TUNIS (Arrahmah.id) – Presiden Tunisia Kais Saied mengklaim bahwa menyebut badai dahsyat yang melanda Libya pekan lalu sebagai “Daniel” adalah “bukti” meningkatnya pengaruh Zionisme.
Pada Senin malam (18/9/2023) halaman resmi Kepresidenan Tunisia membagikan video berdurasi satu jam yang berisi pertemuan Presiden Saied dengan Perdana Menteri Ahmed Al-Hashani dan Menteri Kehakiman Dalam Negeri dan Keuangan.
Dalam pertemuan tersebut, Presiden mengomel selama dua puluh menit tentang tuduhan “ejekan” rasisme dan antisemitisme yang dia hadapi dalam beberapa bulan terakhir, dan mengecam media karena pemberitaan yang bias.
“Apakah mereka tidak bertanya-tanya tentang penamaan itu? Daniel adalah seorang nabi Ibrani,” kata Saied saat pertemuan.
“Gerakan Zionis sudah merambah menyerang pikiran dan pemikiran, mulai dari Daniel hingga Abraham,” imbuhnya.
Badai Daniel, badai Mediterania paling mematikan yang pernah tercatat, dinamai oleh Layanan Meteorologi Nasional Hellenic di Yunani, tempat badai tersebut pertama kali dikembangkan. Selama beberapa dekade, badai dan angin topan diberi nama berdasarkan nama laki-laki dan perempuan dalam urutan abjad.
Sering dicap sebagai antisemit, pernyataan terbaru Saied memicu kritik luas terhadap pemimpin populis tersebut, yang telah menunjukkan ketertarikannya pada teori konspirasi sejak terpilih pada 2019.
“Orang inilah yang baru saja membuat kesepakatan dengan Uni Eropa untuk menghentikan migrasi. Rupanya, siapa pun bisa diterima, bahkan seorang antisemit, jika dia mau memblokir migran yang menuju Eropa,” tulis Kenneth Roth, mantan direktur Human Rights Watch di X, sebelumnya dikenal sebagai Twitter.
“Dia sudah menunjukkan rasismenya terhadap migran kulit hitam Afrika,” tambah Roth.
Pada Februari, Presiden Saied menuduh bahwa “gerombolan” migran kulit hitam ilegal menyebabkan kejahatan dan menimbulkan ancaman demografis di negara Afrika Utara tersebut, sejalan dengan gagasan teori konspirasi sayap kanan “Great Replacement”
Sejak pidato Presiden Kais Saied yang “menghasut”, ketegangan rasial dan serangan xenofobia berkobar di Tunisia. Banyak komentator yang menandai bahwa pernyataan Saied baru-baru ini mungkin memicu kejahatan rasial terhadap orang Yahudi Tunisia.
Diperkirakan terdapat 1.500 orang Yahudi di Tunisia, terutama di pulau Djerba.
Pada 9 Mei, dua jamaah dan tiga petugas keamanan tewas dalam serangan senjata di dekat sinagoga tertua di Afrika, di pulau Djerba.
Saat itu, Presiden Saied membantah serangan itu bersifat antisemit. Pihak berwenang berusaha meremehkan pentingnya hal ini dalam sebuah pernyataan yang kurang transparan.
“Mereka berbicara tentang antisemitisme sementara orang Yahudi dilindungi di sini,” katanya pada 19 Mei tentang pendudukan Jerman-Italia di Tunisia selama Perang Dunia Kedua, dari November 1942 hingga Mei 1943.
Dia juga mengkritik apa yang disebutnya standar ganda dalam reaksi internasional, yang menurutnya merupakan serangan antisemit sementara “warga Palestina dibunuh setiap hari dan tidak ada yang membicarakan mereka”. (zarahamala/arrahmah.id)