Selama saya di sana, saya pernah menyantap Burger King di Peshawar, menjadi ketergantungan berat dengan obat-obatan dan minuman keras, dan pernah juga mendapatkan hukuman penjara selama 3 tahun.
Daya tarik Mike terhadap Islam muncul sejak 2001, saat penerjemah Afghannya memberi ia al-Quran. Mike sebenarnya memiliki rasa hormat yang begitu mendalam terhadap jiwa orang-orang yang ia perangi dan ingin sekali memahami apa yang terdapat dalam sistem kepercayaan mereka yang membangkitkan pengabdian yang begitu dahsyat dan tidak pernah bisa ia mengerti.
Bulan yang lalu, setahun setelah ia belajar privat dengan Imam Sabur, Mike mengucapkan syahadat di Mesjid Kemble Street, Utica, New York. Saat ini, ia resmi menjadi seorang pengikut agama Islam.
Sebagai seorang Muslim, ia shalat lima kali sehari, membersihkan tubuhnya untuk kemudian bersujud menghadap ke Ka’bah di Mekah. (Pertama kali, dia menggunakan kompas dan menandai arah kiblat dengan solasi di lantainya.)
“Islam,” ujar sang imam, “adalah jalan hidup yang lebih dari sekedar agama. Islam mengajari kita bagaimana melakukan segala hal, dan semua itu akan menjadi bentuk ibadah kita terhadap Allah.”
Mike sepakat. Ia setuju dengan semua aturan yang ia temui ketika ia menjadi seorang muslim. Tidak terlalu aneh bagi tentara sepertinya. Mike mengatakan bahwa keduanya, antara Islam dan militer, memiliki struktur yang tidak terlalu berbeda. “Militer tidak jauh berbeda dalam hal disiplin dengan Islam.”
Setiap hari, ia memantau jadwal shalat dari situs mesjid. Waktu sholat tersebut diatur sesuai dengan posisi matahari terbit hingga terbenam, dan pada beberapa pagi di musim dingin, ia harus bangun lebih pagi pada pukul 04.30 waktu setempat.
Mike memiliki indeks prestasi kumulatif 4,0 di State University of New York, dan berencana untuk mendapatkan gelar Ph.D. lewat penelitian dan konseling trauma jika ia lulus. Ia juga pernah menjadi narapidana yang ditahan karena menderita stress dan goncangan jiwa yang mengerikan.
Jika Paman Sam menggunakan jarinya seperti pointer Oija untuk mencari pemuda-pemuda yang akan dimanfaatkan dalam militer AS, maka kemungkinan besar pointer itu akan berhenti pada Mike.
Dia tinggi, disayangi, tampan, tegak dengan postur tubuh seorang tentara tanpa kekakuan sedikitpun, dan dia berbicara dengan nada santun, penuh keyakinan, cerdas, dan berwawasan luas, juga sering dipilih sebagai pemimpin baik ketika masih berada dalam penugasan dan bahkan saat ia berada di kampus dan komunitasnya.
Mike adalah merupakan salah satu tentara AS gelombang pertama yang dikirim ke Afghanistan pada 2001. Lalu 15 bulan kemudian, ditugaskan sebagai pasukan AS gelombang pertama yang dikirim ke Irak. Sebagaimana banyak veteran tempur lainnya, ia sangat senang membicarakan kenangan lucu yang ia bawa ke rumah.
Ia adalah seorang yang sangat senang ketika mengetahui ada Burger King di Peshawar, Pakistan, yang berbatasan dengan Afganistan. Jika tidak ada angkutan umum yang melintas di Kyber, ia dan kawan-kawannya bisa sengaja membuat perjalanan dari Jalalabad dengan waktu tempuh satu setengah jam. Seperti anak sekolah yang sedang bermain ayam-ayaman, mereka melakukan perjalanan – terdiri dari 12 orang dengan tiga kendaraan yang dipenuhi senjata.
“Kami akan berlari dan memperoleh burger kami, menyantapnya, dan kembali ke Pakistan. Jika berpapasan dengan seseorang, kami dengan mudah akan membunuhnya,” aku Mike.
Meskipun begitu, setelah itu ia menjadi ketakutan dan sering mengalami mimpi yang menakutkan.
“Semua bagian tubuh saya,” paparnya dengan nada merendah, “seolah-olah terputus satu sama lain.”
Namun Imam menolongnya.
“Entahlah, sepertinya saya merasakan sesuatu dari Imam Sabur,” kata Mike. “Ia sudah mengajari saya untuk mempercayainya.”
Mungkin karena Imam sendiri adalah seorang veteran dan pensiun baru-baru ini setelah berkarir selama 20 tahun di Departement of Correction di New York.
“Mike tahu bahwa tidak ada hal yang baru dan mengejutkan bagi saya,” kata Sabur. “Saya hanya mendengar dan mengingatkan bahwa siapapun mungkin saja melakukan kesalahan di sama lalu, dan mungkin juga membuat kesalahan di masa mendatang. Hanya Allah Yang Maha Sempurna, selain-Nya tidak.”
Mike menjadi tentara pada 1998. Semester pertamanya di perguruan tidak berjalan dengan baik, dan atas saran paman-pamannya agar ia lebih dewasa dan disiplin, maka ia bergabung dengan dunia militer. Mereka semua adalah veteran angkatan laut, dan mereka bercerita tentang prestasi, petualangan dan persahabatan. Mereka seolah-olah memberikan ia gambaran bahwa kehidupan militer lebih menyenangkan dibanding kuliah. Meskipun ia tahu bahwa tak seorang pun dari pamannya yang pernah terjun ke medan perang.
Setelah perjalanan pertamanya, Mike mengatakan bahwa apa yang diceritakan pamannya adalah benar. Ia ditempatkan di Korea dan Bosnia, mengunjungi 27 negara lainnya, mendapat lencana cantik di seragamnya. Ia pun memperoleh penghargaan dan pengukuhan, dan katanya setiap menit dia menikmati semua itu.
Sebulan sesudah kontraknya selesai, Menara Kembar WTC diserang dan ia kembali ke dinas militer.
Mike ingin menjadi salah satu staf medik dalam Angkatan Perang Istimewa, namun mereka malah menjadikannya seorang spesialis urusan sipil, yang ternyata “tak lain hanya pekerjaan sosial yang begitu diagungkan.”
Pekerjaannya adalah melakukan penilaian dan observasi di beberapa desa, berunding dengan tokoh desa tentang sekolah, klinik dan rumah sakit mana saja yang perlu dibangun, dan mengorganisasikan konstruksi bagi mereka.
“Saya adalah orang yang bisa masuk, tersenyum dan bahagia: ‘Lihatlah, kami akan memberikan kalian sekolah.'”
Tetapi dia tidak kebal dari ironi hidup di bekas istana kerajaan tua di Jalalabad, yang katanya “sangat menarik sebelum kami menghancurkannya,” atau di Fallujah, sebelum “anggota marinir datang dan dan meluluhlantakkan tempat tersebut,” dan kemudian seolah-olah memberikan hadiah bagi para penduduk di sana melalui penggantian berbagai fasilitas yang telah dihancurkan oleh Amerika.
“Mereka tidak menyukai kami karena kami telah menghancurkan semua hal yang mereka miliki,” kata Mike. “Dan kami harus melaksanakan pembangunan sebanyak mungkin agar citra pasukan militer AS membaik.”
Bagaimana pun, urusan sipil yang ditangani Mike ini adalah tugas yang masih lama harus ia kerjakan. Ia ingin berkontibusi, dan ia “ingin melakukan hal yang menyenangkan, seperti melabrak pintu-pintu rumah dan berperang.”
Oleh sebab itu, ia merangkap sebagai spesialis senjata Bravo 18, dan bergabung dengan tim yang benar-benar melakukan pertempuran. Tetapi hanya malam hari. Karena, jika ia keluar dengan mereka di siang hari, maka ia bisa ketahuan. Dengan begitu ia akan mengalami kesulitan “kembali bergabung keesokan harinya dan memberikan ‘senyuman’ pada musuh-musuhnya.”
Tetapi seiring waktu, ia tidak bisa melakukan sesuatu yang menyenangkan tersebut dengan kebebasan. Selama empat bulan dalam tur pertamanya, dia mulai dihantui oleh mimpi buruk.
Unit medis memberinya Valium dan mengatakan padanya, “Jika anda tidak tidur, kami tidak bisa memakai anda.”
Dia mulai mengkonsumsi satu Valium setiap malamnya, tetapi lebih dari sebulan dia memerlukan tiga atau empat Valium untum membuat dirinya dapat tidur.
Dan ia juga mengonsumsi minuman keras. Semua temannya melakukan hal yang sama, di antaranya untuk memunculkan keberanian, karena alkohol pun jadi alasan bagi para prajurit untuk saling berbagi kengerian masing-masing.
“Kami bisa menggunakan ‘obat’ atau apapun. Apapun yang terjadi, ketika kami kembali, sebelum melucuti senjata dan segala sesuatunya, beberapa orang membawa sebotol minuman keras, dan kami akan membicarakan segala hal.”
“Ini biasa kami lakukan. Jika tidak mabuk, kami tidak leluasa mengungkapkan perasaan, khususnya dengan teman-teman kami.”
Hal ini terjadi ketika dia sampai ke Irak dan mulai menjadi pemakai obat-obatan yang berat.
“Dengan uang Amerika, anda bisa masuk apotek mana pun, dan mereka akan memberi anda apa pun yang anda inginkan. Saya meminta seseorang menulis Oxycontin dan Valium atas sepotong kertas dengan bahasa Arab, tetapi beberapa lama kemudian, mereka hanya mengenali saya.”
Tentu saja, ia menjadi ketergantungan obat dan alkohol. Kemudian, Angkatan Perang mengirimkannya ke Program Pengawasan dan Pencegahan Penyalahgunaan Obat dan Alkohol ketika ia dipulangkan.
Ia tinggal selama delapan minggu dengan kondisi yang serba sunyi dan membosankan, merayakan kelulusannya sebagai seorang tentara dengan 12 pak obat dan pergi ke bar.
Mike tertekan dan ia pernah mencoba bunuh diri. Ia memakan semua obat yang diberikan VA kepadanya.
“Mereka tidak membuat saya mati,” katanya, “Oleh sebab itu saya masih terus minum dan jadi lebih tergantung terhadap obat-obatan.”
Kemudian Mike menyerahkan dirinya sendiri dan mengajukan diri untuk ditahan di dalam penjara negara.
Setelah ia berhenti menjadi peminum, ia melewatkan hari-harinya di penjara dengan membaca al-Quran, dan dia mulai menghadiri pengajian. Ketika ia keluar dari penjara, dia langsung bergabung dengan komunitas Mesjid Kemble Street dan diminta menjadi imam.
Walaupun demikian, Mike pun menjadi konselor di SUNY dan VA. Ketika ia pertama kali lepas dari pasukan militer, ia merasa dapat mengendalikannya sendirian.
Mike melakukan beberapa perubahan besar dalam hidupnya. Termasuk menyelesaikan Ph.D.-nya. Ia tahu betul bahwa statusnya sebagai seorang yang pernah menjadi penjahat dan pesakitan membuatnya harus melangkah sepuluh kali lebih banyak dibanding rekan-rekannya di kampus.
Namun hal tersebut tidak membuatnya menyerah. Ia teringat kembali perkataan Imam Sabur. Semua orang tidak ada yang tidak pernah melakukan kesalahan. Dan mulai saat ini dan kemudian hari, Mike merasa memiliki kesempatan untuk memperbaiki segalanya dan juga menjadi muslim yang taat dan selalu melaksanakan perintah Tuhan-Nya, sebagai mana yang ia lihat dari orang-orang yang menjadi musuhnya selama berada di medan perang.
“Karena muslim memiliki semangat yang lebih besar bahkan tak pernah bisa terukur ketika ia telah menyadari bahwa keimanannya hanya ia persembahkan untuk Allah. Hal ini sangat jauh berbeda dengan orang-orang Amerika,” ujar Mike. (Althaf/arrahmah.com)