Oleh: Neng Ranie SN*
(Arrahmah.com) – Terekam, alasan satu-satunya kita tahu insiden kematian George Floyd. Warga kulit hitam keturunan Afrika-Amerika yang terbunuh oleh kebrutalan polisi. Isu rasisme sangat kental terdengar atas kematiannya. Amerika bergejolak. Eskalasi demonstran yang membela George Floyd tak terelakkan.
Tak hanya terjadi di Amerika, tapi meluas hingga ke sejumlah negara Eropa. Tak hanya rakyat biasa, para selebriti pun menunjukkan keprihatinannya terkait kasus kematian Floyd.
Satu nyawa melayang telah menghebohkan masyarakat dunia. Kematian Floyd menjadi pemicu fenomena gunung es, batas ambang kemarahan publik Amerika atas kekerasan rasial terhadap warga minoritas, terutama warga Afrika-Amerika.
Masyarakat dunia turut berduka. Masyarakat dunia marah, mengambil bagian untuk melawan diskriminasi. Protes ikut turun ke jalan menuntut ditendangnya rasisme.
Melihat fenomena Floyd ini, teringat saudara seakidah. Nasib Muslim di Palestina, Muslim di Suriah, Muslim di Irak, Muslim di Afganistan, Muslim Pattani di Thailand, Muslim Moro di Filipina, Muslim Cham di Kamboja, Muslim Kashmir di India, dan Muslim Uighur di Xinjiang Cina.
Muslim di Palestina, Irak, Afganistan, mereka muslim terjajah. Nasibnya tragis, menyayat hati. Tak hanya diinjak lehernya, mereka dibunuh secara keji. Suara rentetan peluru, dentuman bom, menjadi makanan sehari-hari. Tak pandang laki-laki, wanita, orang tua, bahkan anak kecil tak luput dari pembantaian.
Begitu pun nasib Muslim Pattani di Thailand, Muslim Moro di Filipina, Muslim Cham di Kamboja, Muslim Kashmir di India, Muslim Uighur di Xinjiang Cina, dan Muslim di belahan bumi lainnya, mereka dizalimi dan teraniaya. Mereka muslim minoritas, kerap kali menerima perlakuan diskriminatif akut.
Tak hanya segregasi politik dan ekonomi, dipaksa makan makanan haram, tidak diizinkan beribadah, mereka mengalami penindasan secara fisik, terusir dari negaranya, bahkan menghadapi genosida secara sistematis.
Kembali berbicara tentang George Floyd. Nasibnya lebih beruntung, karena Floyd warga Amerika. Setidaknya, banyak yang peduli dan membela. Seandainya Floyd seorang Muslim Palestina, pasti beda cerita. Meskipun, banyak foto-foto korban kebiadaban berseliweran di media sosial.
Meski adegan penyiksaan dan penindasan mereka terekam. Bahkan, banyak wartawan yang telah memberitakan ke seluruh dunia, bagaimana penderitaan mereka. Jangan tanya, berapa jumlah Muslim Palestina yang menjadi korban.
Bukan hanya satu, tapi jutaan nyawa melayang. Bahkan jasad itu tak lagi berbentuk, menjadi sepihan abu hilang tertiup angin. Bau anyir pun tercium, darah tertumpah di negeri para Nabi.
Tangisan mereka tak terdengar, karena telinga saudaranya telah tertutup penyakit wahn. Kini, air mata mereka kering tak tersisa. Hanya terdengar pekikan takbir dilanjutkan ucapan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Banyak anak-anak menjadi yatim-piatu, para istri yang menjadi janda, para suami yang kehilangan istri dan anaknya. Adakah yang peduli? Pada siapa, mereka harus minta tolong? Ke mana mereka harus mengadu?
Semua tak bergeming, mulut mendadak bisu. Mata seperti buta, tak dapat melihat perlakuan bengis zionis Israel. Dunia tak peduli, apalagi membela. Apa kabar saudara seakidah mereka? Umat Muslim di Indonesia, Arab Saudi, Malaysia, Pakistan, Turki, dan lainnya.
Para pemimpin negeri-negeri Muslim? Bukankah umat Islam satu dengan umat Islam lainnya diikat oleh kalimat tauhid? Bukankah Rasulullah ﷺ telah mengingatkan kita bahwa ikatan iman itu menuntut adanya kebersamaan rasa dalam suka dan duka?
“Perumpamaan kaum mukminin satu dengan yang lainnya dalam hal saling mencintai, saling menyayangi, dan saling berlemah-lembut di antara mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota badan sakit, maka semua anggota badannya juga merasa demam dan tidak bisa tidur.” (HR. Bukhari-Muslim)
Mungkin bagi rakyat biasa tidak dapat berbuat banyak. Hanya dapat berdoa dan bersuara berharap agar para pemimpin negeri-negeri Muslim untuk membela. Dilema melanda para pemimpin negeri-negeri muslim. Di satu sisi, menolong umat Muslim tak ada untungnya malah rugi, karena balasannya tak boleh berutang lagi. Disisi lain, tidak ingin dicap tak memiliki empati terhadap umat Islam.
Alhasil, memilih cara aman, hanya berani mengecam tanpa arti. Ironisnya, diantara mereka ada yang tega berkhianat, mendukung, bahkan menjadi kroni, penjilat para pembunuh. Padahal Rasulullah ﷺ telah melarang perbuatan itu,
المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ، لَا يَخُونُهُ وَلَا يَكْذِبُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ
Artinya: “Orang Muslim itu saudara muslim lainnya, tidak mengkhianatinya, tidak mendustainya dan tidak menghinakannya”. (HR At-Tirmidzi).
Muslim Palestina, tidak butuh ucapan basa basi para pemimpin negeri Muslim. Yang dibutuhkah rasa ukhuwah untuk menolong dengan bantuan militer (jihad), guna mengusir laknatullah zionis Israel dari bumi Palestina.
Namun kenyataannya, tak ada satu pun masyarakat dunia atau para pemimpin negara yang menolongnya. Tidakkah kita takut akan balasan Allah pada kita di dunia ini, karena tidak menolong mereka?
Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidaklah seorang muslim membiarkan Muslim lainnya (tanpa mendapatkan pertolongan) saat kehormatannya dirampas dan harga dirinya dirusak, kecuali Allah akan menghinakannya saat ia membutuhkan pertolongan-Nya.” (HR Abu Dawud).
Terlebih menanggung kehinaan yang akan kita terima pula di akhirat. Sabda Rasulullah ﷺ,
“Barang siapa yang di hadapannya ada seorang Muslim yang dihinakan akan tetapi dia tidak menolongnya padahal ia mampu menolongnya, Allah akan menghinakannya di hadapan seluruh makhluknya pada hari kiamat.” (HR Ahmad).
Diamnya para pemimpin negeri-negeri Muslim atas penderita Muslim Palestina dan Muslim di belahan bumi lainnya, menegaskan bahwa umat Islam saat ini tak memiliki pemimpin sebagai pelindungnya. Pemimpin yang akan menjaga keselamatan rakyatnya, baik umat Islam maupun non-Islam. Memelihara akal dan melindungi harta dan membela kehormatan rakyatnya.
Sebagaimana kisah heroik pada masa kekhalifahan Al-Mu’tasim Billah, khalifah kedelapan dinasti Abbasiyah dalam membela kehormatan muslimah dan kehormatan Islam.
Pada saat itu ada seorang muslimah dengan pakaian rapi dan menutup seluruh auratnya sedang berbelanja. Namun orang Romawi mengaitkan pakaian wanita tersebut kepada sesuatu, sehingga pada saat wanita itu bergerak, tersingkaplah auratnya. Kemudian wanita tersebut berteriak dan memanggil, Wahai Muhammad, wahai Mu’tashin!, setelah khalifah Al-Mu’tasim mendengar kabar tersebut.
Beliau langsung memerintahkan panglima perang untuk mengumpulkan pasukan untuk memenuhi panggilan wanita itu. Beribu-ribu pasukan diturunkan, banyak sekali sehingga apabila saat pasukan itu berbaris, maka pasukan terdepan sudah sampai di kota Ammuriyah, sedangkan pasukan yang ada di belakang masih di perbatasan kota Baghdad.
Lihatlah, bagaimana seriusnya khalifah Al-Mu’tasim dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang kepala negara yang harus menjaga kehormatan rakyatnya.
Dan masih banyak lagi kisah-kisah heroik yang tercatat oleh tinta emas dalam sistem pemerintahan Islam guna melindungi keamanan dan keselamatan rakyatnya. Karena pemimpin dalam Islam berkewajiban melindungi rakyatnya dan kelak amanah tersebut akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Ta ‘ala. Rasulullah ﷺ bersabda :
“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam (Khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’azza wajalla dan berlaku adil, maka dia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad).
Wallâh alam bi ash-shawâb.
*) Aktivis Muslimah dan Member AMK
(ameera/arrahmah.com)