oleh : Taufik Hidayat
(Ketua Bidang Polhukam Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
(Arrahmah.com) – Penangkapan ketiga ustad pada tangal 16 November 2021 lalu mengagetkan publik dengan tuduhan terlibat dalam aktivitas terorisme. Tuduhan ini dikaitkan dengan organisasi Jamaah Islamiyah (JI) yang sudah berubah secara drastis sejak lama pada 14 tahun yang lalu (tahun 2007).
Publik bertanya tanya tentang tuduhan tersebut apakah dapat dipercaya begitu saja mengingat aktivitas ketiga ustad ini selama ini tidak pernah terlihat mempromosikan kekerasan apalagi teror.
Oleh sebab itu, penulis ingin membantah tuduhan tersebut dengan pengetahuan dan pengalaman penulis ketika berinteraksi dengan ketiga orang tersebut.
Pertama tentang ustad Farid Ahmad Okbah (FAO), ustad FAO merupakan santri seorang Habib Tasauf/Sufi (Penulis lupa namanya) di bangil Jawa Timur yang mengajarkan tentang masalah manajemen hati dan prilaku manusia dengan akhlakul karimah, setelah nyantri dengan habib tersebut, Ustad Farid saat itu ingin melanjutkan pendidikan tetapi tidak mempunyai biaya, akhirnya beliau mendengar LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Arab) membuka pendaftaran dan akan memberikan uang saku setiap bulannya bagi pelajar yang diterima, maka beliau langsung mendaftar karena tidak perlu mengeluarkan biaya malahan mendapat biaya kehidupan setiap bulannya.
Awalnya nama FAO tidak tercantum dalam daftar pelajar yang diterima, tetapi FAO setiap hari mendatangi LIPIA mempertanyakan kenapa namanya tidak masuk dalam daftar.
Setelah selama sebulan bolak-balik ke LIPIA akhirnya pihak LIPIA mau mengungkap alasan FAO tidak diterima yaitu hasil tesnya melampaui standar sehingga seharusnya beliau langsung belajar di semester akhir.
Akhirnya setelah pihak LIPIA mau menerima, beliau langsung diterima di semester 4 (empat) dan setelah lulus langsung dipekerjakan sebagai staf perpustakaan karena kepintaran beliau.
Suatu masa, beliau diminta abangnya untuk melampirkan KTP dan surat keterangan kerjanya di LIPIA untuk mengurus visa kerja ke Australia. Abangnya berharap dengan mengikutsertakan status pekerjaan FAO di LIPIA maka akan memuluskan mendapatkan VISA, karena pemerintah Australia sangat paham pemerintah Saudi bersama-sama Amerika memerangi terorisme baik di internal maupun eksternal, sehingga karyawan yang bekerja di lembaga resmi Saudi Arabia pastilah aman dari anasir terorisme.
Tebakan abang FAO ini benar terjadi, tetapi hanya visa FAO yang keluar sedangkan Visa abang dari FAO ditolak.
Melihat hal ini, FAO tidak menyia-nyiakan kesempatan, dengan berbekal gaji dari LIPIA beliau mencoba peruntungan nasib di Australia. Beliau bercerita pertama kali sampai di bandara Australia-Sydney, dia tidak punya kenalan siapapun, dia hanya minta supir taksi untuk menunjukkan dimana Islamic Centre.
Ketika di Islamic Centre pada awalnya beliau menjadi Marbot masjid untuk membantu hal-hal umum, kemudian beliau pada akhirnya dipercaya menjadi imam masjid dan penceramah di Islamic Centre itu.
Bermodalkan ilmu agama yang cukup, Ustad Farid melakukan pembinaan mental spiritual kepada penduduk Indonesia maupuan mualaf Sydeny-Australia yang menjadi Jamaah Islamic Centre Sydney tersebut.
Usaha beliau mendapat apresiasi dari banyak kalangan karena menjadikan banyak orang yang tadinya mabuk-mabukan, free sex, depresi dll. menjadi manusia yang berubah 180 derajat.
Ketika mendengar kabar jihad para mujahidin Afghanistan melawan Komunis Uni Sovyet beliau tergerak untuk membantu, tetapi beliau khawatir dituduh menjadi teroris.
Akhirnya beliau pelajari kebijakan orde baru / Bapak Soeharto terhadap masalah Afghanistan pada masa itu, ternyata menurut beliau, Soeharto mendukung perjuangan rakyat Afghanistan untuk mengusir penjajah komunis Uni Sovyet.
Hal ini bisa kita baca juga di buku Teddy Rusdy dalam bukunya “Think Ahead” dimana Soeharto memerintahkan Benny Moerdani untuk mengirim senjata ke Afghanistan malahan melalui bandara Halim Perdankusuma.
Mengetahui bahwa rezim Soeharto pada saat itu membantu pejuang Mujahidin mengusir Komunis Uni Sovyet, maka pada tahun 1993 beliau berangkat ke Afghanistan dengan terang-terangan selama enam bulan disana dan ketika pulang ke Indonesia, pihak berwenang di Indonesia tidak mempermasalahkan keberangkatan beliau, karena memang pada saat itu Soeharto mendukung perjuangan Mujahidin yang juga dibantu Amerika Serikat (AS) sebagai kawan sekutu negara Indonesia pada saat itu.
Selama di Afghanistan, FAO lebih banyak membantu urusan umum seperti menyiapkan logistik mujahidin, memasak, mengobati dan banyak orang Indonesia yang menjadi relawan. Jadi masa itu, tidak ada tuduhan teroris bagi orang Indonesia yang membantu rakyat Afghanistan (Mujahidin) untuk mengusir penjajah komunis Uni Sovyet.
Jadi tuduhan FAO menjadi teroris dikaitkan dengan keberangkatan ke Afghanistan merupakan tuduhan yang tidak paham kondisi pada masa itu dimana rezim Soeharto memberi dukungan ke Mujahidin walaupun melalui operasi Rahasia.
Tentang kaitannya FAO dengan Jamaah Islamiyah, beberapa kali dia mengatakan kepada penulis (FAO tidak pernah memberitahu kepada penulis tentang Jamaah Islamiyah tetapi menggunakan istilah “orang yang suka ngebom-ngebom”) bahwa orang yang suka “ngebom-ngebom” itu harus kita sadarkan, mereka harus diberi kegiatan yang positif yang tidak lagi melanggar konstitusi.
Menurut beliau, mereka yang dulunya bertempur di Afghanistan membela mujahidin biasanya ketika pulang ke Indonesia ingin menduplikasi keadaan perang di Afghanistan di Indonesia, sehingga kata FAO hal ini sangat berbahaya karena melanggar hukum.
Oleh sebab itu, setahu saya, beliau memang membantu para orang yang suka “ngebom-ngebom” itu untuk bertobat meninggalkan kekerasan dan mulai dengan aktivitas da’wah rahmatan lil’alamin yaitu menyadarkan manusia tentang Tauhid, mengikuti Sunnah dan mengikuti hukum yang ada.
Maka, ketika beliau ditawarkan menjadi Ketua Umum Partai Politik Masyumi Reborn oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Partai Islam Ideologis (BPU-PPII) yang diketuai oleh KH. A. Cholil Ridwan beliau akhirnya bersedia walaupun hingga dua kali terus menolak karena merasa bukan bidangnya mengurusi politik.
Akhirnya karena ada permasalahan tertentu di tubuh BPU-PPII akhirnya terpecah dua, yang satu menjadi Partai Dakwah Rakyat Indoensia (PDRI), sedangkan Partai Masyumi Reborn menjadikan Dr. Ahmad Yani menjadi Ketua umum. Sehingga tuduhan bahwa beliau membuat Partai untuk menampung alumni JI adalah sebuah tuduhan yang dilontarkan oleh orang yang tidak paham sejarah pembentukan Partai Dakwah Rakyat Indonesia.
Memang beliau pernah menyatakan bahwa para orang yang suka “ngebom-ngebom” yang sudah tobat dari “ngebom-ngebom” itu harus diberikan wadah yang positif agar aktivitas dakwah nya tidak padam, bisa jadi melalui yayasan sosial, pendidikan malahan bisa jadi melalui Partai Politik bagi yang mau berpolitik secara konstitusional.
TIDAKKAH USAHA FAO INI MALAH SECARA JELAS MEMBANTU BNPT dan DENSUS 88 untuk melakukan deradikalisasi orang-orang yang suka “ngebom-ngebom” itu ?.
Pertanyaannya, usaha apa lagi yang harus dilakukan FAO agar mereka yang suka “ngebom-ngebom” tersebut bisa ditobatkan untuk menjadi warga negara yang baik dan bertindak secara konstitusional ? jika usaha diataspun dituduh bagian dari teorisme?
FAO belakangan ini sedang gandrung membaca buku -buku masalah negara, seperti dari Yudi Latif, Phd., Kuntowijoyo, Lukman Hakiem, sejarah para pendiri NU, dan membaca sejarah para tokoh tokoh bangsa lainnya untuk memahami perjalanan bangsa Indonesia sehingga menurut beliau bisa menjadi bahan penyadaran bagi para orang yang suka “ngebom-ngebom” itu menjadi cinta kepada NKRI dan mau menerima Pancasila sebagai kesepakatan bersama bangsa.
Beliau sangat menyadari bahwa untuk merubah Indonesia kearah yang lebih baik dengan nilai-nilai agama Islam sebagai sumber inspirasi haruslah melalui jalan konstitusional, maka dengan kesadaran itu beliau mau menerima jabatan ketua umum Partai Politik walaupun dengan berat hati (dua kali menolak).
Pertanyaannya, usaha apa lagi yang harus dilakukan FAO agar dia bisa berjuang secara konstitusional untuk memperjuangkan nilai nilai Islam menjadi sumber inspirasi di Indonesia (sesuai pasal 29 UUD 1945) jika menjadi Ketua Umum Partai pun dituduh bagian dari terorisme?
Oleh sebab itu, penulis meminta pihak Densus 88 dan BNPT harus mendalami secara obyketif kiprah FAO selama ini yang berusaha justru untuk membantu negara dan pemerintah menjadikan warga negara yang baik dan taat hukum. Seharusnya FAO malah dinobatkan menjadi duta BNPT dan Densus 88 melawan terorisme karena kiprahnya selama ini.
Seharusnya malah negara memberi beliau tanda jasa atas kiprahnya membantu usaha pemerintah melakukan program deradikalisasi. Penulis berharap Densus 88 / Polri meralat status tersangka FAO dan kedua ustad lainnya yang menjadi tertuduh padahal yang dilakukan adalah sebaliknya.
Maka tidak aneh beliau pernah menerima tanda bintang tiga dari seorang dari Badan Intelijen Negara (menurut pengakuan anaknya) karena mungkin dianggap membantu negara dalam melawan ancaman negara.
Beliau diterima berdialog dengan bapak Tito Karnavian, PhD ketika menjadi Kapolri.
Malahan beliau diterima Presiden Jokowi untuk bisa saling berdialog. Beliau mengatakan dalam manhaj Salaf ketika mengingatkan pemimpin tidak boleh didepan umum tetapi harus langsung ketemu sehingga pemimpin tidak merasa “losing face”.
Itulah akhlak beliau kepada pemimpin. Pertemuan beliau dengan pak Presiden Joko Widodo dan pak Tito Karnavian, PhD. bukan tanpa resiko cemoohan, beliau dianggap “cebong” , “pengkhianat” dll.
Tetapi beliau hadapi dengan lapang dada, beliau katakan kalau melakukan dakwah yang benar pasti ada saja yang pro dan kontra, lakukan saja dengan cara yang sesuai sunnah sesuai manhaj Salaf terserah orang mau bilang apa. Itulah perkataan beliau kepada penulis.
Belum lagi berbicara tentang Ustad Dr. Ahmad Zain Annajah dan Dr. Anung Al-hamat, kedua orang ini jelas-jelas berdakwah menyampaikan manhaj Ahlusunnah Wal-Jamaah, kedua orang ini adalah lulusan Al-Azhar Kairo yang terkenal dengan manhaj Washatiyah-nya. Malahan Dr. Anung Al-Hamat membantah pemikiran Aman Abdurrahman yang pendukung ISIS.
Beberapa kali Dr. Anung menyadarkan para orang-orang yang berusaha ingin melakukan kekerasan dengan ilmunya yang paham tentang masalah jihad. Dr. Anung paham benar apa itu fikih Jihad yang sesuai manhaj Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang tidak membolehkan tindakan terorisme.
Menurut Dr. Anung, Jihad memiliki prosedur yang jelas seperti harus ada izin dari Presiden/Pemimpin yang sah dari sebuah negara. Sehingga ketaatan Dr. Anung kepada NKRI dan kepemimpinan negara tidak perlu diragukan lagi.
Penulis pernah mendengar dari FAO bahwa ada yayasan yang membantu orang orang yang dulunya suka “ngebom-ngebom” untuk diberi jalan penghidupan yang layak seperti membantu ekonominya dan kehidupannya melalui perdagangan/usaha dll.
Bisa jadi itu adalah yayasan Perisai Nusantara Esa (penulis belum pernah mendengar nama ini) dimana mungkin Dr. Anung pernah menjadi pengawasnya. kalaulah benar tujuan yayasan tersebut, APAKAH SALAH ADA YAYASAN YANG DIBUAT UNTUK MEMBANTU ORANG YANG INGIN KELUAR DARI AKTIVITAS TERORISME SEHINGGA MEREKA BISA DIFASILITASI KEHIDUPANNYA/EKONOMINYA ?
Terkait Dr. Zain Annajah (ZA) penulis melihat dan sering berdialog dengan ZA bahwa beliau ulama yang sangat lentur dan fleksibel, penulis pernah menanyakan tentang masalah kecaman orang – orang terhadap kebijakan presiden Jokowi beliau menjawab dengan jawaban yang sangat berakhlak beliau katakan bahwa pak Jokowi itu tidak bisa disalahkan karena yang namanya presiden bisa jadi yang memberikan masukan/informasi yang salah sehingga Presiden mengambil kebijakan berdasarkan masukan yang dia ketahui.
Indonesia ini sangat luas dan kompleks masalahnya, tidak mungkin seorang Joko Widodo bisa memikirkan/mengatasi semua hal, Jadi kita tidak bisa mengecam presiden terhadap hal yang kita tidak ketahui duduk masalahnya. Masalah politik itu rumit katanya makanya harus sering tabayun dan klarifikasi termasuk kepada Presiden Jokowi.
Jawaban ZA seperti ini membuat saya bertanya tanya adakah ciri -ciri teorisme dalam jawaban dan pemikirannya, jika memang namanya pernah tersangkut dengan organisasi Jamaah Islamiyah saya berbaik sangka bahwa beliau bisa jadi “dijebak” atau tidak paham tentang organisasi tersebut yang bisa jadi berkamuflase dengan nama sebuah yayasan.
Akhirnya saya mengetuk kepada Polri untuk meninjau ulang ditetapkannya mereka sebagai tersangka tindakan terorisme karena saya sebagai penulis menyaksikan mereka tidak pernah melakukan tindakan maupun ucapan yang mengarah kepada aksi kekerasan atau tindakan terorisme. Ya Allah Saksikanlah.. Sudah kusampaikan.
Wallahu’alam Bishawwab.
(/arrahmah.com.com)