INDIA (Arrahmah.com) – Pada tahun 2002 terjadi pembantaian besar-besaran di negara bagian barat India, Gujarat yang sungguh tak berprikemanusiaan.
Sedikitnya 2.000 Muslim India disiksa dan dibakar hingga tewas (syahid insya Allah) oleh kaum Musyrikin Hindu, setelah 59 peziarah Hindu tewas dalam sebuah insiden kebakaran kereta. Pihak keamanan setempat menyalahkan kaum Muslimin atas insiden tersebut, namun kemudian penyelidikan menunjukkan bahwa insiden tersebut adalah murni kecelakaan. Tuduhan itu lah yang disinyalir pemicu pembantaian besar-besaran terhadap kaum Muslimin.
Beberapa penyelidikan ditingkat negara bagian dan tingkat federal menuduh polisi gagal untuk melindungi kaum Muslimin di bawah perintah Menteri Gujarat, Narendra Modi dan para pembantunya, yang telah mengipasi api kekerasan yang dilakukan para penganut Hindu terhadap kaum Muslimin di India.
Pembantaian di Gujarat, termasuk salah satu kekerasan terburuk di India dalam beberapa tahun, yang menyebabkan semakin menegangnya hubungan antara Muslim-Hindu di India.
Meskipun protes-protes telah digelar, hanya sedikit yang dilakukan otoritas India untuk menangkap para ekstrimis Hindu yang bertanggungjawab atas pembantaian ribuan kaum Muslimin tak bersalah. Pembantaian yang tak akan pernah dilupakan oleh kaum Muslimin, terkhusus Muslimin India.
Perjuangan menuntut keadilan
Kaum Muslimin di Gujarat menuntut keadilan hingga saat ini atas pembantaian dan dampak setelah pembantaian terhadap kaum Muslimin India. Suatu hal yang menagumkan adalah, Muslimah di Gujarat berani meninggikan suaranya untuk membela kaum Muslimin dan melakukan revolusi di Gujarat, bekerja dengan para korban kekerasan dan membantu menyelesaikan kasus mereka.
“Ini semua tentang menyelamatkan keadilan dengan meninggikan suara saya,” Kata Niaz Apa, seorang Muslimah dari Juhapura di kota utama Gujarat, Ahmedabad, kepada BBC pada hari Selasa (27/3/2012).
Sepuluh tahun lalu, sebelum pembantaian terjadi, Niaz adalah wanita terkaya di kamp dimana ia tinggal selama 8 bulan.
“Saya memiliki tanah, Saya memiliki sebuah rumah,” katanya.
Kemudian orang-orang Musyrik Hindu datang menyerang tempat tinggalnya dan mengubah kehidupan ibu rumah tangga itu.
“Tetapi rumah saya dibakar selama kekerasan itu, dan Saya menjual tanah saya dalam kesusahan dan pindah ke gubuk ini, yang sekarang adalah rumah saya, ” tambah Niaz.
Menderita di kamp bantuan, Niaz berusaha menuntut keadilan ke pengadilan India, namun tuntutan Niaz ditolak ketika ia berusaha mengidentifikasi sekelompok pria yang membakar rumahnya karena Niaz sangat mengenali para pelaku itu.
“Ada 12 dari mereka, mereka telah tumbuh di depan mata saya,” kenang Niaz.
Namun hakim tidak mengabulakan tuntutan Niaz dan bahkan meminta Niaz untuk berkompromi dengan para penyerang itu.
Untuk mengatasi kesengsaraan, ia sekarang berjuang dengan masyarakat dan korban kekerasan, pergi ke kantor-kantor polisi, pengadilan-pengadilan dan toko-toko makanan murah.
“Hidup saya sekarang hanya tentang meninggikan suara saya dan mendapatkan keadilan untuk orang-orang tak berdaya,” kata Niaz.
Selain Niaz, Noorjehan Abdul Hamid (38) juga salah seorang saksi saat pembantaian biadab itu. “Saya terkejut ketika melihat para korban,” kata Noorjehan kepada BBC, mengingat hari-hari pertama pembantaian Gujarat.
“Saya melihat seorang gadis dan anak laki-laki, saudara-saudara, yang telah dibakar oleh massa, mati di depan mata saya,” kenang Noorjehan sedih.
Saat pulang ke rumah, Noorjehan menceritakan kepada suaminya tentang pengalaman yang telah ia lalui, membuat pikirannya tak tenang dan inginkembali untuk menawarkan bantuan.
“Saya memutuskan untuk kembali dan membantu. Kamp itu menghantui saya, ” kata Noorjehan. (siraaj/arrahmah.com)