arab sudah mendarah daging dalam budaya dan tradisi Timur Tengah, dan merupakan bentuk kopi paling populer yang diseduh di Timur Tengah. Kopi Arab masuk dalam Intangible Cultural Heritage dunia Arab yang dikonfirmasi oleh UNESCO.
Kopi Arab dianggap sebagai simbol kedermawanan. Ia merupakan aspek integral dari keramahan dan telah menjadi tradisi nasional. Kopi adalah simbol persatuan yang melestarikan asosiasi sosial, politik dan budaya yang membentuk masyarakat.
Alasan mengapa kopi Arab terasa begitu enak adalah karena persiapannya. Di masa lalu, orang Badui menyeduh kopi mereka di atas perapian sederhana yang digali di tanah. Seiring waktu, digantikan oleh kuwar, lubang tanah liat dengan kompor yang terbuat dari kerikil dan lempengan batu.
Selama 300 tahun pertama setelah ditemukan, kopi sangat erat kaitannya dengan umat Islam, khususnya para sufi. Mereka mengonsumsi kopi agar tetap terjaga di malam hari ketika tenggelam dalam zikir panjang, kopi juga dianggap membantu menahan dahaga ketika berpuasa di siang hari, selama bulan suci Ramadan.
Sejarawan percaya bahwa biji kopi berasal dari Afrika, tepatnya Ethiopia. Beberapa bukti menunjukkan bahwa dalam rentang antara 575 dan 850 M, biji kopi biasa dikonsumsi oleh suku pegunungan dengan cara dikunyah. Konsep kopi sebagai minuman muncul di kota pelabuhan Mocha (al-Mukha), Yaman oleh seorang Muslim, akan tetapi tidak diketahui secara pasti kapan tanaman ini melintasi Laut Rea lalu mencapai pelabuhan Mocha.
Kisah kopi yang diseduh dalam bentuk cair ini tidak bisa dilepaskan dari nama Umar Al Shadhili, seorang ahli tasawuf dari tarekat Shadhili. Ada banyak cerita yang terkait dengan penemuannya. Beberapa mengatakan dia menemukan khasiat tanaman ini saat berada di hutan belantara dan yang lain mengatakan dia mengamati orang-orang Ethiopia minum kopi dan membawa kebiasaan itu kembali ke Mocha. Setelah itu, semua tanaman kopi di seluruh dunia berasal dari Yaman. Tanaman ini melahirkan industri kopi global dan sebagian besar tanaman kopi di luar Ethiopia memiliki kode genetik Yamani yang sama.
Referensi pertama untuk minuman ini tampaknya muncul dalam tulisan seorang filsuf Muslim Arab bernama Rhazes yang hidup sekitar tahun 850-922 M, tetapi tidak jelas apakah minuman yang dia sebut Bunchum itu sebenarnya adalah kopi. Pastinya minuman tersebut sudah dikenal pada abad ke-13 di Yaman, dimana dikenal dengan sebutan qahwah, yang terikat dengan kata Arab qaha, artinya tidak lapar, mungkin karena minuman tersebut membatasi nafsu makan. Saat minuman ini menyebar ke seluruh dunia Islam, namanya pun berkembang. Orang Turki menyebutnya kahve, yang mengarah ke bahasa Italia caffe.
Kopi menjadi populer di antara berbagai tarekat Sufi dan menyebar ke seluruh Jazirah Arab. Tetapi terbatas pada daerah sekitar masjid karena kopi disiapkan sebagai minuman sebelum zikir. Penyebaran kopi akan tetap terbatas di Semenanjung Arab sampai orang-orang Turki datang. Pelabuhan Mocha ditaklukkan oleh Turki pada tahun 1400-an dan begitu mereka diperkenalkan dengan kopi, penyebarannya semakin meluas ke Timur Tengah dan Afrika Utara.
Orang mungkin mendapat kesan bahwa penyebaran kopi itu damai dan mulus, padahal tidak demikian. Dalam The Mohammedan Bean: The Secret History of Islam and Coffee, jurnalis Abdul Rehman Malik menceritakan kontroversi besar yang melingkupi minuman ini. Beberapa kali upaya dilakukan untuk menyatakan kopi sebagai minuman yang memabukkan. Fatwa dikeluarkan terhadap kopi. Beberapa alasan diberikan, pertama minuman ini memabukkan, layaknya alkohol. Kedua, biji kopi dipanggang sampai titik karbonisasi mirip dengan minuman fermentasi yang dilarang oleh syara’. Ketika kopi menjadi semakin populer, kopi berpindah ke ranah sekuler. Masjid bersaing dengan kedai kopi untuk menarik pelanggan, beberapa ulama khawatir dengan fenomena ini. Pada 20 Juni 1511 di Mekah, kopi dilarang. Akan tetapi, keputusan ini lalu dibatalkan pada 1525 diikuti oleh Kairo pada 1539.
Pada tahun 1600-an, ketika kedai kopi menyebar ke seluruh wilayah Kesultanan Utsmaniyah, putaran kedua penindasan kopi dimulai, tapi bukan dalam konteks agama. Sultan Murad IV Utsmani menyadari bahwa kedai kopi adalah tempat di mana orang-orang yang sadar mendiskusikan urusan pemerintahan dan dalam banyak kasus menuduh pejabat pemerintah melakukan korupsi atau mengkritik kebijakan Sultan. Dia takut kedai kopi akan menjadi sumber pemberontakan dan untuk mencegah para komplotan ini menggulingkan pemerintahan, dia melarang mereka. Kedai kopi dibakar habis dan siapa pun yang tertangkap dengan secangkir kopi akan mendapat akhir yang menyedihkan. Larangan ini berlanjut hingga Sultan Murad IV meninggal dunia.
Setelah itu, konsumsi kopi menyebar jauh dan luas, akhirnya mencapai perbatasan Eropa. Kopi mencapai Venesia pada tahun 1615, yang memiliki hubungan perdagangan dengan Istanbul, dan perlahan-lahan menuju ke Barat menuju Prancis dan Inggris. Namun, kopi tidak ditanam di mana pun di luar Yaman (kecuali Ethiopia). Beberapa otoritas keagamaan Italia saat itu curiga terhadap minuman baru yang mereka sebut minuman muslim. Seorang penentang menyebut kopi sebagai “penemuan pahit Setan” dan yang lain menyebutnya “anggur Arab”. Masalah ini kemudian dibawa ke Vatikan untuk diselesaikan Paus Clement VIII yang mencicipi secangkir sebelum memutuskan masalah ini dan menyatakan bahwa minuman tak ada yang salah dengan minuman tersebut. Tak lama kemudian, kopi menjadi populer di Italia, dan dari sana disebarkan oleh pedagang lain ke Jerman, Belanda, dan Inggris.
Pada tahun 1657, Queen’s Lane Coffee House dibuka di kota Oxford (masih bertahan sampai sekarang). Setengah abad kemudian berdiri sekitar 300 kedai kopi di Inggris.
Selama ratusan tahun, kopi adalah produk Yaman dan pelabuhan Mocha akan penuh dengan kapal yang memuat biji kopi untuk dibawa kembali ke negara asal mereka. Orang-orang Yaman dengan ketat menjaga barang-barang berharga mereka. Semua biji kopi sebelum diekspor terlebih dahulu direndam dalam air mendidih agar tidak bisa tumbuh dan siapa pun yang tertangkap mencoba menyelundupkan biji kopi mentah ke luar negeri akan dipenggal kepalanya. Malang bagi Yaman, pengusaha di seluruh dunia mulai memperhatikan potensi tanaman ini dan hasilnya jauh lebih besar daripada risikonya.
Selama awal 1600-an, biji kopi hijau diselundupkan keluar dari Yaman dan ditanam di dunia baru (Amerika Utara dan Selatan). Hal ini memakan waktu seratus tahun tetapi setelah itu mereka mulai memproduksi biji kopi dalam jumlah yang cukup besar untuk melampaui Yaman sebagai pengekspor biji kopi terkemuka ke Eropa.
Pada akhir abad ke-17, budaya minum kopi telah menyebar ke seluruh Eropa dan biji kopi menjadi tanaman komersial utama dan berlanjut hingga hari ini. (zarahamala/arrahmah.id)