KAIRO (Arrahmah.id) — Fatwa jihad terhadap Israel yang dikeluarkan oleh International Union of Muslim Scholars (IUMS) telah menuai kritik keras dari lembaga fatwa resmi Mesir, Dar al-Ifta. Konflik antara kedua institusi keagamaan ini mencerminkan perpecahan mendalam di dunia Arab dan Muslim mengenai bagaimana menyikapi perang Israel di Gaza.
Dilansir The New Arab (11/4/2025), IUMS yang berbasis di Qatar pada 28 Maret 2025 mengeluarkan fatwa bahwa “jihad melawan pendudukan [Israel] adalah kewajiban individu bagi setiap Muslim yang mampu” dan menyerukan agar “pemerintah Muslim segera turun tangan” secara militer, ekonomi, dan politik.
Fatwa lanjutan juga diterbitkan pada 5 April oleh Komite Fatwa dan Yurisprudensi IUMS yang menyebut perang Israel di Gaza sebagai proses “pembersihan sistematis” dan mendesak negara-negara Arab di sekitar Palestina seperti Mesir, Yordania, dan Lebanon untuk ikut serta dalam jihad tersebut.
Mereka juga menyerukan pembentukan aliansi negara-negara Islam dan penghentian seluruh bentuk hubungan dengan Israel.
Namun Dar al-Ifta Mesir mengecam keras seruan tersebut. Dalam pernyataan pada 7 April 2025, lembaga itu menyebut fatwa jihad IUMS sebagai “undangan untuk kekacauan” dari entitas yang tidak mewakili umat Islam secara keseluruhan dan tidak memiliki otoritas agama untuk mengeluarkan seruan semacam itu.
“Deklarasi jihad hanya bisa dilakukan oleh negara sah dan pimpinan politik, bukan lewat pernyataan kelompok atau organisasi yang tidak memiliki legitimasi syar’i maupun sosial,” demikian pernyataan Dar al-Ifta tersebut, dikutip dari Al-Ahram (11/4).
Pernyataan itu juga memperingatkan bahwa “mendorong masyarakat untuk menentang keputusan negara mereka atas nama jihad adalah bentuk penghasutan yang dilarang secara agama dan merupakan penyebaran kekacauan serta kerusakan di muka bumi.”
Dar al-Ifta menegaskan bahwa “jihad adalah konsep syar’i yang sangat sensitif dan memiliki syarat, rukun, dan tujuan yang ditetapkan secara jelas oleh syariah.” Mereka menolak klaim kelompok atau organisasi non-negara yang mengeluarkan fatwa jihad tanpa izin otoritas sah karena berpotensi menimbulkan kerusakan dan kekacauan di dunia Islam.
“Perang hanya bisa diumumkan oleh negara dan pemerintahan,” ujar Imran, Kairo, Kamis, 10 April 2025, dikutip dari The New Arab.
Ia menambahkan bahwa konflik seperti ini memerlukan “persiapan khusus” dan memperingatkan tentang organisasi-organisasi yang mengklaim berhak mengeluarkan fatwa jihad tanpa mandat yang sah. Imran juga menuduh IUMS berupaya memprovokasi rakyat Arab dan Muslim agar memberontak terhadap pemerintah mereka sendiri melalui seruan jihad terhadap Israel.
IUMS tidak menanggapi permintaan komentar dari The New Arab, namun dalam pernyataan lanjutan pada 8 April, organisasi itu kembali menyerukan posisi resmi dari dunia Arab dan Islam terhadap perang Israel di Gaza dan mendesak Mesir agar membuka sisi perlintasan Rafah sepenuhnya untuk bantuan dan mobilisasi.
Analis Palestina Mazen al-Najjar mendukung IUMS dan menyebut bahwa hanya ulama independen yang masih menyuarakan penderitaan Gaza.
“Jika ulama IUMS tidak layak mengeluarkan fatwa, lalu siapa lagi yang bisa?” ujarnya.
Dar al-Ifta adalah institusi fatwa tertua dan paling berpengaruh di Mesir yang berada di bawah kendali negara dan dipimpin oleh Grand Mufti yang ditunjuk langsung oleh Presiden Mesir. Karena itu, sikap Dar al-Ifta dalam isu geopolitik sangat selaras dengan kebijakan luar negeri pemerintah Mesir, termasuk posisi damai terhadap Israel pasca penandatanganan perjanjian damai tahun 1979.
Mesir saat ini juga menjadi pihak yang memediasi upaya gencatan senjata bersama Amerika Serikat dan Qatar, serta memimpin aliansi bantuan dan rekonstruksi Gaza.
The New Arab mencatat bahwa lebih dari 50.000 warga Gaza telah tewas sejak perang dimulai, mayoritas adalah perempuan dan anak-anak. Namun seruan jihad dari IUMS disebut memperuncing polarisasi di dunia Muslim.
Beberapa pihak menganggapnya sebagai suara independen yang berani menyuarakan kebenaran, sementara yang lain menilai langkah IUMS tidak bertanggung jawab dan penuh risiko.
Kritik lebih lanjut datang dari pejabat senior Dar al-Ifta, Khaled Imran.
“Perang hanya bisa diumumkan oleh negara dan pemerintahan,” ujar Imran, dikutip dari The New Arab.
Ia menambahkan bahwa konflik seperti ini memerlukan “persiapan khusus” dan memperingatkan tentang organisasi-organisasi yang mengklaim berhak mengeluarkan fatwa jihad tanpa mandat yang sah. Imran juga menuduh IUMS berupaya memprovokasi rakyat Arab dan Muslim agar memberontak terhadap pemerintah mereka sendiri melalui seruan jihad terhadap Israel.
IUMS tidak menanggapi permintaan komentar dari The New Arab, namun dalam pernyataan lanjutan pada 8 April, organisasi itu kembali menyerukan posisi resmi dari dunia Arab dan Islam terhadap perang Israel di Gaza dan mendesak Mesir agar membuka sisi perlintasan Rafah sepenuhnya untuk bantuan dan mobilisasi.\
Analis Palestina Mazen al-Najjar mendukung IUMS dan menyebut bahwa hanya ulama independen yang masih menyuarakan penderitaan Gaza.
“Jika ulama IUMS tidak layak mengeluarkan fatwa, lalu siapa lagi yang bisa?” ujarnya.
Dar al-Ifta adalah institusi fatwa tertua dan paling berpengaruh di Mesir yang berada di bawah kendali negara dan dipimpin oleh Grand Mufti yang ditunjuk langsung oleh Presiden Mesir. Karena itu, sikap Dar al-Ifta dalam isu geopolitik sangat selaras dengan kebijakan luar negeri pemerintah Mesir, termasuk posisi damai terhadap Israel pasca penandatanganan perjanjian damai tahun 1979.
Mesir saat ini juga menjadi pihak yang memediasi upaya gencatan senjata bersama Amerika Serikat dan Qatar, serta memimpin aliansi bantuan dan rekonstruksi Gaza.
The New Arab mencatat bahwa lebih dari 50.000 warga Gaza telah tewas sejak perang dimulai, mayoritas adalah perempuan dan anak-anak. Namun seruan jihad dari IUMS disebut memperuncing polarisasi di dunia Muslim.
Beberapa pihak menganggapnya sebagai suara independen yang berani menyuarakan kebenaran, sementara yang lain menilai langkah IUMS tidak bertanggung jawab dan penuh risiko. (hanoum/arrahmah.id)