Saya sangat tertarik membaca sebuah tulisan yang berjudul “I am just Muslim… so stop trying to adds your labels” yang dipublish pada Selasa (25/2/2014) di The Bristol Post. Tulisan yang tidak menyebutkan nama penulisnya memulai tulisannya dengan kata-kata yang langsung menyengat.
“Saya adalah Muslim. Bukan sekuler, progresif, liberal atau label kontemporer lainnya yang berawalan Muslim. Tapi, karena saya bukan bagian dari mereka, bukan berarti bahwa saya adalah seorang fundamentalis, ekstremis, fanatik atau salah satu label yang dianggap ketinggalan zaman lainnya yang masih berawalan Muslim. Saya hanya Muslim.” Demikian bunyi paragrap pertama tulisannya tersebut.
“Jadi, saya benci dengan munculnya kembali istilah lama ‘Islamist’ – istilah yang digunakan dalam serangkaian upaya untuk mengkotak-kotakkan Muslim.”
Tulisan tersebut menjelaskan bahwa istilah Islamisme pertamakali mucul pada zaman Voltaire ke Perang Dunia Pertama – sebuah istilah yang merujuk kepada Islam. Istilah Ini dianggap sebagai perbaikan terhadap penggunakan istilah sebelumnya yaitu ‘Mohammedanism’. Kaum orientalis lama menjadi malu untuk menggunakannya, akhirnya tunduk kepada istilah yang digunakan umat Islam sendiri: ‘Islamist’. Para orientalis sepertinya tidak memiliki kekhawatiran untuk menggunakannya.
“Mungkin kelompok yang paling vokal menggunakan istilah ini adalah kelompok yang menamakan dirinya “kelompok pemikir kontra-ekstremisme pertama di dunia”, Quilliam. Saya percaya mereka yang kontroversial bukan karena mereka “kontra ekstremisme” tetapi karena ide-ide mereka yang berkaitan dengan cara untuk melakukannya. Misalnya, karena mereka sering dianggap ekstrimis.”
Baru-baru ini, co-founder dari Quilliam, Maajid Nawaaz, mempromosikan strip kartun Nabi Muhammad dan Yesus yang memicu protes dari ummat Islam. Strip kartun tersebut menggambarkan Nabi Muhammad dan Yesus berada di bar minum alkohol, dan mereka berbagi tempat tidur bersama-sama, seakan mengaggap bahwa homoseksualitas atau sesuatu yang baik. Maajid juga mempromosikan gagasannya tentang teori radikalisasi.
Quilliam, yang mendefinisikan ‘Islamisme’ pada dasarnya ditujukan kepada setiap Muslim yang mendukung gagasan negara Islam. Nama Quilliam itu sendiri diambil dari nama William Quilliam, seorang mualaf Inggris abad ke-19 yang memeluk Islam. Dia adalah pendukung khilafah.
Apakah saya percaya pada hak asasi manusia universal? Ya. Apakah saya percaya pada kesetaraan semua di hadapan hukum? Ya. Apakah saya percaya pada hak masyarakat untuk memilih pemerintah mereka sendiri? Ya. Apakah saya mendorong integrasi? Ya.
Tapi, jika setelah semua itu, saya juga mendukung gagasan tentang Negara Kesatuan Islam, yang diatur oleh prinsip-prinsip yang sama, mengapa kemudian, menurut pandangan Quilliam, saya tiba-tiba dianggap sebagai musuh negara?
“Saya tidak memaksakan iman saya pada orang lain. Jadi, jangan memaksakan definisi-definisi Islam lainnya kepada saya!
Saya adalah Muslim, tanpa label!
(ameera/arrahmah.com)