PALU (Arrahmah.com) – “Semuanya musnah, tak berbekas A!”, ujarnya terbata-bata. Di ujung sana, terdengar suara isak tertahan. “Habis. Habis semua A…banyak yang korban! Terbawa gelombang tsunami!”
“Alhamdulillah saya dan istri diselamatkan Allah SWT! Padahal pada saat kejadian saya dan istri sudah menyerahkan sepenuhya kepada Allah apapun yang akan terjadi. Sesaat sesudah gempa, saat orang-berlarian menjauh dari pantai.
Saya dan istri justru masuk ke dalam masjid. Sholat. Kami berdua berprinsip sekalipun kami mati. Biarlah mati dalam keadaan sedang sholat di dalam masjid. Gempa, susul menyusul. Sebelum takbir untuk sholat Magrib, kami melihat lampu gantung di masjid berayun sangat kencang, akibat guncangan gempa.
Takbir bersahutan di dalam masjid, yang diucapkan dari mulut-mulut dan jiwa penuh rasa takut. Gema keagungan nama Allah, menyelusup sepenuhnya ke dalam alirah darah. Berpadu dengan detak nadi dan degup jantung kami. Tak terasa air mata deras mengalir disela-sela dzikir takbiratul ihram. Allahu Akbar!
Saat membaca do’a iftitah, jiwa dan diri sepenuhnya diserahkan kepada Allah…Inna sholatii wannusukii wamahyayya wamamati. Lillahi robbil alamiin….
Kami khusu sholat dalam ketakutan yang teramat sangat dengan guncangan demi guncangan. Tubuh kami oleng oleh guncangan sangat keras. Kaki kami seperti berada di atas gelombang. Terguncang sangat kencang.
Saat sholat selesai, kami menuju pintu masjid untuk keluar. Allahu Akbar…air!
Dimana-mana air menerjang ke segala arah.
Jeritan-jeritan ketakutan dan histeris menambah kegetiran yang terjadi saat itu. Suara gemuruh, berderak dan gemeletak menyertai aliran air deras.
Saya pegang tangan kanan istri saya. Bahunya saya peluk erat di dada saya. Biarlah kami mati bersama dengan keihlasan. Sambil mulut tidak henti, bertakbir dan bertasbih. Mulut dan hati tak putus terus berdoa. Selamatkan kami ya Allah, seandainya Engkau berkehendak kami selamat. Matikanlah kami Ya Allah, seandainya itu lebih baik bagi kami. Kami ikhlas….Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allohu Akbar… bibir kami terus bertakbir. Tidak henti! Mata menatap kepada murkanya alam saat itu!
Atas kehendak Allah, keajaiban terjadi. Gelombang besar tsunami dari pantai yang melibas dan meluluh lantakan seluruh bangunan yang dilewatinya. Anehnya, aliran air berbelok pada saat akan melewati masjid.
Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar!
Takbir kembali berkumandang bersamaan dengan keajaiban tadi. Kami yang berada di dalam masjid justru bisa selamat. Sementara, orang-orang yang berlarian menyelamatkan diri ke segala arah, yang menurut mereka aman. Malah terbawa gelombang air bah yang maha dahsyat.
Sebuah hotel yang cukup terkenal, bahkan nyaris rata dengan tanah. Hanya tumpukan puing-puing tembok beton, dan mencuatnya besi beton yang membengkok tak beraturan! Rumah kami yang hanya berjarak ratusan meter dari pantai. Lenyap tak berbekas!
Sesaat setelah guncangan gempa pertama. Sempat menelepon Kakak di Garut, menceritakan terjadinya gempa sebelum tsunami. Namun, hubungan segera terputus sesaat setelah guncangan gempa berikutnya.
Kini, kami terdampar di tenda pengungsian di hari kedua. Perut kamipun sudah dua hari tidak kemasukan makanan barang sesuap pun. Atas pertolongan dari relawan kami berhasil memberi kabar kepada keluarga di Garut. Bahwa, kami selamat dari bencana. Walaupun, hanya dengan baju basah yang melekat di badan dan belum makan selama dua hari.
Terbayang lagi peristiwa sebelum gempa. Pada hari Jum’at 28 September 2018 sesaat menjelang upacara pembukaan Festival Pesona Palu Nomoni. Seorang Habib diundang dalam suatu acara pengajian.
Sang Habib menasihati kepada pemda agar pada waktu acara Festival itu jangan dilakukan upacara sesajen seperi tahun sebelumnya. Karena hal itu bertentangan dengan syari’at agama.
Panitia berjanji, akan menta’ati saran dari Habib. Kemudian dinasihati juga, selama acara festival para hadirin yang hadir untuk tidak melakukan perbuatan atau tindakan asusila.
Lain di mulut lain di hati, ternyata panitia pelaksana di hari H malah tetap melakukan upacara sesajen. Banyak santri waktu itu yang menolak dan mengingatkan panitia. Tapi, panitia tak bergeming.
Para santri yang juga anggota FPI dan masyarakat muslim pun menghadap kepada Habib atas apa yang akan dilakukan oleh panitia. Habib tidak berkata apapun. Dia hanya berkata, kalian jangan mengambil tindakan apapun. Kita serahkan saja semuanya pada Allah. Ternyata benar…terjadilah apa yang menurut kehendak Allah!
Mata tertuju kepada istri saya yang sedang tidur terlelap dengan alas terpal seadanya. Kami masih di tenda, entah sampai kapan.
Pagi tadi masih sempat menelepon Kakak lagi, atas kebaikan seorang relawan FPI yang meminjamkan hapenya. Doakan kami tabah dan tetap dalam kesabaran. Tidak sampai melakukan penjarahan seperti yang dilakukan sebagian kecil orang-orang yang mengatasnamakan kelaparan…”
(Diceritakan kembali dari saudara kandung adik ipar, yang bercerita via handphone)
Abu Fatih
(ameera/arrahmah.com)