(Arrahmah.id) – Islam hadir di Spanyol sejak 709 M sampai 1614 M, dimulai dengan pemerintahan Arab dan berakhir dengan pengusiran Morisco* dari Andalusia.
Pada saat ‘Abd al-Rahman mencapai Spanyol, orang-orang Arab dari Afrika Utara sudah bercokol di Semenanjung Iberia dan mulai menulis salah satu bab paling mulia dalam sejarah Islam.
Setelah kegagalan ekspansi ke Prancis, kaum Muslim di Spanyol mulai memusatkan seluruh perhatian mereka pada sebuah daerah yang disebut Al-Andalus, di Spanyol bagian selatan, untuk kemudian membangun sebuah peradaban yang jauh lebih unggul dari apa pun yang pernah dikenal masyarakat Spanyol. Kaum Muslim memerintah dengan penuh kebijaksanaan dan keadilan, mereka memperlakukan orang Kristen dan Yahudi dengan toleransi, sehingga banyak yang memeluk Islam. Mereka juga meningkatkan perdagangan dan pertanian, melindungi seni, memberikan kontribusi berharga bagi sains, dan menetapkan Cordoba sebagai kota paling canggih di Eropa.
Pada abad ke-10, Cordoba dapat berbangga populasinya yang mencapai 500.000 jiwa, bandingkan dengan Paris yang hanya sekitar 38.000 jiwa. Menurut catatan sejarah masa itu, kota ini memiliki 700 masjid, 60.000 istana, dan 70 perpustakaan – salah satu diantaranya menampung 500.000 jilid manuskrip dan mempekerjakan ratusan staf, peneliti, dan penjilid buku. Cordoba juga memiliki sekitar 900 pemandian umum, serta lampu jalan pertama di Eropa. Sekitar lima mil di luar kota terdapat kediaman Khalifah, Madinat al-Zahra. Sebuah kompleks yang dibangun dari marmer, stuko, gading, dan onyx. Madinat al-Zahra membutuhkan waktu empat puluh tahun dalam pembangunannya, menelan biaya hampir sepertiga dari pendapatan Cordoba dan sampai dihancurkan pada abad ke-11, ia tetaplah salah satu keajaiban yang terabadikan dalam tinta sejarah. Restorasi kompleks ini dimulai pada paruh kedua abad 20 dan masih terus berlangsung hingga sekarang.
Pada abad ke-11, kantong kecil perlawanan Kristen mulai tumbuh, dan di bawah Alfonso VI pasukan Kristen merebut kembali Toledo. Ini adalah awal dari periode yang oleh orang-orang Kristen disebut sebagai penaklukan kembali. Salah faktor yang memuluskan perlawanan kaum Kristiani adalah ketidakmampuan para penguasa Islam Spanyol pada saat itu untuk mempertahankan persatuan mereka. Hal ini sangat melemahkan sehingga ketika berbagai kerajaan Kristen mulai menimbulkan ancaman serius, mereka meminta bantuan Murabithun, sebuah dinasti Berber Afrika Utara. Murabithun datang dan menghancurkan pemberontakan Kristen, tetapi akhirnya justru Murabithun menguasai mereka. Pada 1147, Murabithun pada gilirannya dikalahkan oleh koalisi lain dari suku Berber, Muwahhidun.
Konflik internal seperti ini memang tidak jarang terjadi – kerajaan-kerajaan Kristen juga berperang tanpa henti di antara mereka sendiri – dan akhirnya mengalihkan kekuatan Muslim pada saat orang-orang Kristen mulai merundingkan aliansi yang kuat, membentuk tentara yang solid, dan meluncurkan kampanye yang nantinya akan mengakhiri kekuasaan Arab.
Orang-orang Arab tidak menyerah dengan mudah, Al-Andalus adalah tanah mereka juga. Akan tetapi, sedikit demi sedikit, mereka harus mundur, pertama dari Spanyol utara, lalu Spanyol tengah. Hingga pada abad ke-13, wilayah kekuasaan mereka yang dulu luas direduksi menjadi beberapa kerajaan yang tersebar jauh di pegunungan Andalusia. Sungguh sangat mengharukan.
Dalam dua abad terakhir kepemimpinannya, orang-orang Arab sempat membangun sebuah kerajaan yang sangat indah yang membuat mereka terkenal, yaitu Granada. Seiring mundurnya kaum Muslimin ke selatan, mereka tiba-tiba menyadari, seperti yang ditulis Washington Irving, bahwa mereka adalah orang-orang tanpa negara, dan mulai membangun tugu peringatan: Alhambra, benteng di atas Granada yang disebut oleh seorang penulis. “Kemuliaan dan keajaiban dunia beradab.”
Sejarah Alhambra dimulai pada 1238 oleh Sultan Muhammad Ibnu Al-Ahmar, seseorang yang untuk membeli keamanan bagi rakyatnya pernah datang ke tenda Ferdinand III ketika raja dari Kastilia tersebut mengepung Granada, dan dengan rendah hati menawarkan untuk menjadi pengikut raja dengan imbalan perdamaian.
Sebuah langkah yang menyesakkan dada, langkah yang perlu sekaligus sulit, terutama ketika Ferdinand dalam salah satu klausul perjanjian meminta beliau menyediakan pasukan untuk membantu orang-orang Kristen melawan kaum Muslimin dalam pengepungan Sevilla pada 1248. Sesuai janjinya, Ibnu Al-Ahmar memenuhi dan Sevilla jatuh ke tangan orang-orang Kristen. Ketika kembali ke Granada, banyak orang bersorak-sorai memuji beliau sebagai pemenang. Dalam kegundahannya, beliau mengungkapkan gejolak jiwanya dalam jawaban singkat dan sedih yang beliau tulis berulang-ulang di dinding Alhambra: “Tak ada pemenang selain Allah.”
Selama bertahun-tahun, apa yang dimulai sebagai benteng perlahan-lahan berkembang di bawah penerus Ibnu Al-Ahmar menjadi serangkaian bangunan indah, halaman menyejukkan, kolam jernih, dan taman tersembunyi. Sepeninggal Sang Sultan, Granada dibangun kembali dan menjadi seperti yang ditulis oleh seorang pengunjung Arab, “Seperti sebuah vas perak yang berisi zamrud.”
Sementara itu, di luar Granada, raja-raja Kristen menunggu. Dalam suksesi tanpa henti, mereka telah merebut kembali Toledo, Cordoba, dan Sevilla. Hanya Granada yang selamat. Kemudian pada 1482, karena pertengkaran sepele, kerajaan Muslim terpecah menjadi dua faksi yang bermusuhan sementara pada saat yang sama dua penguasa Kristen yang kuat, Ferdinand II dari Aragon dan Isabella menikah dan menggabungkan kerajaan mereka. Akibatnya, Granada jatuh sepuluh tahun kemudian. Pada 2 Januari 1492, Ferdinand dan Isabella mengibarkan bendera Spanyol Kristen di atas Alhambra. Muhammad XII, sultan Muslim terakhir berkuda ke pengasingan diiringi tangisan pahit sang ibunda yang sudah lanjut usia, “Menangislah seperti wanita untuk kota yang tidak bisa kamu pertahankan seperti laki-laki!”
Pada awalnya, sebagian besar Muslim tetap tinggal di Spanyol, mereka tidak punya tempat lain untuk dituju. Orang-orang Kristen mengizinkan umat Islam untuk bekerja, bertugas di tentara, memiliki tanah, dan bahkan menjalankan agama mereka. Namun kemudian, pada masa Inkuisisi, semua hak kaum muslim dicabut, kehidupan mereka menjadi sulit, akhirnya banyak yang mulai hijrah. Pada awal abad ke-17, sebagian besar kaum muslimin yang selamat diusir secara paksa.
Dalam beberapa dekade terakhir, migrasi telah menghasilkan kebangkitan Islam, lebih dari satu juta kaum muslim saat ini tinggal di Spanyol, mayoritasnya adalah orang Maroko dan Spanyol yang diwakili oleh Komisi Islam Spanyol. Selebihnya muslim dari negara-negara tetangga Afrika seperti Suriah, Libanon, Irak, Iran, dan beberapa dari Bangladesh, India, serta Pakistan.
Ada juga sejumlah mualaf, diperkirakan jumlah antara 20.000 dan 50.000, dari jumlah total 1.000.000 Muslim. Banyak pemeluk Islam tinggal di wilayah Andalusia selatan dan telah membuka pusat pembelajaran Islam yang menarik pengunjung dari seluruh Eropa, Kanada, dan Amerika Serikat. (ZarahAmala/arrahmah.id)
*Morisco: Muslim Spanyol (atau keturunannya) yang dibaptis menjadi Kristen.