JAKARTA (Arrahmah.com) – Dr Nadjamuddin Ramly MSi, Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI mengaku bersyukur bahwa sejak di Aceh tegak syariat Islam, Aceh terlihat lebih damai dan aman. Damai itu perlu dicontohkan, bukan diperbincangkan.
“Damai itu mudah diucapkan tapi sangat susah untuk direalisasikan,” katanya saat menutup Bimbingan Teknis (Bimtek) Diplomasi Budaya Damai pada Generasi Muda di Hotel Hermes, Banda Aceh, Kamis (14/4) siang, dikutip dari sangpencerah.com
Acara itu berlangsung sejak Senin (11/4) sore. Bimtek yang dilaksanakan kementerian bekerja sama dengan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Aceh itu diikuti 100 peserta dari kalangan pemuda dan mahasiswa se-Aceh.
Menurut Nadjamuddin, pesan perdamaian di Aceh atau di mana pun saat ini bisa disampaikan melalui media sosial. Hal ini akan membuat kampanye perdamaian semakin efektif dan tersebar luas. Tapi yang terpenting adalah rajut perdamaian tanpa rasa curiga dan bahasakan dengan kemasan yang indah dan kreativitas yang tinggi, karena damai itu indah.
Tokoh Muhammadiyah ini menyatakan, kegiatan itu bertujuan untuk menumbuhkan karakter damai kepada juru damai di daerah-daerah. Karakter damai itulah yang ditransfer kepada para peserta bimtek dengan harapan peserta kegiatan terlatih menjadi juru damai (agent of peace) di daerahnya masing-masing di Provinsi Aceh.
Menurut Nadjamuddin, manusia dapat berinteraksi dengan cinta, berteman dengan cinta, dan damai mewujudkan cinta. Cinta dalam hidup ini adalah kebahagiaan. Kalau hidup ini dipenuhi dengan cinta, maka tak ada lagi kata konflik dan hanya ada kebahagiaan.
Apa pun etnisnya, agama, dan latar belakang sosialnya, lanjut Nadjamuddin, maka semuanya bisa hidup damai asal mengutamakan keharmonisan. Kalau harmoni dan keseimbangan itu tercapai, maka mereka makin bersahabat dan berdamai tanpa rasa curiga.
“Kalau kecurigaan antarsesama masih ada, maka damai takkan pernah terwujud,” imbuhnya.
Sebagai agent of peace di daerah masing-masing di Aceh, kata Nadjamuddin, peserta harus bisa berdamai dengan diri sendiri terlebih dulu sebelum mendamaikan orang lain.
“Kedisiplin dan komitmen pada diri sendiri untuk menjadi juru damai juga sangat dibutuhkan, kalau tidak bisa dipastikan telah gagal menjadi agent of peace,” ujarnya.
Bimtek tersebut dibekali oleh Saifuddin Bantasyam MA (Direktur Pusat Kajian Perdamaian dan Resolusi Konflik Unsyiah), Yarmen Dinamika (Redaktur Pelaksana Harian Serambi Indonesia), Dr Aslam Nur (Ketua PW Muhammadiyah Aceh), dan Dr Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry) serta Dr Nadjamuddin Ramly MSi.
(azm/arrahmah.com)