JAKARTA (Arrahmah.com) – Anggota Panitia Kerja (Panja) Rancangan KUHP Arsul Sani mengatakan mengkritik presiden dan wakil presiden dengan menggunakan kata-kata kasar seperti menyebut bodoh dan tolol, hal itu masuk dalam pasal penghinaan kepala negara sehingga bisa dipidana.
Ia menambahkan, meski penggunaan kata-kata kasar tersebut disertai dengan data yang valid, tetap saja hal itu merupakan penghinaan terhadap kepala negara.
Menurutnya, kala mengkritik masyarakat tidak perlu menggunakan kata-kata kasar karena substansi tetap bisa tersampaikan.
Asrul menjelaskan, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden tak menutup ruang bagi masyarakat untuk melancarkan kritik. Masyarakat masih bisa mengkritik presiden dan wakil presiden dengan menggunakan bahasa yang santun dan disertai dengan data yang bisa dibuktikan.
“Dalam rangka mempertahankan diri, misalnya presiden mengkritisi partai oposisi, politisi partai oposisi menjawab dengan hal yang sama, itu kan tidak kemudian penghinaan,” kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/2/2018), lansir Kompas.com.
Pemerintah mengusulkan untuk menghidupkan kembali pasal yang mengatur penghinaan presiden dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pemerintah tetap memasukannya meskipun pasal tersebut pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Pemerintah dan DPR tengah membahas untuk menghidupkan lagi Pasal 134 dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang penghinaan terhadap pemerintah dan termasuk penyerangan kepada Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 134 ini juga diketahui pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006 dalam surat putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.
(ameera/arrahmah.com)