JAKARTA (Arrahmah.com) – Hingga hari ini 24 Syawal 1436 H bertepatan 10 Agustus 2015, pemerintah belum melakukan langkah-langkah yang signifikan dan progresif dalam mengusut aksi teror penyerangan terhadap jamaah shalat Idul Fitri 1 Syawal 1436 H, pembakaran masjid Baitul Muttaqin dan puluhan kios milik kaum Muslimin saat berlebaran di Tolikara.
Pemerintah melalui aparat kepolisian RI diminta untuk segera menangkap aktor intelektual tragedi Tolikara yang intoleran terhadap umat Islam di Tolikata, Papua. Tidak cukup hanya menangkap 2 orang operator lapangan.
Menurut Ustaz Bachtiar Nasir Ketua Komat untuk Tolikara sebagaimana dikutip dari ROL, Ahad (9/8/2015), para pelaku mayoritas datang dari luar daerah kabupaten Tolikara. Kondisi itu menunjukan adanya aktor intelektual, bukan hanya sekadar dua orang operator lapangan.
“Inilah sebetulnya yang menjadi tanggung jawab aparat negara untuk menangkap mengadili di publik secara terbuka,” ujarnya.
Komite Umat (Komat) untuk Tolikara mengungkapkan mayoritas pelaku pembubaran shalat Id dan pembakaran Masjid berasal dari luar wilayah Tolikara. Selain itu, Komat menyebut aktor intelektual yang menjadi bibit peristiwa harus segera diadili.
“Jika tidak maka akan menimbulkan kasus intoleransi serupa di kemudian hari,” ujar Ustadz Bachtiar.
Sekjen MIUMI ini juga mengungkapkan, jika aktor intelektual tak terungkap, maka kasus intoleransi akan sangat mungkin terjadi di kemudian hari.
“Mengundang kasus serupa untuk kembali terjadi,” tegasnya.
Telah diwartakan Tim pencari fakta Komat Tolikara dalam laporannya menyebut, gisselembar surat ditemukan oleh anggota intel Polres, Bripka Kasrim yang tengah berada di Pos Maleo. Surat tersebut berasal dari Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Badan Pekerja Wilayah Toli dengan nomor surat 90/SP/GIDI-WT/VII/2015 yang ditandatangani oleh Ketua Wilayah Toli, Pdt Nayus Wenda, S.Th dan Sekretaris, Pdt Marthen Jingga S.Th, MA dengan tembusan Polres Tolikara. Surat yang ditujukan kepada umat Islam se-Kabupaten Tolikara ini memberitahukan adanya kegiatan Seminar dan Kebaktian Kebangkitan Ruhani (KKR) Pemuda Geraja Injili Di Indonesia (GIDI) tingkat Internasional pada tanggal 13-19 Juli 2015.
Baca: Ini kronologi tragedi Tolikara temuan TPF Komat
Dalam surat itu juga berisi poin-point larangan sebagaimana aslinya, tertulis sebagai berikut:
- Acara membuka lebaran tanggal 17 Juli 2015, kami tidak mengijinkan dilakukan di wilayah Kabupaten Tolikara
- Boleh merayakan hari raya di luar Kabupaten Tolikara (Wamena) atau Jayapura.
- Dilarang Kaum Muslimat memakai pakai Yilbab.
Terkait dan terklarifikasi, kedua pendeta yang menandatangani surat edaran itu juga sudah mengakui dirinya yang membuat. Sekretaris Wilayah Gereja Injili di Indonesia (Gidi) Wilayah Tolikara, Papua, Pdt. Marthen Jingga, membenarkan surat edaran bertanggal 11 Juli 2015. Surat berkop Gidi ini lantas beredar di sejumlah media sosial pasca penyerangan jemaah salat Idul Fitri, Jumat, 17 Juli 2015. Marthen mengaku surat itu dibuat dan dikonsep olehnya bersama Ketua Gidi Wilayah Tolikara, Pdt. Nayus Wenda. Baca: Nayus dan Marthen akui buat surat edaran larangan beridul fitri dan mengenakan jilbab di Tolikara. (azmuttaqin/arrahmah.com)